Breaking News

Senin, 10 Juni 2013

Ustadz Muhammad Idrus Ramli Menjawab Abul Jauzaa' Mengenai Atsar Ibnu Umar Radiyallahu 'anhuma


Ini adalah jawaban dari ustadz Muhammad Idrus Ramli yang dimuat dilaman Fanspage Facebook Ustadz Muhammad Idrus Ramli terhadap tulisan Abul Jauzaa' Al Wahabi diblognya mengenai Atsar Ibnu Umar Radiyallahu 'anhuma.

Berikut ini mari kita simak catatan lengkap Ustadz Muhammad Idrus Ramli menjawab Abul Jauzaa' mengenai KEBOHONGAN DAN KEBODOHAN ILMIAH ABUL JAUZAA’, TENTANG ATSAR IBNU UMAR radhiyallahu ‘anhuma

SETELAH SAYA MENULIS CATATAN TENTANG KESHAHIHAN ATSAR IBNU ‘UMAR radhiyallahu ‘anhuma, KETIKA KAKINYA MATI RASA, LALU MENGATAKAN “YA MUHAMMAD”, SEBAGIAN TEMAN FB MEMBERITAHUKAN BAHWA ABUL JAUZAA’ (USTADZ WAHABI), MENULIS BANTAHAN TERHADAP TULISAN TERSEBUT. SETELAH SAYA LIHAT, TERNYATA ABUL JAUZAA’ MENDHA’IFKAN ATSAR TERSEBUT DENGAN BERTAKLID BUTA KEPADA PARA PENULIS DI MULTAQA AHLI HADATS (NAMA SITUS WAHABI). OLEH KARENA ITU, TULISAN INI AKAN MENGUNGKAP KEBOHONGAN ILMIAH ABUL JAUZAA’.

SUNNI: “Di antara dalil istighatsah adalah, atsar Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh al-Bukhari rahimahullah sebagai berikut:

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: خَدِرَتْ رِجْلُ ابْنِ عُمَرَ، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: اذْكُرْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ، فَقَالَ " يَا مُحَمَّدُ "

“Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Abu Ishaaq, dari ‘Abdurrahmaan bin Sa’d, ia berkata : Kaki Ibnu ‘Umar pernah mati rasa (kesemutan). Lalu seorang laki-laki berkata kepadanya : “Sebutlah orang yang paling engkau cintai”. Ia (Ibnu ‘Umar) berkata : “Wahai Muhammad” [Al-Adabul-Mufrad no. 964].

Atsar tersebut telah kami buktikan keshahihannya dalam catatan kami di fans page ini, pada beberapa waktu yang lalu.”

WAHABI: “Riwayat tersebut lemah dengan alasan ‘an’anah Abu Ishaaq As-Sabii’iy. Memang Sufyaan al-Tsauri dalam periwayatan dari Abu Ishaaq mempunyai mutaba’ah dari Zuhair bin Mu’aawiyyah, seorang yang tsiqah lagi tsabat, kecuali riwayatnya dari Abu Ishaaq adalah dla’iif, karena ia mendengar riwayat darinya setelah ikhtilath-nya (di akhir usia Abu Ishaaq).”.

SUNNI: “Telah saya jelaskan dalam tulisan saya, bahwa ikhtilath nya Abu Ishaq tidak berpengaruh dalam periwayatan haditsnya. Terutama berkaitan dengan atsar Ibnu Umar di atas. Terbukti riwayat Zuhair dari Abu Ishaq, setelah mengalami ikhtilath, sama dengan riwayat Sufyan al-Tsauri dari Abu Ishaq, sebelum ikhtilath. Sehingga antara riwayat Sufyan al-Tsauri dan riwayat Zuhair bin Mu’awiyah saling menguatkan. Riwayatnya Sufyan semakin kuat dengan mutaba’ah nya Zuhair. Sedangkan riwayat Zuhair, seandainya memang lemah, menjadi kuat dengan riwayat Sufyan al-Tsauri. Bukankah begitu dalam ilmu mushthalah hadits??? Sedangkan terkait dengan ‘an’anah nya Abu Ishaq al-Sabi’i, telah kami jawab, terselamatkan dengan riwayat Syu’bah dari Abu Ishaq yang diriwayatkan oleh al-Harbi dalam Ghariibul-Hadiits 2/673 : Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Abu Ishaaq, dari orang yang mendengar riwayat dari Ibnu ‘Umar. Syu’bah berkata :

كفيتكم تدليس ثلاثة: الأعمش وأبو إسحاق وقتادة

“Aku cukupkan bagi kalian tadlis dari tiga orang : al-A’masy, Abu Ishaq, dan Qatadah” [Ma’rifatu Sunan wal-Atsar lil-Baihaqiy, no. 29].”

Dengan demikian, kelemahan riwayat Sufyan al-Tsauri karena factor ‘an’anah nya Abu Ishaq, terlematkan dan dihukumi muttashil (sambung), dengan riwayatnya Syu’bah dari Abu Ishaq berkaitan dengan atsar tersebut. Bukankah begitu dalam ilmu mushthalah hadits???”

WAHABI: “Tapi bagaimanapun riwayat Syu’bah tetap lemah, karena terdapat perawi mubham (tidak jelas identitasnya), antara Abu Ishaq dengan Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhuma.”

SUNNI: “Bukankah lemahnya riwayat Syu’bah, karena factor perawi yang mubham, telah dikuatkan oleh riwayat Sufyan al-Tsauri dan Zuhair bin Mu’awiyah yang menyebutkan bahwa perawi mubham tersebut adalah Abdurrahman bin Sa’ad. Dalam ilmu mushthalah hadits disebutkan:

الثالث: إذا روي الحديث من وجوه ضعيفة لا يلزم أن يحصل من مجموعها حسن، بل إذا كان ضعفه لإرسال أو تدليس أو جهالة رجال زال بمجيئه من وجه آخر، وصار الحديث حسنا بذلك وكان دون الحسن لذاته.

“Apabila suatu hadits diriwayatkan dari beberapa jalur yang lemah, maka tidak memastikan dari kesemuanya akan disimpulkan sebagai hadits hasan. Akan tetapi apabila kelemahannya karena faktor mursal, tadlis atau perawi-perawinya yang majhul, maka akan hilang kelemahannya sebab datang dari jalur lain, dan hadits menjadi hasan sebab itu, tetapi di bawahnya hasan lidzatihi.” (Al-Imam al-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taisir, bersama Tadrib al-Rawi oleh al-Suyuthi, hal. 110-111, cet Dar el-Fikr, 2006, dengan disederhanakan).

Dalam pernyataan al-Imam an-Nawawi dan as-Suyuthi di atas, hadits yang diriwayatkan dari beberapa jalur yang dha’if, apabila kelemahannya karena faktor mursal, tadlis dan jahalah, kelemahannya menjadi hilang karena ada jalur lain yang menguatkan dan menjelaskan. Berdasarkan pernyataan tersebut, jelas sekali antara riwayat Syu’bah, Sufyan al-Tsauri dan Zuhair saling menguatkan. Bukankah begitu dalam ilmu mushthalah hadits???

WAHABI: “Atsar Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum di atas, juga diriwayatkan oleh Ibnus-Sunniy dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah no. 168, tetapi riwayat ini lemah dengan sebab Muhammad bin Khidaasy, seorang yang majhuul. Juga diriwayatkan oleh Ibnus-Sunniy dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah no. 170, tetapi riwayat dari jalur ini lemah dengan sebab Muhammad Mush’ab, dan al-Haitsam bin Hanasy juga seorang yang majhuul.”

SUNNI: “Anda terlalu gegabah dalam menghukumi ketiga perawi yang Anda sebutkan sebagai perawi lemah dan majhul. Berikut penjelasan status ketiga perawi yang Anda zhalimi itu.

1) Muhammad bin Khidasy, sepertinya beliau Mahmud bin Khidasy al-Thaliqani, hanya terkadang dalam sebagian kitab ditulis Muhammad bin Khidasy. Beliau seorang al-imam al-hafizh al-tsiqah, sebagaimana disebutkan oleh al-Mizzi dalam Tahdzib al-Kamal. Meriwayatkan dari Husyaim, Ibnu al-Mubarak, Fudhail bin Iyadh, Sufyan bin Uyainah dan seangkatannya. Di antara murid-muridnya adalah Muhammad bin Nairuz al-Anmathi, perawi atsar Ibnu Umar dalam riwayat Ibnus-Sunniy.

2) Muhammad bin Mush’ab al-Qarqasani, kata al-Dzahabi, fiihi dhu’fun (terdapat kelemahan), dalam artian status kelemahan Muhammad bin Mush’ab adalah kelemahan yang ringan (khafif), bukan kelemahan mutlak. Bukan pula perawi lemah, dalam level menengah ke bawah, akan tetapi masih di atas mereka. Oleh karena itu, al-Tirmidzi masih men-shahih kan haditsnya. Anehnya, kelompok anti istighatsah hanya mengutip pendapat ulama yang menganggap nya lemah saja. Sementara para ulama yang menilainya adil dan tsiqah, tidak mereka kutip. Di antara ulama yang menilai nya adil adalah Ibnu Adi dalam al-Kamil, Ahmad bin Hanbal dan al-Bukhari dalam al-Tarikh. Perawi yang statusnya diperselisihkan antara lemah dan adil, haditsnya bernilai hasan, sebagaimana dalam ilmu mushthalah hadits. (Kalau Anda ingin tahu, redaksi bahasa Arabnya, akan kami kemukakan dalam catatan selanjutnya).

3) Al-Haitsam bin Hanasy, bukan perawi majhul, akan tetapi perawi yang tidak diragukan ke-tsiqah-annya. Beliau meriwayatkan hadits dari dua orang sahabat Ibnu Umar dan Hanzhalah bin Rabi’ah al-Usaidi al-Katib (sekretaris wahyu). Ulama yang meriwayatkan dari al-Haitsam bin Hanasy adalah Abu Ishaq al-Sabi’i dan Salamah bin Kuhail. Silahkan Anda cek dalam Ibnu Abi Hatim al-Jarh wa al-Ta’dil; al-Daraquthni, al-Mu’talif wa al-Mukhtalif; dan Abu Nu’aim al-Ashfihani, Ma’rifah al-Shahabah.

Dengan demikian, riwayat Ibnu al-Sunni melalui kedua jalur tersebut, kelemahannya hanya karena faktor ‘an’anah, dan telah dikuatkan oleh riwayat Syu’bah di atas, sehingga posisinya menjadi shahih atau hasan lighairihi. Dalam ilmu mushthalah hadits disebutkan:

الثالث: إذا روي الحديث من وجوه ضعيفة لا يلزم أن يحصل من مجموعها حسن، بل إذا كان ضعفه لإرسال أو تدليس أو جهالة رجال زال بمجيئه من وجه آخر، وصار الحديث حسنا بذلك وكان دون الحسن لذاته.

“Apabila suatu hadits diriwayatkan dari beberapa jalur yang lemah, maka tidak memastikan dari kesemuanya akan disimpulkan sebagai hadits hasan. Akan tetapi apabila kelemahannya karena faktor mursal, tadlis atau perawi-perawinya yang majhul, akan hilang kelemahannya sebab datang dari jalur lain, dan hadits menjadi hasan sebab itu, tetapi di bawahnya hasan lidzatihi.” (Al-Imam al-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taisir, bersama Tadrib al-Rawi oleh al-Suyuthi, hal. 110-111, cet Dar el-Fikr, 2006, dengan disederhanakan).

WAHABI: “Itu kan mushthalah hadits ulama dulu. Kami mengikuti mushthalah hadits yang sekarang.”

SUNNI: “Apakah Anda pengikut al-Albani?”

WAHABI: “Ya tentu. Siapa lagi kalau bukan al-Albani.”

SUNNI: “Menurut kaedah yang pernah dikemukakan oleh al-Albani, atsar Ibnu Umar tersebut seharusnya shahih dan menjadi hujjah. Al-Albani berkata dalam kitab nya Tamam al-Minnah:

تقوية الحديث بكثرة الطرق ليس على اطلاقه : من المشهور عند اهل العلم أن الحديث اذا جاء من طرق متعددة فإنه يتقوى بها ويصير حجة وان كان كل طريق منها على انفراده ضعيفا. ولكن هذا ليس على اطلاقه بل هو مقيد عند المحققين منهم بما اذا كان ضعف رواته في مختلف طرقه ناشئا من سوء حفظهم، لا من تهمة في صدقهم او دينهم، وإلا فإنه لا يتقوى مهما كثرت طرقه.

“Menilai kuatnya hadits berdasarkan banyaknya jalur tidak bersifat mutlak. Di antara yang populer menurut ahli ilmu, bahwa suatu hadits apabila datang dari jalur yang banyak, maka dapat menjadi kuat dan menjadi hujjah, meskipun masing-masing jalur secara parsial bernilah lemah. Tetapi ini tidak bersifat mutlak. Akan tetapi dibatasi menurut muhaqqiqin dari ahli ilmu, dengan batasan apabila kelemahan perawinya dalam berbagai jalurnya timbul dari hapalan mereka yang buruk, bukan karena kejujuran dan agama mereka yang dicurigai. Kalau tidak demikian, maka tidak bisa kuar meskipun jalur-jalurnya banyak.” (Al-Albani, Tamam al-Minnah, hal. 31).

Berdasarkan pernyataan al-Albani di atas (meskipun sebenarnya kita tidak butuh pada al-Albani, karena kaedah tersebut berlaku umum dalam kitab-kitab mushthalah hadits), atsar Ibnu Umar di atas harus dinilah kuat dan menjadi hujjah, karena jalurnya banyak, dan kelemahannya bukan karena faktor perawinya tidak jujur, pendusta atau fasiq, akan tetapi karena faktor ‘an’anah.”

WAHABI: “Apakah riwayat Syu’bah (jalur kedua) dapat menguatkan riwayat Ats-Tsauriy dan Zuhair (jalur pertama) – sehingga dapat disimpulkan bahwa perawi mubham dalam riwayat Syu’bah adalah ‘Abdurrahmaan bin Sa’d ?.
Jawabnya : Tidak, dengan sebab :
1. Riwayat Ats-Tsauriy tidak shahih hingga ‘Abdurrahmaan karena ‘an’anah Abu Ishaaq, sedangkan riwayat Syu’bah shahih hingga perawi mubham tersebut. Atau dengan kalimat singkat : Riwayat Syu’bah lebih shahih hingga tingkatan syaikh-nya Abu Ishaaq daripada riwayat Ats-Tsauriy.”

SUNNI: “Penilaian Anda bahwa atsar tersebut lemah, sesuai dengan kaedah ilmu mushthalah hadats (bid’ah) yang Anda ikuti. Kalau berdasarkan ilmu mushthalah hadits, seperti kami ketengahkan pernyataan para ulama di atas, riwayat atsar di atas, harusnya dinilai shahih.”

WAHABI: “2. Jalur riwayat ketiga dan keempat oleh Ibnus-Sunni, di mana Abu Ishaq meriwayatkan hadits tersebut dari Abu Syu’bah dan al-Haitsam bin Hanasy, merupakan qarinah tambahan adanya idlthiraab dalam periwayatan Abu Ishaaq, sehingga hadits tersebut lemah.”

SUNNI: “Anda sungguh lucu dan mengherankan. Seorang wanita yang berduka cita karena anaknya mati, akan sangat terhibur dengan humor Anda dalam menghukumi hadits. Anda tidak mengerti kriteria hadits mudltharib, tapi dalam catatan-catatan Anda, seakan-akan Anda sudah sangat alim melebihi al-Baihaqi, al-Dzahabi dan al-Suyuthi dalam bidang hadits. Anda harus tahu, bahwa menghukumi suatu riwayat itu mudltharib, harus membuktikan adanya pertentangan dalam sanad atau matan. Dan sebelum menghukumi bahwa suatu riwayat dikatakan mudltharib, harus memperhatikan beberapa hal berikut ini:

Pertama, apabila kedua riwayat tersebut dapat digabungkan, maka harus digabungkan. Khawatir riwayat tersebut bertentangan hanya secara lahiriah, sedangkan pada hakikatnya, tidak bertentangan.

Kedua, jika tidak bisa digabungkan, maka solusinya dilakukan tarjih, mana yang lebih kuat dari sekian riwayat tersebut.

Ketiga, kalau tarjih tidak bisa dilakukah, karena semua riwayatnya memiliki kekuatan yang sejajar, maka hadits tersebut dihukumi tawaqquf, dan menunjukkan bahwa riwayat tersebut lemah. Ini sebenarnya yang harus Anda ketahui. Oleh karena itu, banyak sekali hadits mudltharib, tetapi tidak mempengaruhi dalam melemahkan hadits tersebut menurut para ulama huffazh.

Sekarang, sebelum saya menjelaskan lebih jauh pernyataan para ulama dalam mushthalah hadits, saya akan membantah Anda dengan pernyataan Ibnu Taimiyah, yang di-ma’shum-kan oleh kaum Wahabi, bahkan selevel dengan ke-ma’shum-an imam-imam Syiah di mata orang Syi’ah. Ibnu Taimiyah berkata:

إِنَّ أَبَا إسْحَاقَ كَانَ الْحَدِيثُ يَكُونُ عِنْدَهُ عَنْ جَمَاعَةٍ يَرْوِيه عَنْ هَذَا تَارَةً وَعَنْ هَذَا تَارَةً كَمَا كَانَ الزُّهْرِيُّ يَرْوِي الْحَدِيثَ تَارَةً عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ وَتَارَةً عَنْ أَبِي سَلَمَةَ وَتَارَةً يَجْمَعُهُمَا فَمَنْ لَا يَعْرِفُهُ فَيُحَدِّثُ بِهِ تَارَةً عَنْ هَذَا وَتَارَةً عَنْ هَذَا يَظُنُّ بَعْضُ النَّاسِ أَنَّ ذَلِكَ غَلَطٌ وَكِلَاهُمَا صَحِيحٌ. (مجموع فتاوى ابن تيمية، 18/25).

“Sesungguhnya Abu Ishaq, hadits miliknya diriwayatkan dari banyak orang. Ia terkadang meriwayatkan dari ini, dan terkadang dari ini. Sebagaimana al-Zuhri meriwayatkan hadits terkada dari jalur Sa’id bin al-Musayyab dan terkadang dari jalur Abu Salamah, dan terkadang menggabungkan keduanya. Orang yang tidak tahu, maka menyampaikan haditsnya, kadang dari ini dan kadang dari ini. Sebagian manusia beraumsi bahwa riwayat tersebut keliru. Padahal keduanya shahih.” (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Taimiyah, juz 18 hal. 25).

Pernyataan Ibnu Taimiyah, bagi kaum Wahabi sama dengan wahyu. Di sini Anda berada antara dua pilihan, yang termanispun dari keduanya pasti terasa pahit. Ada kalanya Anda salahkan imam Anda atau Anda harus mengakui kesalahan dan kebohongan Anda dalam ilmu hadits.

Al-Hafizh al-Sakhawi berkata dalam Fath al-Mughits:

إن اختلاف الرواة في اسم رجل أو نسبه لا يؤثر ذلك لأنه إن كان الرجل ثقة كما هو مقتضى صنيع من صحح هذا الحديث فلا ضير كا تقدم في كل من المعل والمنكر لا سيما وفي الصحيحين مما اختلف فيه على راويه جملة أحاديث وبذلك يرد على من ذهب من أهل الحديث إلى أن الاختلاف يدل على عدم الضبط في الجملة فيضر ذلك ولو كانت رواته ثقات إلا أن يقوم دليل على أنه عند الراوي المختلف عليه عنهما جميعا أو بالطريقتين جميعا والحق إنه لا يضر فإنه كيف ما دار كان على ثقة

“Perselisihan para perawi tentang nama seseorang atau nasabnya tidak akan berpengaruh. Karena apabila orang tersebut tsiqah, dipercaya, sebagaimana yang telah menjadi tuntutan sikap orang yang men-shahihkan hadits ini, maka tidaklah berbahaya sebagaimana telah dikemukakan, dalam hadits mu’all dan munkar. Lebih-lebih dalam Bukhari-Muslim, di antara perawi yang diperselisihkan, terdapat banyak hadits. Dengan demikian, dapat dibantah terhadap kalangan ahli hadits yang berpendapat bahwa perbedaan menunjukkan tidak adanya dhabth secara umum sehingga membahayakan meskipun para perawinya dipercaya, kecuali jika ada dalil bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh sang perawi yang diperselisihkan itu dari keduanya atau dengan kedua jalur itu. Pendapat yang benar, bahwa hal itu tidaklah berbahaya, karena bagaimanapun, riwayat tersebut melalui perawi yang tsiqah.” (Al-Hafizh al-Sakhawi, Fath al-Mughits, juz1 hal. 239).

Al-Imam al-Hafizh Ibnu Daqiqil-‘Id berkata dalam kitabnya al-Iqtirah fi Fann al-Ishthilah sebagai berikut:

الثامن عشر - المضطرب :
وهو أحد أسباب التعليل عندهم وموجبات الضعف للحديث .
والأمر فيه منقسم ، فإن كان أحد الوجوه مروياً من وجه ضعيف والآخر من وجه قوي ، فلا تعليل والعمل بالقويِّ متعيَّن .
وإن لم يكن كذلك ، فإن أمكن الجمع بين تلك الوجوه بحيثُ يمكن أن يكون المتكلم معبِّراً باللفظين الواردين عن معنى واحد ، فلا إشكال أيضاً ، مثل أن يكون في أحد الوجهين قد قال الراوي : عن رجل . وفي الوجه الآخر سُمِّي رجلاً ، فهذا يمكن أن يكون ذلك المُسمَّى ، هو ذلك المبهم ، فلا تعارض .
وإن لم يكن كذلك ، بأن يسمى مثلاً الراوي باسم معين في رواية ، ويسمى آخر باسم آخر في رواية أخرى . فهذا محل نظر إذ يتعارض فيه أمران :
أحدهما : أنه يجوز أن يكون عن الرجلين معاً .
الثاني : أن يغلب على الظن أنَّ الراوي واحد ، اختلف فيه .
فههنا لا يخلو إما أن يكون / الرجلان معاً ثقتين أو لا .
فإن كانا ثقتين ، فههنا مقتضى مذاهب الفقهاء والأصوليين أن لا يضر هذا الاختلاف ؛ لأنه إن كان الحديث عن هذا المعيَّن ، فهو عدل .
وإن كان عن الآخر ، فهو عدل ، فكيفما انقلبنا ، انقلبنا إلى عدل ، فلا يَضُرُّ هذا الاختلاف .

Silahkan Anda artikan sendiri.

Al-Imam al-Zarkasyi berkata dalam al-Nukat ‘ala Muqaddimah Ibn al-Shalah:

( قوله ) " المضطرب هو الذي يختلف الرواة فيه فيرويه بعضهم على وجه وبعضهم على وجه آخر مخالف " ينبغي أن يقال " على وجه يؤثر " ليخرج ما لو روي الحديث عن رجل مرة وعن آخر أخرى قال ابن حزم " فهذا قوة للحديث وزيادة في دلائل صحته كما إذا روى الأعمش الحديث عن سهيل بن أبي صالح عن أبيه عن أبي هريرة ويرويه [ غير ] الأعمش عن [ سهيل عن ] أبيه عن أبي سعيد إذ من الممكن أن يكون أبو صالح سمع الحديث من أبي هريرة وأبي سعيد معا فرواه مرة عن هذا ومرة عن هذا " انتهى

“Mudltharib adalah, hadits yang dipertentangkan oleh para perawi, sehingga sebagian perawi meriwayatkannya dari satu jalur, dan sebagian dari jalur lain yang bertentangan. Hendaknya, dikatakan, dari jalur lain yang berpengaruh, agar dapat mengecualikan seandainya suatu hadits, diriwayatkan dari seseorang dalam suatu saat, dari orang lain pada saat yang lain. Ibnu Hazm berkata, ini justru kekuatan bagi hadits dan menambah bukti-bukti keshahihannya. Sebagaimana misalnya apabila al-A’masy meriwayatkan hadits dari Suhail bin Abi Shalih, dari ayahnya dari Abu Hurairah. Lalu selain al-A’masy meriwayatkannya dari Suhail, dari ayahnya, dari Abu Sa’id. Karena ada kemungkinan Abu Shaleh, memang mendengar hadits tersebut dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id. Sehingga ia terkadang meriwayatkannya dari ini, dan terkadang dari ini.” (Al-Zarkasyi, an-Nukat ‘ala Muqaddimah Ibn al-Shalah, juz 2 hal. 224).


WAHABI: “Selain itu, matan riwayat tersebut juga mengandung nakarah dengan adanya permintaan doa kepada selain Allah ta’ala ketika tertimpa musibah. Hal ini bertentangan dengan firman Allah ta’ala :

أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الأرْضِ أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ

“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya)” [QS. An-Nam : 62].”

SUNNI: “Pada dasarnya, atsar di atas tidak mengandung nakarah. Yang mengandung nakarah justru otak Anda, karena taklid buta kepada Ibnu Taimiyah, yang melarang istighatsah dengan Nabi SAW atau wali yang sudah wafat. Sudah kami tegaskan, bahwa sebelum Ibnu Taimiyah tidak ada yang melarang istighatsah. Larangan istighatsah adalah murni kebohongan Ibnu Taimiyah. Kalau Anda tidak percaya, silahkan Anda buktikan, bahwa Ibnu Taimiyah tidak berbohong. Kami sudah berkali-kali membuktikan kebohongan Ibnu Taimiyah. Sedangkan ayat al-Qur’an yang Anda kemukakan, tidak mengandung larangan istighatsah. Karena dalam ber-istighatsah, seorang Mukmin meyakini bahwa Allah SWT sebagai Tuhan dan mustaghats bih (yang dimintai tolong) secara haqiqi, sedangkan nabi atau wali yang dipanggil, hanya sebagai mustaghats bih secara majazi. Oleh karena itu, doa istighatsah telah berlangsung dan diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat.

Di antara bukti bahwa istighatsah telah berlangsung sejak masa Rasulullah SAW adalah hadits tentang orang buta yang datang kepada Rasulullah SAW yang diajarkan agar berdoa dengan redaksi berikut ini:

(اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ لِتُقْضَى لِيْ).
“Ya Allah aku memohon dan memanjatkan doa kepada-Mu dengan Nabi kami Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku memohon kepada Tuhanku dengan engkau berkait dengan hajatku agar dikabulkan”.

Orang buta tersebut melaksanakan petunjuk Rasulullah SAW ini. Ia orang buta yang ingin diberi kesembuhan dari butanya. Akhirnya ia diberikan kesembuhan oleh Allah ketika dia tidak berada di hadapan Nabi SAW (tidak di majlis Rasul SAW ) dan kembali ke majlis Rasul SAW dalam keadaan sembuh dan bisa melihat. Seorang sahabat yang menjadi saksi mata atas peristiwa ini, mengajarkan petunjuk tersebut kepada orang lain pada masa Khalifah Utsman bin Affan RA, yang tengah mengajukan permohonan kepadanya. Pada saat itu Sayyidina Utsman sedang sibuk dan tidak sempat memperhatikan orang ini. Maka orang ini melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh orang buta tersebut pada masa Rasul SAW. Setelah itu ia mendatangi Utsman bin Affan dan akhirnya ia disambut oleh beliau dan permohonannya dipenuhi. Umat Islam selanjutnya senantiasa menyebutkan hadits ini dan mengamalkan isinya hingga sekarang. Para ulama ahli hadits juga menuliskan hadits ini dalam karya-karya mereka seperti al-Imam Ahmad, al-Tirmidzi dan menilainya hasan shahih, al-Nasa’i dalam ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, Ibn Khuzaimah dalam al-Shahih, Ibn Majah, al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir, al-Mu’jam al-Shaghir dan al-Du’â’ dan menilainya shahih, al-Hakim dalam al-Mustadrak dan menilainya shahih serta diakui oleh al-Hafizh al-Dzahabi, al-Hafizh al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah dan al-Da’awat al-Kabir dan ulama-ulama lain. Dari kalangan ahli hadits terkemudian (muta’akhkhirin), hadits di atas disebutkan oleh al-Imam al-Nawawi, al-Hafizh Ibn al-Jazari, al-Syaukani dan lain-lain.

Hadits ini adalah dalil dibolehkannya ber-tawassul dan ber-istighatsah dengan Nabi SAW pada saat Nabi SAW masih hidup, di belakangnya (tidak di hadapannya). Hadits ini juga menunjukkan bolehnya ber-tawassul dengan Nabi SAW setelah beliau wafat seperti diajarkan oleh perawi hadits tersebut, yaitu sahabat Utsman bin Hunayf kepada tamu Sayidina Utsman, karena hadits ini tidak hanya berlaku pada masa Nabi SAW hidup, tetapi berlaku selamanya dan tidak ada yang me-nasakh-nya.

Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad (16605), al-Tirmidzi (3502) dan menilainya hasan shahih, al-Nasa’i dalam ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah (h. 417), Ibn Khuzaimah dalam al-Shahih, Ibn Majah (I/441), al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir (IX/19) dan al-Du’â’ (II/1298) dan menilainya shahih, al-Hakim dalam al-Mustadrak (I/313, 519) dan menilainya shahih serta diakui oleh al-Hafizh al-Dzahabi, al-Hafizh al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah (VI/166) dan al-Da’awat al-Kabir dan ulama-ulama lain. Dari kalangan ahli hadits terkemudian (muta’akhkhirin), hadits di atas disebutkan dan dishahihkan oleh al-Imam al-Nawawi, al-Hafizh Ibn al-Jazari dan lain-lain.
Jika ada yang mengatakan bahwa makna:

(اَللهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ لِتُقْضَى لِيْ).

adalah:

اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِدُعَاءِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ.

dengan dalil perkataan Nabi SAW di awal hadits:

إِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ وَإِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ لَكَ.

“Jika engkau mau, engkau bisa bersabar. Dan jika engkau mau, aku akan mendoakan kamu.”

dan itu artinya orang tersebut memohon doa kepada Nabi SAW ketika beliau masih hidup dan itu jelas boleh, sedangkan yang dilakukan oleh orang yang ber-tawassul dan ber-istighatsah adalah memohon didoakan dari orang yang sudah mati atau hidup tapi tidak di hadapannya dan hal ini tidak diperbolehkan!

Pertanyaan di atas dapat dijawab bahwa dalam rangkaian hadits di atas, tidak disebutkan Nabi SAW benar-benar mendoakan orang buta itu. Yang disebutkan dalam riwayat itu adalah bahwa setelah orang buta itu pergi ke tempat wudhu’, Rasulullah SAW kembali mengajar para sahabat hingga orang buta itu datang lagi dalam keadaan sudah bisa melihat sebagaimana disebutkan oleh perawi hadits di atas:

فَفَعَلَ الرَّجُلُ مَا قَالَ، فَوَ اللهِ مَا تَفَرَّقْنَا وَلاَ طَالَ بِنَا الْمَجْلِسُ حَتَّى دَخَلَ عَلَيْنَا الرَّجُلُ وَقَدْ أَبْصَرَ كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِهِ ضَرٌّ قَطُّ.

“Lalu laki-laki buta itu melaksanakan petunjuk Rasulullah SAW, dan demi Allah kita belum berpisah dan belum lama dalam majlis Rasulullah SAW, tiba-tiba laki-laki itu kembali datang ke majlis dan telah bisa melihat, seakan-akan sebelumnya tidak pernah terkena kebutaan sama sekali”.

Dari penegasan sahabat ini diketahui bahwa maksud perkataan Nabi SAW di awal hadits tersebut adalah bahwa beliau akan mengajarkan doa kepada orang buta itu, bukan mendoakannya secara langsung:

. . . وَإِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ لَكَ أَيْ عَلَّمْتُكَ دُعَاءً تَدْعُوْ بِهِ.

“Apabila kamu mau, aku akan mengajarkan doa agar engkau berdoa dengannya”.

Jadi pemaknaan lafazh بنبينا dalam hadits di atas dengan بدعاء نبينا itu tidak benar karena memang tidak ada dalilnya. Jadi ber-tawassul dengan redaksi nida’ (memanggil) sekalipun tidak di hadapan nabi atau wali adalah boleh berdasarkan hadits ini tanpa dilakukan penakwilan dan tanpa memperkirakan terjadinya kalimat yang dibuang.

Hadits di atas menunjukkan dibolehkannya ber-tawassul dan ber-istighatsah dengan para nabi atau wali yang masih hidup tanpa berada di hadapan mereka. Hadits ini juga menunjukkan bolehnya tawassul dan istighatsah dengan para nabi atau wali, baik ketika masih hidup maupun sudah meninggal. Jadi hadits ini membantah pendapat sebagian orang bahwa ber-tawassul hanya boleh dengan al-hayy al-hadhir (nabi atau wali yang masih hidup dan dilakukan di hadapannya) dengan meminta doanya. Dalam hal ini, Muhammad bin Ali al-Syaukani mengatakan:

وَفِي الْحَدِيْثِ دَلِيْلٌ عَلَى جَوَازِ التَّوَسُّلِ بِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مَعَ اعْتِقَادِ اَنَّ الْفَاعِلَ هُوَ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى، وَأَنَّهُ الْمُعْطِيْ الْمَانِعُ، مَا شَاءَ كَانَ، وَمَا لَمْ يَشَأْ لَمْ يَكُنْ. (الإمام الشوكاني، تحفة الذاكرين، ص/180).

“Hadits ini menjadi dalil bolehnya ber-tawassul dengan Rasulullah SAW kepada Allah SWT dengan keyakinan bahwa yang memberi dan menolak secara hakiki adalah Allah. Sesuatu yang dikehendaki Allah akan terjadi. Sesuatu yang tidak dikehendaki tidak akan terjadi.” (Al-Syaukani, Tuhfat al-Dzakirin, hal. 180).

Dalam bagian lain (Tuhfat al-Dzakirin, hal. 72 dan al-Dur al-Nadhid, hal. 5) al-Syaukani juga mengatakan bahwa ber-tawassul kepada selain nabi seperti orang-orang saleh dan para wali, juga dibolehkan.

Al-Syaukani termasuk tokoh yang diakui oleh kelompok Wahhabi dan dianggap sebagai salah satu pelopor gerakan ijtihad dan anti madzhab. Mereka mengatakan bahwa al-Syaukani sejajar dengan Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim, sebagaimana mereka sebutkan dalam kitab al-Mausu’ah al-Muyassarah (juz I, hal. 139-143) yang diterbitkan oleh organisasi al-Nadwah al-‘Alamiyyah li al-Syabab al-Islami di Riyadh Saudi Arabia.

WAHABI: “Anda dalam menjelaskan dalil-dalil istighatsah, mengambil hadits dan atsar dari mana-mana. Itu bukti bahwa Anda sangat membela istighatsah.”

SUNNI: “Alhamdulillah, kami Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam menetapkan hukum-hukum syar’i, termasuk kebolehan istighatsah mengambil dalil-dalil dari berbagai kitab, dan semuanya bukan kitab sampah. Akan tetapi kitab-kitab yang memang diakui oleh para ulama ahli hadits. Hal ini berbeda dengan Anda, yang melarang dan mengkafirkan istighatsah, hanya mengambil dari informasi bohong si narapidana, Ibnu Taimiyah. Silahkan Anda buktikan, bahwa sebelum Ibnu Taimiyah ada ulama salaf yang melarang istighatsah. Kalau perlu, Anda cari dalam kitab-kitab sampah sebelum Ibnu Taimiyah, kalau memang ulama yang melarang istighatsah. Pasti tidak akan Anda dapatkan. Bukti bahwa ajaran anti istighatsah, adalah ajaran tidak benar, sesat dan menyesatkan.”

Wassalam
Muhammad Idrus Ramli



Read more ...

Debat Forum Kiai Muda Jatim - Ustadz Idrus Ramli Dengan Ulil Abshar Abdalla [Video]


Debat Forum Kiai Muda Jatim - Ustadz Idrus Ramli (Ahlussunnah Wal Jama'ah) Dengan Ulil Abshar Abdalla (JIL = Jaringan Iblis La'natullah) [Video]

video - fakta liberalisme
Video Bagian Pertama



Video Bagian Kedua






Semoga Bermanfaat.
Read more ...

Bid'ah Hasanah dan Kerancuan Wahabi (Ust Idrus Ramli Menanggapi Kalam Syaikh Ibnu Utsaimin)


fakta wahabi

Tulisan ini sebagai tanggapan terhadap teori Anti Bid'ah Hasanah yang ditulis oleh Syaikh Ibnu 'Utsaimin (Wahabi) dalam kedua kitabnya, Syarh Al-'Aqidah Al-Wasithiyyah dan Al-Ibda' Fi Kamal Al-Syar'i Wa Khathar Al-Ibtida'. Artikel ini sengaja kami tulis dalam format dialog agar mudah difahami.

Sebagian tulisan juga bagian dari dialog kami dengan salah seorang Ustadz Wahabi di Masjid Al-Hidayah Maasing Manado, Sulawesi Utara pada maret 26 Maret 2013 yang lalu.

SUNNI: “Membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, merupakan keniscayaan dari pembacaan terhadap sekian banyak teks al-Qur’an dan hadits-hadits shahih. Kami, Ahlussunnah Wal-Jama’ah membagi bid’ah menjadi dua, dan bahkan membagi bid’ah sebanyak hukum-hukum syar’i yang lima (wajib, sunnah, mubah, haram dan makruh), karena berangkat dari sekian banyak dalil.

Para ulama mendefinisikan bid’ah sebagai berikut. Al-Imam ‘Izzuddin ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdissalam (577-660 H/1181-1262 M), ulama terkemuka dalam madzhab Syafi’i, mendefinisikan bid’ah dalam kitabnya Qawa’id al-Ahkam sebagai berikut:

اَلْبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم. (الإمام عزالدين بن عبد السلام، قواعد الأحكام، ۲/١٧۲).
“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah SAW”. (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 2/172).
Definisi serupa juga dikemukakan oleh al-Imam Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi (631-676 H/1234-1277 M), hafizh dan faqih dalam madzhab Syafi’i. Beliau berkata:

هِيَ إِحْدَاثُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم. (الإمام النووي، تهذيب الأسماء واللغات، ٣/۲۲).
“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang baru yang belum ada pada masa Rasulullah SAW”. (Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat,3/22 ).
Pembagian bid’ah menjadi dua, berangkat dari hadits-hadits berikut ini:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةُ. (رواه مسلم).
“Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik upcapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sejelek-jelek perkara, adalah perkara yang baru. Dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR. Muslim).
Hadits di atas menegaskan bahwa setiap bid’ah itu kesesatan. Kemudian jangkauan hukum hadits tersebut dibatasi oleh sekian banyak dalil, antara lain hadits berikut:

عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مَنْ بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ. رواه مسلم
“Jarir bin Abdullah al-Bajali berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan memperoleh pahalanya serta pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang memulai perbuatan jelek dalam Islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR. Muslim).
Dalam hadits pertama, Rasulullah SAW menegaskan, bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Tetapi dalam hadits kedua, Rasulullah SAW menegaskan pula, bahwa barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya. Dengan demikian, hadits kedua jelas membatasi jangkauan makna hadits pertama “kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)” sebagaimana dikatakan oleh al-Imam al-Nawawi dan lain-lain. Karena dalam hadits kedua, Nabi SAW menjelaskan dengan redaksi, “Barangsiapa yang memulai perbuatan yang baik”, maksudnya baik perbuatan yang dimulai tersebut pernah dicontohkan dan pernah ada pada masa Nabi SAW, atau belum pernah dicontohkan dan belum pernah ada pada masa Nabi SAW.”

WAHABI: “Maaf, kami tetap menolak pembagian bid’ah menjadi berapapun berdasarkan hujjah sebagai berikut. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata:

قَوْلُهُ (كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ) كُلِّيَّةٌ، عَامَّةٌ، شَامِلَةٌ، مُسَوَّرَةٌ بِأَقْوَى أَدَوَاتِ الشُّمُوْلِ وَالْعُمُوْمِ (كُلٌّ)، أَفَبَعْدَ هَذِهِ الْكُلِّيَّةِ يَصِحُّ أَنْ نُقَسِّمَ الْبِدْعَةَ إِلَى أَقْسَامٍ ثَلاَثَةٍ، أَوْ إِلَى أَقْسَامٍ خَمْسَةٍ؟ أَبَدًا هَذَا لاَ يَصِحُّ.
“Hadits “semua bid’ah adalah sesat”, bersifat general, umum, menyeluruh (tanpa terkecuali) dan dipagari dengan kata yang menunjuk pada arti menyeluruh dan umum yang paling kuat yaitu kata-kata “kull (seluruh)”. Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini, kita dibenarkan membagi bid’ah menjadi tiga bagian, atau menjadi lima bagian? Selamanya, ini tidak akan pernah benar.” (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, al-Ibda’ fi Kamal al-Syar’i wa Khathar al-Ibtida’, hal. 13, dan Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, juz 2 hal. 315, cet. 5 Dar Ibn al-Jauzi, Riyadh 1419 H).
SUNNI: “Owh, jadi Anda menolak pembagian bid’ah hasanah menjadi dua, dan lima, dengan mengambil hujjah dari pernyataan Syaikh Ibnu Utsaimin, bahwa dalam hadits kullu bid’atin dhalalah terdapat lafal kullu, yang bermakna keseluruhan bid’ah itu tersesat tanpa terkecuali, sehingga hadits berikutnya, yang kami sampaikan di atas, menurut Anda tidak membatasi terhadap hadits kullu bid’atin dhalalah. Bagus kalau begitu. Sekarang di sini kami akan menolak hujjah Anda dengan pernyataan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin juga dalam kitab yang sama, Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyyah.

Penolakan pembagian bid’ah menjadi dua atau lima bagian berdasarkan logika di atas, harus dipertimbangkan. Karena tidak semua kosa kata “kullu” dalam al-Qur’an dan hadits, bermakna menyeluruh tanpa memiliki pengecualian. Dalam hal ini, Syaikh al-‘Utsaimin sendiri misalnya berkata:

أَنَّ مِثْلَ هَذَا التَّعْبِيْرِ (كُلُّ شَيْءٍ) عَامٌّ قَدْ يُرَادُ بِهِ الْخَاصُّ، مِثْلُ قَوْلِهِ تَعَالىَ عَنْ مَلِكَةِ سَبَأٍ: (وَأُوْتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ)، وَقَدْ خَرَجَ شَيْءٌ كَثِيْرٌ لَمْ يَدْخُلْ فِيْ مُلْكِهَا مِنْهُ شَيْءٌ مِثْلُ مُلْكِ سُلَيْمَانَ.
“Redaksi seperti “kullu syay’in (segala sesuatu)” adalah kalimat general yang terkadang dimaksudkan pada makna yang terbatas, seperti firman Allah SAW tentang Ratu Saba’: “Ia dikarunia segala sesuatu”. (QS. al-Naml : 23). Padahal banyak sekali sesuatu yang tidak masuk dalam kekuasaannya, seperti kerajaan Nabi Sulaiman AS.” (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, juz 1 hal. 430).
Dalam pernyataan di atas, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin jelas sekali, bahwa kalimat kullu dalam ayat al-Qur’an yang dibawakan oleh beliau, tidak bermakna keseluruhan, akan tetapi bermakna sebagian. Nah, mengapa ketika menghadapi hadits kullu bid’atin dhalalah, beliau tidak konsisten dengan kaedah yang digunakan tersebut???? Apa bedanya hadits dengan al-Qur’an??? Jadi, kalau Anda menolak bid’ah hasanah dengan alasan lafal kullu, Anda juga tertolak dengan lafal kullu versi Syaikh Ibnu ‘Utsaimin juga.

Nah, sekarang Anda harus menjelaskan makna hadits man sanna sunnatan seperti yang dikatakan oleh al-Imam al-Nawawi, sebagai pen-takhshish (yang membatasi jangkauan hukum) hadits kullu bid’atin dhalalah.”

WAHHABI: “hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali, tidak tepat dijadikan dalil bid’ah hasanah. Karena hadits tersebut jelas membicarakan sunnah Rasul SAW. Bukankah redaksinya berbunyi, man sanna fil Islaam sunnatan hasanatan. Disamping itu, hadits tersebut mempunyai latar belakang, yaitu anjuran sedekah. Dan sudah maklum bahwa sedekah memang ada tuntunannya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jadi hadits yang Anda jadikan dalil bid’ah hasanah tidak proporsional.”

SUNNI: “Untuk memahami hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut kita harus berpikir jernih dan teliti. Pertama, kita harus tahu bahwa yang dimaksud dengan sunnah dalam teks hadits tersebut adalah sunnah secara lughawi (bahasa). Secara bahasa, sunnah diartikan dengan al-thariqah mardhiyyatan kanat au ghaira mardhiyyah (prilaku dan perbuatan, baik perbuatan yang diridai atau pun tidak). Sunnah dalam teks hadits tersebut tidak bisa dimaksudkan dengan Sunnah dalam istilah ilmu hadits, yaitu ma ja’a ‘aninnabiy SAW min qaulin au fi’lin au taqrir (segala apa yang datang dari Nabi SAW, baik berupa ucapan, perbuatan maupun pengakuan). Sunnah dengan definisi terminologis ahli hadits seperti ini, berkembang setelah abad kedua Hijriah. Seandainya, Sunnah dalam teks hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut dimaksudkan dengan Sunnah Rasul SAW dalam terminologi ahli hadits, maka pengertian hadits tersebut akan menjadi kabur dan rancu. Coba kita amati, dalam teks hadits tersebut ada dua kalimat yang belawanan, pertama kalimat man sanna sunnatan hasanatan. Dan kedua, kalimat berikutnya yang berbunyi man sanna sunnatan sayyi’atan. Nah, kalau kosa kata Sunnah dalam teks hadits tersebut kita maksudkan pada Sunnah Rasul SAW dalam terminologi ahli hadits tadi, maka akan melahirkan sebuah pengertian bahwa Sunnah Rasul SAW itu ada yang hasanah (baik) dan ada yang sayyi’ah (jelek). Tentu saja ini pengertian sangat keliru. Oleh karena itu, para ulama seperti al-Imam al-Nawawi menegaskan, bahwa hadits man sanna fil islam sunnatan hasanatan, membatasi jangkauan makna hadits kullu bid’atin dhalalah, karena makna haditsnya sangat jelas, tidak perlu disangsikan.

Selanjutnya, alasan Anda bahwa konteks yang menjadi latar belakang (asbab al-wurud) hadits tersebut berkaitan dengan anjuran sedekah, maka alasan ini sangat lemah sekali. Bukankah dalam ilmu ushul fiqih telah kita kenal kaedah, al-‘ibrah bi’umum al-lafzhi la bi-khusush al-sabab, (peninjauan dalam makna suatu teks itu tergantung pada keumuman kalimat, bukan melihat pada konteksnya yang khusus).”

WAHABI: “Bagaimanapun kami tidak menerima bid’ah hasanah. Hadits kullu bid’atin dhalalah masih diperkuat oleh hadits lain yang berbunyi:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. رواه مسلم
“Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan kami ini (agama), sesuatu yang bukan termasuk dari bagiannya, maka jelas tertolak.” HR. Muslim.
Allah SWT juga menegaskan, bahwa Islam telah sempurna, sehingga tidak perlu ditambah-tambahi lagi. Dalam surat al-Maidah, ayat 3 disebutkan:

اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ.
“Pada hari ini aku sempurnakan bagimu agamamu dan aku sempurnakan bagimu nikmat-Ku.” (QS. al-Maidah : 3)”
Ayat di atas menegaskan bahwa Islam telah sempurna. Dengan demikian, orang yang melakukan bid’ah hasanah berarti berasumsi bahwa Islam belum sempurna, sehingga masih perlu disempurnakan dengan bid’ah hasanah.”

SUNNI: “Owh, kalau begitu Anda tidak menjawab hujjah kami, dan berarti Anda lemah secara logika agama. Anda tidak punya dalil. Sedangkan hadits yang Anda ajukan barusan, justru memperkuat pandangan kami, bahwa bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Hadits tersebut berbunyi begini:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. رواه مسلم
“Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan kami ini (agama), sesuatu yang bukan termasuk dari bagiannya, maka jelas tertolak.” HR. Muslim.
Hadits ini jelas memperkuat bid’ah hasanah. Karena dalam hadits tersebut dinyatakan secara tekstual, “mengada-ada dalam urusan kami ini (agama), sesuatu yang bukan termasuk dari bagiannya, maka jelas tertolak”. Di sini, sangat jelas bahwa yang ditolak adalah sesuatu yang diada-ada dan bukan bagian dari agama. Berarti secara mafhum (pemahaman), sesuatu yang diada-ada di dalam agama, tetapi termasuk bagian dari agama, maka sesuatu tersebut tidak ditolak. Bukankah begitu??? Bukankah ini yang namanya bid’ah hasanah???

Sedangkan ayat 3 al-Maidah yang Anda sampaikan, tidak bisa dijadikan dalil anti bid’ah hasanah. Karena yang dimaksud kesempurnaan agama dalam ayat tersebut, bukan penolakan bid’ah hasanah. Silahkan Anda baca penafsiran ayat tersebut dalam al-Durr al-Mantsur, karya al-Imam Jalaluddin al-Suyuthi yang menghimpun semua penafsiran ulama salaf. Sebagian ada yang menafsirkan kesempurnaan agama, dengan sempurnanya dalil-dalil halal dan haram. Sebagian ada juga yang menafsirkan dengan penaklukan kota Makkah. Oleh karena itu, apabila ayat 3 al-Maidah tersebut dipaksakan sebagai penolak bid’ah hasanah, justru malah sebaliknya, adanya bid’ah hasanah termasuk bagian dari kesempurnaan agama, karena dalil-dalilnya diambil dari ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW.”

WAHABI: “Anda mengada-ada. Di dalam al-Qur’an tidak ada dalil bid’ah hasanah.”

SUNNI: “Dalam al-Qur’an ada isyarat yang membenarkan bid’ah hasanah. Dalam al-Mu’jam al-Ausath karya al-Imam al-Thabarani disebutkan:

عن أبي أمامة الباهلي قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول : إن الله فرض عليكم صوم رمضان ولم يفرض عليكم قيامه وإنما قيامه شيء أحدثتموه فدوموا عليه فإن ناسا من بني إسرائيل ابتدعوا بدعة فعابهم الله بتركها فقال : { رهبانية ابتدعوها وما كتبناها عليهم إلا ابتغاء رضوان الله } إلى آخر الآية
“Abu Umamah al-Bahili berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah mewajibkan kepada kamu puasa Ramadhan, dan tidak mewajibkan qiyam (ibadah sunnah pada malam harinya) pada kamu. Qiyam tersebut hanyalah sesuatu yang kamu ada-adakan, maka teruslah melakukannya. Karena sekelompok manusia dari kaum Bani Israil membuat-buat bid’ah, lalu Allah mencela mereka sebab meninggalkannya. Allah berfirman: “dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, Padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya.”. (HR al-Thabarani, al-Mu’jam al-Ausath [7450]. Al-Hafizh al-Haitsami berkata dalam Majma’ al-Zawaid, dalam sanad nya terdapat Zakariya bin Abi Maryam, yang didha’ifkan oleh al-Nasa’i dan lainnya.).
Hadits di atas, meskipun sanadnya dha’if, lemah, akan tetapi maknanya benar. Ayat al-Qur’an tersebut memberikan isyarat terhadap otoritas bid’ah hasanah. Karena Allah mencela kaum Bani Israil bukan karena mereka mengada-adakan rahbaniyyah, akan tetapi mencela mereka karena tidak istiqomah dan meninggalkan rahbaniyyah yang mereka ada-adakan. Ayat tersebut juga menjadi dalil, bahwa seseorang yang telah melakukan bid’ah hasanah, maka hendaklah, istiqomah melakukan bid’ah hasanah tersebut selamanya.”

WAHABI: “Kami tetap menolak pembagian bid’ah menjadi dua, karena hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali, di atas bukan pen-takhshih (membatasi jangkauan hukum) hadits kullu bid’atin dhalalah. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, bahwa yang dimaksud man sunnatan hasanatan adalah al-mubadaratu bifi’liha (segera melakukan), bukan yang pertama kali melakukan. (Lihat, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, juz 2 hal. 319)”

SUNNI: “Kalau begitu Syaikh Ibnu ‘Utsaimin perlu dipertanyakan. Mengapa? Karena dalam kitab-kitab kamus, tidak ada yang mengartikan sanna sunnatan dengan al-mubadartu bifi’liha. Justru yang ada adalah sebagai berikut:

سنّ فُلَان السّنة وَضعهَا وكل من ابْتَدَأَ أمرا عمل بِهِ قوم من بعده فَهُوَ الَّذِي سنه
“Si fulan men-sunnahkan suatu sunnah (perbuatan), maksudnya membuatnya. Setiap orang yang memulai suatu perkara, yang diamalkan oleh orang sesudahnya, maka dialah yang memulainya.” (al-Mu’jam al-Wasithi, hal. 455).
WAHABI: “Syaikh Ibnu ‘Utsaimin itu seorang ulama, dan jelas lebih alim dari pada Anda. Kutipan dari kitab Kamus yang Anda kemukakan tentu tidak ada dasar haditsnya.”

SUNNI: “Maaf, Syaikh Ibnu Utsaimin memang alim, akan tetapi para ulama yang kami bela, dan menetapkan bid’ah hasanah, justru ulama salaf dan jauh lebih alim dari pada Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Mereka yang menetapkan adanya bid’ah hasanah mulai dari Khulafaur Rasyidin, Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Utsman dan Ali radhiyallahu ‘anhum. Kemudian Imam al-Syafi’i dan lain-lain. Sedangkan kutipan dari kitab Kamus, itu tidak perlu ada dasar dari hadits. Karena makna suatu bahasa, itu sudah tradisi. Justru makna ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang belum kita fahami harus kita cari di kamus. Sedangkan bahwa lafal sanna sunnatan itu bermakna memulai perbuatan pertama kali, justru sangat banyak dasar haditsnya. Misalnya dalam kasus, tata cara makmum masbuq dalam shalat berjama’ah, orang yang pertama kali melakukan nya adalah Sayyidina Mu’adz bin Jabal, tanpa ada tuntunan sebelumnya dari Nabi SAW. Lalu Nabi SAW bersabda tentang perbuatan Mu’adz tersebut:

قد سن لكم معاذ وهكذا فاصنعوا
“Mu’adz telah memulai cara baru dalam shalat untuk kalian. Dan demikianlah seharunya kamu lakukan.” (HR. Ahmad, al-Thabarani dan lain-lain.”
Nah, dalam hadits ini, jelas sekali, sanna disabdakan oleh Nabi SAW untuk tatacara makmum masbuq yang dibuat pertama kali oleh sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu. Dan tentu saja masih ada hadits-hadits lain yang menunjukkan bahwa kalimat sanna sunnatan bermakna memulai suatu perbuatan, dari tidak ada menjadi ada.”

WAHABI: “Maaf, mungkin maksud pernyataan Khalifah Umar, itu tentang shalat tarawih, beliau berkata, ini sebaik-baik bid’ah. Nah, itu Anda berarti tidak tahu bro. Itu maksudnya bid’ah lughawiyah, bid’ah secara bahasa.”

SUNNI: “Maaf, Anda beralih dari persoalan tadi. Berarti Anda mengaku kalah dan takluk dengan hujjah kami. Sekarang saya bertanya, apakah Anda sebagai juru bicara Sayyidina Umar?

WAHABI: “Ya tentu saja bukan.”

SUNNI: “Yang mengakatan, bahwa maksud bid’ah dalam perkataan Khalifah Umar, sebagai bid’ah secara bahasa, apakah Khalifah Umar sendiri atau justru dari Anda?”

WAHABI: “Ya itu penafsiran dari golongan kami yang Anda katakan Wahabi itu lah, bukan beliau Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu.”

SUNNI: “Nah itu letak kesalahan Anda. Yang jelas, Khalifah Umar menyampaikan pernyataannya, bukan dalam kapasitas sebagai dosen bahasa di perguruan tinggi. Akan tetapi dalam kapasitas sebagai Khalifah syar’i yang Rasyid. Oleh karena itu, pernyataan beliau harus diartikan secara syar’i, bukan lughawi. Lagi pula Rasulullah SAW bersabda tentang Khalifah Umar:

عن ابن عمر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن الله جعل الحق على لسان عمر وقلبه
“Ibnu Umar berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran melalui lidah Umar dan hatinya.” (HR Ahmad dan al-Tirmidzi, hadits hasan shahih).
Seandainya pernyataan Khalifah Umar tentang shalat taraweh di atas kita artikan dengan bid’ah lughawi, tentu sabda Nabi SAW di atas akan tersia-sia. Karena Anda akan berkata, bahwa kebenaran yang dijadikan Allah melalui lidah Umar dan hatinya adalah kebenaran secara bahasa/lughawi, bukan secara syar’i. Apakah begitu???”

WAHABI: “Sebagian ulama mendefinisikan bid’ah, tidak seperti definisi yang dikutip oleh Anda. Tetapi ada definisi bid’ah versi yang lain. Dalam hal ini al-Imam Asy-Syatibi dalam Al I’tishom mengatakan bahwa bid’ah adalah :

عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ
“Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.”
SUNNI: “Owh, kalau begitu Anda beralih ke persoalan lain, dan membuktikan bahwa Anda kehabisan hujjah. Bukti bahwa pendapat kaum Wahabi yang Anda ikuti sangat lemah dan rapuh sekali.

Justru menurut saya, definisi versi al-Syathibi yang Anda kutip, termasuk definisi bid’ah versi bid’ah, bukan definisi bid’ah versi sunnah. Mengapa begitu??? Dalam hadits shahih, Nabi SAW telah mendefinisikan bid’ah sebagai berikut:

كل محدثة بدعة
“Setiap perkara baru adalah bid’ah.” (HR. Muslim).
Nah, dalam hadits di atas, Nabi SAW mendefinisikan bid’ah dengan, “Setiap perkara baru”, secara mutlak. Definisi bid’ah versi al-Syathibi, ternyata banyak tambahan terhadap definisi bid’ah versi hadits shahih, karena itu sangat tidak tepat untuk diikuti.”

WAHABI: “Maaf, kami tidak setuju bid’ah hasanah, karena sahabat Ibnu Umar berkata:

أَعَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: " كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً "
“Ibnu ‘Umar, berkata: “Setiap bid’ah adalah sesat, meskipun orang-orang memandangnya sebagai satu kebaikan (bid'ah hasanah) [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 19; sanadnya hasan].
SUNNI: “Ada tiga jawaban terhadap pernyataan Anda. Pertama, dalil bid’ah hasanah adalah ayat al-Qur’an dan hadits shahih, sebagaimana Anda tidak bisa menjawabnya tadi. Kalau sudah ada dalil ayat al-Qur’an dan hadits shahih, mengapa harus mengutip Ibnu Umar???

Kedua, maksud pernyataan Ibnu Umar tersebut, adalah bid’ah yang bertentangan dengan dalil-dalil syar’i (al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas). Jadi bukan semua bid’ah. Mengapa harus kita artikan demikian? Karena Ibnu Umar sendiri termasuk pengamal bid’ah hasanah. Ada fakta yang tidak bisa Anda tolak, bahwa Abdullah bin Umar meriwayatkan bahwa doa talbiyah yang dibaca oleh Rasulullah SAW ketika menunaikan ibadah haji adalah:

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لكَ.

Tetapi Abdullah bin Umar sendiri menambah doa talbiyah tersebut dengan kalimat:

لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ بِيَدَيْكَ لَبَّيْكَ وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ.

Hadits tentang doa talbiyah Nabi SAW dan tambahan Ibnu Umar ini diriwayatkan oleh al-Bukhari (2/170), Muslim (1184), Abu Dawud (1812) dan lain-lain. Menurut Ibn Umar, Sayidina Umar juga melakukan tambahan dengan kalimat yang sama sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim (1184). Bahkan dalam riwayat Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, Sayidina Umar menambah bacaan talbiyah dari Nabi SAW dengan kalimat:

لَبَّيْكَ مَرْغُوْبٌ إِلَيْكَ ذَا النَّعْمَاءِ وَالْفَضْلِ الْحَسَنِ.

Ketiga, pernyataan Ibnu Umar juga harus dipadukan dengan pernyataan para sahabat Nabi SAW yang lain, misalnya Sayyidina Abdullah bin Mas’ud yang menetapkan bid’ah hasanah berdasarkan perkataan beliau:

مَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّئٌ
“Apa saja yang dianggap baik oleh umat Islam, maka hal itu baik menurut Allah. Dan apa saja yang dianggap buruk oleh umat Islam, maka menurut Allah juga buruk.” (HR Ahmad dalam al-Musnad [3600], dengan sanad hasan.”
WAHABI: “Maaf, sebagian ustadz-ustadz kami yang pakar hadits dan punya situs di internet, berpendapat bahwa pernyataan para ulama seperti al-Imam Izzuddin bin Abdussalam, al-Imam an-Nawawi dan lain-lain yang membagi bid’ah menjadi dua dan lima, itu bid’ah secara bahasa/lughawi, bukan bid’ah secara syar’iy. Bagaimana jawaban Anda?”

SUNNI: “Itu sudah kami jawab dalam posting sebelumnya. Saya pikir ustadz-ustadz Anda yang Wahabi itu sedang di alam mimpi, bukan di alam sadar. Beliau mungkin sedang bermimpi bahwa Imam ‘Izzuddin dan Imam an-Nawawi berbicara bid’ah dalam kapasitas sebagai dosen bahasa di universitas wahabi. Itu namanya ya alam mimpi. Perlu Anda sadari (jangan bermimpi), bahwa beliau berdua menjelaskan bid’ah dalam kapasitas sebagai ulama fiqih atau syari’at, dan dalam kitab fiqih dan syari’at, bukan kitab kamus. Karena itu pembagian bid’ah oleh mereka, jelas bid’ah secara syari’at, bukan bahasa. Jadi kalau kuliah jangan tidur terus.”

WAHABI: “Apakah Anda seorang pakar hadits?”

SUNNI: “Saya hanyalah seorang santri dan pencari ilmu, bukan pakar hadits seperti seperti ustadz-ustadz Wahabi yang kalian banggakan. Maaf, mulai tadi Anda selalu beralih dari persoalan inti, dan bukti kalau hujjah Anda lemah semua, alias tidak kuat. Bukti ajaran Wahabi itu lemah dan batil.”

WAHABI: “Saya memang meragukan kebenaran ajaran Wahabi. Tapi kenapa ya, hujjah kaum kami selalu lemah menghadapi kelompok Anda, padahal ustadz-ustadz kami selalu mengaku pakar hadits?”

SUNNI: “Itu karena aliran Anda Wahabi, dan mereka Cuma ngaku saja sebagai pakar hadits. Kenyataannya ya, saya tidak tahu. Mungkin juga ngakunya karena mereka telah bermimpi diwisuda oleh Syaikh al-Albani sebagai pakar hadits. Sedangkan kami adalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah, yang selalu diberi pertolongan oleh Allah SWT, karena ajaran kami benar, mengikuti ajaran kaum salaf.”

WAHABI: “Kalau begitu, kami akan ikut Ahlussunnah Wal-Jama’ah saja, keluar dari Wahabi.”

SUNNI: “Ya itu yang lebih bagus, semoga Anda semakin rajin mencari ilmu. Amin.”

Wassalam
Muhammad Idrus Ramli





Read more ...
Designed By