Breaking News

Kamis, 17 Juli 2014

DOA KHATAM QUR’AN BID’AH HASANAH-NYA SALAFY DI MAKKAH


imam mekah

Di dalam kitab Al-Bida’ wal Muhdatsaat; kumpulan fatwa-fatwa ulama wahabi seperti Ibnu Baaz, Ibnu Utsaimin, Abdullah Al-Jabrin, Shaleh Al-Fauzan dan anggota tetap komisi fatwa, disebutkan permasalahan tentang do’a khatam Al-quran di dalam sholat sebagai berikut :
Doa khatam Al-Quran di dalam sholat


سوءال: ما قولكم فيما يذهب اليه بعض الناس من ان دعاء ختم القرءانمن البدع المحدثة؟جواب: لا أعلم لدعاء ختم القرءان فى الصلاة أصلا صحيحا يعتمد عليه من ستة الرسول صلى الله عليه وسلمولا من عمل الصحابة رضي الله عنهموغاية ما فى ذلك ما كان انس بن مالك رضي الله عنه يفعله إذا أرادإنهاء القرءان من انه كان يجمع أهله ويدعو لكنه لا يفعل هذا فى صلاته.والصلاة كما هو معلوم لا يشرع فيها أحداث دعاء فى محل لم ترد السنة به لقول النبي صلى الله عليه وسلم ضلوا كما رأيتموني أصلى . وأما اطلاق البدعة على هذه الختمة فى الصلاة فإني لا أحب اطلاق ذلك عليها لأن العلماء – علماء السنة مختلفون فيها – فلا ينبغى ان نعنف هذا التعنيف على ماقال بعض أهل السنة انه من الأمور المستحبة . لكن الأولى للإنسان انيكون حريصا على السنة
Soal : Apa pendapat kalian tentang anggapan sebagian orang bahwa doa khatam Al-Quran adalah termasuk bid’ah ?
Jawab : Saya tidak mengetahui adanya dalil sahih yang dapat dijadikan sandaran untuk melakukan doa khatam al-Quran di dalam sholat, baik dari sunnah Nabi maupun sunnah sahabat. Maksimalnya dalam hal ini adalah perbuatan Anas bin Malik ketika hendak menyelesaikan Al-Quran, bahwa ia mengumpulkan keluarganya dan berdoa, akan tetapi hal itu tidak dilakukannya di dalam sholatnya. Sedangkan sholat sebagaimana maklumnya tidak boleh membuat doa baru di dalamnya yang tidak datang dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, karena ada sabda Nabi “ Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat “. ADAPUN MENGATAKAN BID’AH TERHADAP DOA KHOTMUL QUR’AN DI DALAM SHOLAT, MAKA AKU TIDAK SUKA UNTUK MENGATAKANNYA BID’AH karna ulama sunnah telah berbeda pendapat tentang itu.MAKANYA KAMI TIDAK MENCELA DENGAN KERAS atas pendapat sebagian ahlussunah yang mengatakan bahwa doa khotmul qur’an (dalam sholat) itu termasuk dari PERKARA SUNNAH “, tetapi lebih baik orang itu agar gemar untuk mengikuti sunnah (Al-Bida’ wal muhdatsaat : 554)
Komentar penulis :
PERHATIKAN jawaban atau fatwa Ibnu Utsaimin tersebut, ia mengatakan doa khatam Al-Quran di dalam sholat boleh dilakukan tanpa menyebutkan dalil dari Al-Quran dan sunnah. Padahal ia meyakini bahwa perkara itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan juga para sahabat artinya hal itu merupakan perkara baru, namun ia tidak mau menyebutnya sebagai bid’ah hanya karena ulama sunnah berbeda pendapat tentang hal ini (tentu siapa lagi yang dimaksud ulama sunnah oleh Ibnu Utsaimin ? sudah pasti ulama dari kalangan mereka sendiri).
PERHATIKAN PULA Kenapa Ibnu Utsaimin tidak mau menyebut perkara itu bid’ah padahal ia meyakini itu perkara baru dalam urusan agama dan tak ada dalil sahihnya ?? Apa sebab Ibnu Utsaimin menyebut bid’ah pada persoalan maulid? Padahal kasusnya sama dengan kasus di atas? Dan padahal mayoritas ulama Ahlus sunnah justru menganjurkannya dan juga para ulama hafidz hadits membolehkannya seperti Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Atsqalaani, Al-Hafidz Suyuthi, Al-Hafidz Ibnu Al-Jauzi, Al-Hafidz Asyakhawi, Al-Hafidz Ibnu Nashir Ad-Dimasyqi, Al-Hafidz Abu Syamah dan lainnya ? apakah mereka semua ini bukan ulama Ahlus sunnah ??
Ibnu Baaz dalam kitabnya majmu’ fatawa wa maqaalat mutanawwi’ah pun juga membolehkan membaca doa khatam Al-Quran di dalam sholat tanpa menyebutkan dalil dari Al-Quran dan sunnah satu pun, namun hanya bersandar pada perbuatan para imam dakwah yang telah melakukannya, tentu yang dimaksud para imam dakwah tidak ada lain adalah para ulama kalangan mereka sendiri….(di saring dari ulasan ibnu al-katiby)
Read more ...

saudi ziarat
Para Imam Ahlus Sunnah Yang Membolehkan Membaca Al Quran Untuk Mayit/Orang Yang Telah Meninggal
1. Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhuma
Beliau adalah seorang sahabat Nabi, ayahnya adalah Amr bin Al ‘Ash, Gubernur Mesir pada masa Khalifah Umar. Dalam kitab Syarh Muntaha Al Iradat, disebutkan demikian:
وَعَنْ ابْنِ عَمْرٍو أَنَّهُ كَانَ يُسْتَحَبُّ إذَا دُفِنَ الْمَيِّتُ أَنْ يَقْرَأَ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا ، رَوَاهُ اللَّالَكَائِيُّ ، وَيُؤَيِّدُهُ عُمُومُ { اقْرَءُوا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ } .
Dari Abdullah bin Amru, bahwa dia menganjurkan jika mayit dikuburkan hendaknya dibacakan pembuka surat Al Baqarah, dan akhir surat Al Baqarah. Ini diriwayatkan oleh Imam Al Lalika’i. Hal ini dikuatkan oleh keumuman hadits: Bacalah Yasin kepada orang yang menghadapi sakaratul maut. (Imam Al Bahuti, Syarh Muntaha Al Iradat, 3/16. Mawqi’ Al Islam)
Hanya saja dalam kitab ini tidak disebutkan validitas riwayat tersebut, apakah shahih dari Ibnu Amr?
Tetapi, ada riwayat dari Muhammad bin Al Jauhari, dia berkata, telah mengabarkan kepadaku Mubasysyir, dari ayahnya, bahwa dia berwasiat jika dikuburkan maka hendaknya dibacakan surat Al Fatihah, Al Baqarah, dan sampai selesai membacanya. Aku mendengar bahwa Ibnu Amru juga mewasiatkan demikian. (Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 5/78) Mubaysyir ini dinilai tsiqah (bisa dipercaya) oleh Imam Ahmad.
2. Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu dan Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah
Ini telah masyhur dari Imam Ahmad, bahwa beliau membolehkan membaca Al Quran untuk orang sudah meninggal. Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan dalam kitabnya, Syarhul Kabir:
وقال أحمد ويقرءون عند الميت إذا حضر ليخفف عنه بالقرآن يقرأ (يس) وأمر بقراءة فاتحة الكتاب.
Berkata Ahmad: bahwa mereka membacakan Al Quran (surat Yasin) pada sisi mayit untuk meringankannya, dan juga diperintahkan membaca surat Al Fatihah. (Imam Ibnu Qudamah, Syarh Al Kabir, 2/305. Darul Kitab Al ‘Arabi).
Imam Al Bahuti juga mengatakan:
قَالَ أَحْمَدُ : الْمَيِّتُ يَصِلُ إلَيْهِ كُلُّ شَيْءٍ مِنْ الْخَيْرِ مِنْ صَدَقَةٍ أَوْ صَلَاةٍ أَوْ غَيْرِهِ لِلْأَخْبَارِ .
Imam Ahmad mengatakan, bahwa semua bentuk amal shalih dapat sampai kepada mayit baik berupa doa, sedekah, dan amal shalih lainnya, karena adanya riwayat tentang itu. (Syarh Muntaha Al Iradat, 3/16)
Imam Ibnu Qudamah mengatakan, diriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hambal, beliau berkata: “Jika kalian memasuki kuburan maka bacalah ayat kursi tiga kali, qul huwallahu ahad, kemudian katakan: Allahumma inna fadhlahu li Ahlil Maqabir.” (Al Mughni, 5/78)
Dahulu Imam Ahmad membid’ahkan membaca Al Quran di kuburan, lalu dia meralat pendapatnya itu. Imam Ibnu Qudamah menceritakan perubahan pada Imam Ahmad tersebut, sebagai berikut:
Diceritakan, bahwa Imam Ahmad melarang Dharir untuk membaca Al Quran di kuburan, Imam Ahmad berkata: “Membaca Al Quran di kuburan adalah bid’ah.” Lalu Muhammad bin Qudamah Al jauhari bertanya kepadanya, “Wahai Abu Abdillah, apa pendapatmu tentang Mubasysyir Al Halabi?” Imam Ahmad menjawab: “Dia tsiqah (bisa dipercaya).”
Lalu Muhammad bin Al Jauhari berkata, telah mengabarkan kepadaku Mubasysyir, dari ayahnya, bahwa dia berwasiat jika dikuburkan maka hendaknya dibacakan pembuka surat Al Baqarah, dan sampai selesai membacanya. Aku mendengar bahwa Ibnu Umar juga mewasiatkan demikian. (Al Mughni, 5/78) berawal dari sinilah Imam Ahmad, meralat pendapatnya, yang tadinya membid’ahkan membaca Al Quran di kuburan, menjadi membolehkannya bahkan menganjurkannya.
3. Imam An Nawawi Rahimahullah
Beliau berkata dalam Raudhatuth Thalibin:
وإن قرأ ثم جعل ما حصل من الأجر له (للميت)، فهذا دعاء بحصول ذلك الأجر للميت فينفع الميت.
Jika membaca Al Quran kemudian menjadikan pahala yang diperolehnya untuk mayit, maka berdoa agar pahala yang dihasilkan membaca Al Quran itu untuk mayit akan bermanfaat buat mayit. (Raudhatuth Thalibin, 5/191)
4. Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
Tertulis dalam Majmu’ Fatawanya:
وسئل عن قراءة أهل البيت : تصل إليه ؟ والتسبيح والتحميد، والتهليل والتكبير، إذا أهداه إلى الميت يصل إليه ثوابها أم لا ؟
فأجاب :
يصل إلى الميت قراءة أهله، وتسبيحهم، وتكبيرهم، وسائر ذكرهم لله تعالى، إذا أهدوه إلى الميت، وصل إليه . والله أعلم .
وسئل : هل القراءة تصل إلى الميت من الولد أو لا على مذهب الشافعي ؟
فأجاب :
أما وصول ثواب العبادات البدنية كالقراءة، والصلاة، والصوم فمذهب أحمد، وأبي حنيفة، وطائفة من أصحاب مالك، والشافعي، إلى أنها تصل، وذهب أكثر أصحاب مالك، والشافعي، إلى أنها لا تصل . والله أعلم .
Beliau ditanya tentang membaca Al Quran yang dilakukan keluarga; apakah sampai kepada mayit? Begiju juga tasbih, tahmid, takbir, jika dihadiahkan olehnya untuk mayit , sampaikah pahalanya kepadanya atau tidak?
Beliau menjawab:
“Pahala bacaan Al Quran keluarganya itu sampai kepada mayit, dan tasbih mereka, takbir, serta semua bentuk dzikir mereka kepada Allah Ta’ala jika dia hadiahkan kepada mayit, maka sampai kepadana. Wallahu A’lam”
Beliau ditanya: menurut madzhab Syafi’I apakah pahala membaca Al Quran akan sampai kepada mayit dari anak atau tidak?
Beliau menjawab:
“Ada pun sampainya pahala ibadah-ibadah badaniah seperti membaca Al Quran, shalat, dan puasa, maka madzhab Ahmad, Abu Hanifah, segolongan sahabat Malik, Syafi’i, menatakan bahwa hal itu sampai pahalana. Sedangkan pendapat kebanyakan sahabat Malik, Syafi’I, mengatakan hal itu tidak sampai.” Wallahu A’lam
(Majmu’ Fatawa, 34/324. Darul Maktabah Al Hayah)
5. Imam Ibnul Qayyim Al jauziyah Rahimahullah
Dalam kitab Ar Ruh Beliau berkata:
وقد ذكر عن جماعة من السلف أنهم أوصوا أن يقرأ عند قبورهم وقت الدفن قال عبد الحق يروى أن عبد الله بن عمر أمر أن يقرأ عند قبره سورة البقرة وممن رأى ذلك المعلى بن عبد الرحمن وكان الامام أحمد ينكر ذلك أولا حيث لم يبلغه فيه أثر ثم رجع عن ذلك وقال الخلال في الجامع كتاب القراءة عند القبور اخبرنا العباس بن محمد الدورى حدثنا يحيى بن معين حدثنا مبشر الحلبى حدثني عبد الرحمن بن العلاء بن اللجلاج عن أبيه قال قال أبى إذا أنامت فضعنى في اللحد وقل بسم الله وعلى سنة رسول الله وسن على التراب سنا واقرأ عند رأسى بفاتحة البقرة فإنى سمعت عبد الله بن عمر يقول ذلك قال عباس الدورى سألت أحمد بن حنبل قلت تحفظ في القراءة على القبر شيئا فقال لا وسألت يحيى ابن معين فحدثنى بهذا الحديث قال الخلال وأخبرني الحسن بن أحمد الوراق حدثنى على بن موسى الحداد وكان صدوقا قال كنت مع أحمد بن حنبل ومحمد بن قدامة الجوهرى في جنازة فلما دفن الميت جلس رجل ضرير يقرأ عند القبر فقال له أحمد يا هذا إن القراءة عند القبر بدعة فلما خرجنا من المقابر قال محمد بن قدامة لأحمد بن حنبل يا أبا عبد الله ما تقول في مبشر الحلبي قال ثقة قال كتبت عنه شيئا قال نعم فأخبرني مبشر عن عبد الرحمن بن العلاء اللجلاج عن أبيه أنه أوصى إذا دفن أن يقرأ عند رأسه بفاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصي بذلك فقال له أحمد فارجع وقل للرجل يقرأ وقال الحسن بن الصباح الزعفراني سألت الشافعي عن القراءة عند القبر فقال لا بأس بها وذكر الخلال عن الشعبي قال كانت الأنصار إذا مات لهم الميت اختلفوا إلى قبره يقرءون عنده القرآن قال وأخبرني أبو يحيى الناقد قال سمعت الحسن بن الجروى يقول مررت على قبر أخت لي فقرأت عندها تبارك لما يذكر فيها فجاءني رجل فقال إنى رأيت أختك في المنام تقول جزى الله أبا على خيرا فقد انتفعت بما قرأ أخبرني الحسن بن الهيثم قال سمعت أبا بكر بن الأطروش ابن بنت أبي نصر بن التمار يقول كان رجل يجيء إلى قبر أمه يوم الجمعة فيقرأ سورة يس فجاء في بعض أيامه فقرأ سورة يس ثم قال اللهم إن كنت قسمت لهذه السورة ثوابا فاجعله في أهل هذه المقابر فلما كان يوم الجمعة التي تليها جاءت امرأة فقالت أنت فلان ابن فلانة قال نعم قالت إن بنتا لي ماتت فرأيتها في النوم جالسة على شفير قبرها فقلت ما أجلسك ها هنا فقالت إن فلان ابن فلانة جاء إلى قبر أمه فقرأ سورة يس وجعل ثوابها لأهل المقابر فأصابنا من روح ذلك أو غفر لنا أو نحو ذلك
“Pernah disebutkan sebagian para salaf, bahwa mereka mewasiatkan supaya dibacakan diatas kubur mereka di waktu penguburannya. Telah berkata Abdul Haq, diriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar pernah menyuruh supaya diabacakan diatas kuburnya surah Al Baqarah. Pendapat ini dikuatkan oleh Mu’alla bin Hanbal, pada mulanya mengingkari pendapat ini karena masih belum menemui sesuatu dalil mengenainya, kemudian menarik balik pengingkarannya itu setelah jelas kepadanya bahwa pendapat itu betul.
Berkata Al Khallal di dalam kitabnya ‘Al-jami’ dalam Kitab Qira’an ‘Indal Qubur: Telah berkata kepadaku Al Abbas bin Muhammad Ad Dauri, berbicara kepadaku Yahya bin Ma’in, berbicara kepadaku Mubasyyir Al Halabi, berbicara kepadaku Abdurrahman bin Al-Ala’ bin Lajlaj, dari ayahnya, katanya : Ayahku telah berpesan kepadaku, kalau dia mati, maka kuburkanlah dia di dalam lahad, kemudian sebutkanlah : Dengan Nama Allah, dan atas agama Rasulullah ! Kemudian ratakanlah kubur itu dengan tanah, kemudian bacakanlah dikepalaku dengan pembukaan surat Al Baqarah, karena aku telah mendengar Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘Anhu menyuruh membuat demikian. Berkata Al Abbas Ad Dauri kemudian : Aku pergi bertanya Ahmad bin Hanbal, apakah dia menghafal sesuatu tentang membaca diatas kubur. Maka katanya : Tidak ada ! kemudian aku bertanya pula Yahya bin Ma’in, maka dia telah menerangkan kepadaku bicara yang menganjurkan yang demikian.
Berkata Al Khallal, telah memberitahuku Al Hasan bin Ahmad Al Warraq, berbicara kepadaku Ali bin Musa Al-Haddad, dan dia adalah seorang yang berkata benar, katanya : Suatu saat saya bersama-sama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah Al Jauhari menghadiri suatu jenazah. Setelah selesai mayit itu dikuburkan, maka telah duduk seorang yang buta membaca sesuatu diatas kubur itu. Maka ia disangkal oleh Imam Ahmad, katanya : Wahai fulan ! Membaca sesuatu diatas kubur adalah bid’ah ! Ketika kita keluar dari pekuburan itu, berkata Muhammad bin Qudamah Al Jauhari kepada Imam Ahmad bin Hanbal : Wahai Abu Abdullah ! Apa pendapatmu tentang si Mubasysyir Al-Halabi ? Jawab Imam Ahmad : Dia seorang yang dipercayai. Berkata Muhammad bin Qudamah Al Jauhari seterusnya : Aku telah menulis sesuatu darinya ! Imam Ahmad berkata : Ya ? Berkata Muhammad bin Qudamah : Telah memberitahuku Mubasysyir, dari Abdurrahman Bin Al Ala’ bin Lajlaj, dari ayahnya, bahwasanya ia berpesan, kalau dia dikuburkan nanti, hendaklah dibacakan dikepalanya ayat-ayat permulaan surat Al Baqarah, dan ayat-ayat penghabisannya, sambil katanya : Aku mendengar Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mewasiatkan orang yang membaca demikian itu.Mendengar itu, maka Imam Ahmad bin Hanbal berkata kepada Muhammad bin Qudamah : Kalau begitu aku tarik penolakanku itu. Dan suruhlah orang buta itu membacakannya.Berkata Al Hasan bin As Sabbah Az Za’farani pula : Saya pernah menanyakan hal itu kepada Imam Syafi’i, kalau boleh dibacakan sesuatu diatas kubur orang, maka Jawabnya : Boleh, Tidak mengapa !Al Khalal pun telah menyebutkan lagi dari As-sya’bi, katanya : Adalah Kaum Anshar, apabila mati seseorang diantara mereka, senantiasalah mereka mendatangi kuburnya untuk membacakan sesuatu dari Al-Qur’an.Asy-sya’bi berkata, telah memberitahuku Abu Yahya An Naqid, katanya aku telah mendengar Al Hasan bin Al-Haruri berkata : Saya telah mendatangi kubur saudara perempuanku, lalu aku membacakan disitu Surat Tabarak (Al-Mulk), sebagaimana yang dianjurkan. Kemudian datang kepadaku seorang lelaki dan memberitahuku, katanya : Aku mimpikan saudara perempuanmu, dia berkata : Moga-moga Allah memberi balasan kepada Abu Ali (yakni si pembaca tadi) dengan segala yang baik. Sungguh aku mendapat manfaat yang banyak dari bacaannya itu.Telah memberitahuku Al-Hasan bin Haitsam, katanya aku mendengar Abu Bakar Al Athrusy berkata : Ada seorang lelaki datang ke kubur ibunya pada hari jum’at, kemudian ia membaca surat Yasin disitu. Bercerita Abu Bakar seterusnya : Maka aku pun datang kekubur ibuku dan membaca surah Yasiin, kemudian aku mengangkat tangan : Ya Allah ! Ya Tuhanku ! Kalau memang Engkau memberi pahala lagi bagi orang yang membaca surat ini, maka jadikanlah pahala itu bagi sekalian ahli kubur ini !Apabila tiba hari jum’at yang berikutnya, dia ditemui seorang wanita. Wanita itu bertanya : Apakah kau fulan anak si fulanah itu ? Jawab Abu Bakar : Ya ! Berkata wanita itu lagi : Puteriku telah meninggal dunia, lalu aku bermimpikan dia datang duduk diatas kuburnya. Maka aku bertanya : Mengapa kau duduk disini ? Jawabnya : Si fulan anak fulanah itu telah datang ke kubur ibunya seraya membacakan Surat Yasin, dan dijadikan pahalanya untuk ahli kuburan sekaliannya. Maka aku pun telah mendapat bahagian daripadanya, dan dosaku pun telah diampunkan karenanya.” (Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Ar Ruh, Hal. 5. Maktabah Al Misykah)
Demikian dari Imam Ibnul Qayyim. Sebagian ulama –seperti Syaikh Al Albani- menganggap bahwa kitab Ar Ruh adalah tidak benar dinisbatkan sebagai karya Imam Ibnul Qayyim, sekali pun benar, mestilah kitab ini dibuat olehnya ketika masih muda. Dengan kata lain, pendapat Beliau dalam Zaadul Ma’ad tentang bid’ahnya membaca Al Quran di kubur, telah merevisi pendapat yang ada dalam Ar Ruh. Sementara ulama lain mengatakan, benar bahwa Ar Ruh adalah karya Imam Ibnul Qayyim jika dilihat dari gaya penulisannya yang jelas khas dan cita rasa beliau, bagi yang terbiasa membaca karya-karyanya, hal ini akan mudah diketahui. Wallahu A’lam
6. Imam Asy Syaukani Rahimahullah
Dalam kitab Nailul Authar-nya, Ketika membahas tentang hadits dari Ibnu Abbas, tentang pertanyaan seorang laki-laki, bahwa ibunya sudah meninggal apakah sedekah yang dilakukannya membawa manfaat buat ibunya? Rasulullah menjawab: ya. (HR. Bukhari, At Tirmidzi, Abu Daud, dan An Nasa’i)
Dalam menjelaskan hadits ini, dia mengatakan:
وَقَدْ اُخْتُلِفَ فِي غَيْرِ الصَّدَقَةِ مِنْ أَعْمَالِ الْبِرِّ هَلْ يَصِلُ إلَى الْمَيِّتِ ؟ فَذَهَبَتْ الْمُعْتَزِلَةُ إلَى أَنَّهُ لَا يَصِلُ إلَيْهِ شَيْءٌ وَاسْتَدَلُّوا بِعُمُومِ الْآيَةِ وَقَالَ فِي شَرْحِ الْكَنْزِ : إنَّ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَجْعَلَ ثَوَابَ عَمَلِهِ لِغَيْرِهِ صَلَاةً كَانَ أَوْ صَوْمًا أَوْ حَجًّا أَوْ صَدَقَةً أَوْ قِرَاءَةَ قُرْآنٍ أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ مِنْ جَمِيعِ أَنْوَاعِ الْبِرِّ ، وَيَصِلُ ذَلِكَ إلَى الْمَيِّتِ وَيَنْفَعُهُ عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ انْتَهَى
Telah ada perbedaan pendapat para ulama, apakah ‘sampai atau tidak’ kepada mayit, perihal amal kebaikan selain sedekah? Golongan mu’tazilah (rasionalis ekstrim) mengatakan, tidak sampai sedikit pun. Mereka beralasan dengan keumuman ayat (yakni An Najm: 39, pen). Sementara, dalam Syarh Al Kanzi Ad Daqaiq, disebutkan: bahwa manusia menjadikan amalnya sebagai pahala untuk orang selainnya, baik itu dari shalat, puasa, haji, sedekah, membaca Al Quran, dan semua amal kebaikan lainnya, mereka sampaikan hal itu kepada mayit, dan menurut Ahlus Sunnah hal itu bermanfaat bagi mayit tersebut. Selesai. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 4/92. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)
Imam Asy Syaukani telah memberikan dalil untuk masing-masing amal kebaikan yang bisa disampaikan kepada mayit, baik puasa, haji, sedekah, dan juga membaca Al Quran. (Ibid, 4/93)
7. Al Imam Al Hafizh Fakhruddin Az Zaila’i Rahimahullah
Perlu diketahui, ayat yang dijadikan dalil oleh Imam Asy Syafi’i, menurut Ibnun Abbas telah dimansukh (dihapus). Dalam Tafsir Ibnu Jarir tentang An Najm ayat 39: “Manusia tidaklah mendapatkan kecuali apa yang diusahakannya.” Disebutkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat tersebut mansukh (dihapus, yang dihapus bukanlah teksnya, tetapi hukumnya, pen) oleh ayat lain yakni, “Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka ..” maka anak-anak akan dimasukkan ke dalam surga karena kebaikan yang dibuat bapak-bapaknya. (Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Quran, 22/546-547)
Sementara dalam kitab Tabyin Al Haqaiq Syarh Kanzu Ad Daqaiq, disebutkan bahwa An Najm ayat 39 tersebut dikhususkan untuk kaum Nabi Musa dan Ibrahim, karena di dalam rangkaian ayat tersebut diceritakan tentang kitab suci mereka berdua, firmanNya: “Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran- lembaran Musa? dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji?” (QS. An Najm (53): 36-37)
Ada juga yang mengatakan, maksud ayat tersebut (An Najm 39) adalah untuk orang kafir, sedangkan orang beriman, maka baginya juga mendapatkan manfaat usaha dari saudaranya. (Imam Fakhruddin Az Zaila’i, Tabyin Al Haqaiq Syarh Kanzu Ad Daqaiq, 5/132)
8. Imam Ibnu Nujaim Al Hanafi dan Imam Kamaluddin bin Al Hummam Rahimahumallah
ومنها ما رواه أبو داود “اقرءوا على موتاكم سورة يس” وحينئذ فتعين أن لا يكون قوله تعالى: {وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} [النجم:39] على ظاهره، وفيه تأويلات أقربها ما اختاره المحقق ابن الهمام أنها مقيدة بما يهبه العامل يعني ليس للإنسان من سعي غيره نصيب إلا إذا وهبه له فحينئذ يكون له.
“Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud: “Bacalah surat Yasin atas orang yang menghadapi kematian di antara kalian.” Saat itu tidaklah ayat: Manusia tidaklah mendapatkan kecuali apa yang diusahakannya (An Najm: 39) diartikan secara zhahir. Ayat ini memliki banyak takwil. Yang paling dekat dengan kebenaran adalah apa yang telah dipilih oleh Al Muhaqqiq Ibnu Al Hummam, bahwa ayat itu tidak termasuk orang yang menghadiahkan amalnya. Artinya, tidaklah bagi manusia mendapatkan bagian selain apa yang diusahakannya, kecuali jika dia menghibahkan kepada orang lain, maka saat itu menjadi milik orang tersebut.” (Imam Ibnu Nujaim Al Hanafi, Al Bahrur Raiq Syarh Kanz Ad Daqaiq, 3/84. Dar Ihya At Turats)
Dalam kitab Fathul Qadir –nya Imam Ibnul Hummam, pada Bab Al Hajj ‘anil Ghair, setelah beliau memaparkan hadits-hadits tentang amal shalih yang bisa dilakukan orang hidup dan bermanfaat untuk orang mati, seperti doa, haji, sedekah, dan terakhir dia menyebut hadits tentang membaca surat Yasin. Lalu beliau mengatakan, bahwa siapa saja yang berbuat amal kebaikan untuk orang lain maka dengannya Allah Ta’ala akan memberinya manfaat dan hal itu telah sampai secara mutawatir (diceritakan banyak manusia dari zaman ke zaman yang tidak mungkin mereka sepakat untuk dusta, pen). (Imam Kamaluddin bin Al Hummam, Fathul Qadir, 6/134)
9. Imam Al Mardawi Rahimahullah
Beliau berkata:
أي قربة فعلها: الدعاء، والاستغفار، والواجب الذي تدخله النيابة، وصدقة التطوع، والعتق، وحج التطوع، فإذا فعلها المسلم وجعل ثوابها للميت المسلم نفعه ذلك إجماعًا، وكذا تصل إليه القراءة والصلاة والصيام
Ibadah qurbah apa saja yang dilakukan, seperti doa, istighfar, kewajiban yang termasuk bisa diwakilkan, sedekah yang sunah, membebaskan budak, dan haji yang sunah, jika seorang muslim melakukannya dan menjadikan pahalanya untuk mayit muslim, maka itu bermanfaat menurut ijma’, begitu pula sampainya bacaan Al Quran, shalat, dan puasa. (Al Inshaf, 2/560)
Apa yang dikatanyan ijma’ adalah hanya untuk doa, istighfar, kewajiban yang bisa diwakilkan (seperti haji), sedekah sunah, membebaskan budak, dan haji sunah. Ada pun membaca Al Quran, shalat dan puasa untuk mayit adalah diperselisihkan sebagaimana tertera dalam beragam kitab fuqaha.
10. Imam Ibnu Rusyd Al Maliki Rahimahullah
Imam Muhammad Al Kharrasyi mengatakan dalam kitabnya, Syarh Mukhtashar Khalil:
Dalam An Nawazil-nya, Ibnu Rusyd mengatakan: “Jika seseorang membaca Al Quran dan menjadikan pahalanya untuk mayit, maka hal itu dibolehkan. Si Mayit akan mendapatkan pahalanya, dan sampai juga kepadanya manfaatnya. Insya Allah Ta’ala.” (Imam Muhammad Al Kharrasyi, Syarh Mukhtashar Khalil, 5/467)
11. Imam Al Qarrafi Al Maliki Rahimahullah
Beliau mengatakan, “Yang nampak adalah bahwa bagi orang yang sudah wafat akan mendapat keberkahan dari membaca Al Quran, sebagaimana seseorang yang mendapatkan keberkahan karena bertetanggaan dengan orang shalih, maka hendaknya jangan sampai dibiarkan begitu saja mayat dari perkara membaca Al Quran dan tahlil (membaca Laa Ilaha Illallah) yang dilakukan saat dikuburnya.” (Imam Ahmad An Nafrawi, Al Fawakih Ad Dawani, 3/283)
12. Imam Ibnu Hajar Al Haitami Asy Syafi’i Rahimahullah
Dalam Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj beliau mengatakan –setelah mengutip hadits membaca Yasin untuk orang yang sedang sakaratul maut- bahwa hendaknya diperdengarkan bacaan Al Quran bagi mayit agar mendapatkan keberkahannya sebagaimana orang hidup, jika diucapkan salam saja boleh, tentu membacakannya Al Quran adalah lebih utama. Mereka telah menerangkan bahwa dianjurkan bagi para peziarah dan pengantar untuk membacakan bagian dari Al Quran. (Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, 10/371)
13. Imam Syihabuddin Ar Ramli Asy Syafi’i Rahimahullah
Beliau membolehkan membaca Al Quran untuk mayit bahkan setelah dikuburkan, dan ada sebagian pengikut Syafi’i lainnya menyatakan itu sunah. (Imam Syihabuddin Ar ramli, Nihayatul Muhtaj, 2/428)
14. Syaikh Hasanain Makhluf Rahimahullah (Mufti Mesir pada masanya)
Beliau mengatakan –setelah memaparkan berbagai hadits tentang fadhilah Yasin dan analisa yang cukup panjang- bahwa dibolehkan membaca surat Yasin pada orang sakit untuk meringankannya, juga pada orang yang mengalami sakaratul maut, dan boleh juga membacanya untuk orang yang sudah wafat dengan alasan untuk meringankannya. (Fatawa Al Azhar, 5/471)
15. Syaikh ‘Athiyah Shaqr Rahimahullah (Mufti Mesir pada masanya)
Setelah beliau memaparkan hadits-hadits tentang pembacaan Yasin untuk orang wafat, beliau mengatakan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang waktu pembacaannya. Ada yang mengatakan sebelum wafat (ketika sakaratul maut) demi meringankan keluarnya ruh, dan saat itu pun malaikat hadir mendengarkannya untu menurunkan rahmat. Ada juga yang mengatakan dibaca setelah wafat, baik sebelum di kubur atau sesudah dikubur, sama saja. Dan dibolehkan membaca Yasin dengan menghadiahkan pahalanya, Insya Allah itu bermanfaat bagi mayit, dan surat Yasin memiliki keutamaan itu dan juga pengaruhnya. Sedangkan pendapat beliau sendiri, membaca surat Yasin adalah sama saja waktunya, baik ketika sakaratul maut atau setelah wafatnya. Malaikat ikut mendengarkannya, mayit mendapatkan faidahnya karena hadiah tersebut, dan si pembaca juga mendapatkan pahala, begitu pula pendengarnya akan mendapatkan pelajaran dan hikmah darinya. (Fatawa Al Azhar, 8/295)
Kesimpulan
Demikianlah perselisihan ini. Telah nampak bagi kami, bahwa pandangan kelompok pertama, kelompok yang tidak mensyariatkan membaca untuk orang wafat, adalah pendapat yang lebih kuat dan lebih selamat. Sesuai alasan yang disampaikan oleh Imam Ibnu Katsir. Yaitu, tidak ada nash shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang contoh atau perintahnya. Sedangkan pesan Abdullah bin Amru agar dia dibacakan Al Quran jika dikuburkan, tidaklah memiliki implikasi syariat, sebab dia bukanlah pembuat syariat. Bagaimana mungkin pesan orang lain menjadi dihukumi sunah, padahal ada perbuatan nabi yang belum tentu dihukumi sunah? Alasan kelompok yang membolehkan, hal ini diqiyaskan dengan sedekah, doa, dan haji, yang memang memiliki nash shahih kebolehannya, dan semua ini telah menjadi ijma’ memiliki manfaat untuk orang wafat. Ini juga telah dibantah oleh Imam Ibnu Katsir, Beliau katakan tidak boleh melakukan qiyas dalam urusan ibadah ritual dan ini sudah menjadi ketetapan para ahli ushul. Ibadah ritual harus memiliki dalil khusus untuk melaksanakannya. Sedangkan, kebolehan mengirim sedekah, doa, dan haji, untuk orang wafat memang memiliki dalil shahih yang jelas. Wallahu A’lam
Namun, masih ada jalan keluar yang bisa kita tempuh untuk keluar dari perselisihan ini, yakni semua ulama sepakat (ijma’) bahwa berdoa untuk sesama muslim, baik masih sehat, orang sakit, sakaratul maut, dan orang yang sudah meninggal adalah dibolehkan, sebagaimana yang sudah kami jelaskan. Maka, bagi yang tetap ingin mengirimkan pahala membaca Al Quran, sebaiknya ia lakukan dalam bentuk doa saja, setelah dia membaca Al Quran: “Ya Allah, jadikanlah bacaan Al Quranku tadi sebagai rahmat bagi si fulan, dan berikanlah pahalanya bagi si fulan.” Inilah cara yang ditempuh oleh sebagian ulama –seperti Imam Muhammad Al Kharrasyi dan Imam Ahmad An Nafrawi- untuk menengahi dua arus pemikiran ini. Jadi, membaca Al Quran tidak langsung diniatkan untuk si mayit, tapi ia berdoa kepada Allah Ta’ala semoga pahala bacaan Al Qurannya disampaikan untuk si mayit.
Dalam kitab Al Madkhal disebutkan bahwa barangsiapa yang ingin menyampaikan pahala bacaan Al Quran untuk mayit tanpa ada perselisihan pendapat, maka hendaknya dia menjadikannya sebagai doa, seperti: Allahuma awshil tsawaba Dzalik (Ya Allah, sampaikanlah pahala ini ..) (Syarh Mukhtashar Khalil, 5/468. Al Fawakih Ad Dawani, 3/283).
Terakhir, kami sampaikan pandangan bijak dari seorang ulama masa kini, Beliau tidak menyetujui membaca Al Quran untuk orang yang sudah wafat, tetapi pandangannya yang jernih dan sikapnya pun dewasa. Berikut ucapan Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim:
أما أن نذهب إلى الميت، أو إلى القبر ونقرؤها فبعض العلماء يقول: كان بعض السلف يحب أن يقرأ عنده يس، وبعضهم يحب أن تقرأ عنده سورة الرعد، وبعضهم سورة البقرة، كل ذلك من أقوال السلف ومن أفعالهم، فلا ينبغي الإنكار في ذلك إلى حد الخصومة، ولو أن إنساناً عرض وجهة نظره واكتفى بذلك فقد أدى ما عليه، لكن أن تؤدي إلى الخصومة والمنازعة والمدافعة فهذا ليس من سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم في البيان، وفي الدعوة إلى الله أو إلى سنة رسول الله.
“Adapun kami pergi menuju mayit, atau kubur, dan kami membaca Al Quran. Maka sebagian ulama mengatakan: “Dahulu kaum salaf menyukai membaca surat Yasin di samping mayit, sebagian lagi menyukai membaca surat Ar Ra’du, dan sebagian lain surat Al Baqarah. Semua ini merupakan ucapan dan perbuatan kaum salaf (terdahulu). Maka, tidak semestinya mengingkari hal itu hingga lahir kebencian. Seandainya manusia sudah menyampaikan pandangannya maka hal itu sudah cukup, dan dia telah menunaikan apa yang seharusnya. Tetapi jika demi melahirkan permusuhan, perdebatan, dan menyerang, maka ini bukanlah sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam memberikan penjelasan, dan bukan cara dakwah kepada Allah dan kepada sunah Rasulullah.” (Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim, Syarh Bulughul Maram, Hal. 113. Maktabah Misykah)
Wallahu A’lam


Sumber



Referensi:
- Al Quranul Karim
- Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Quran, karya Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari
- Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, karya Imam Abu Al Fida bin Katsir
- At Tafsir Al Kabir, karya Imam Fakhruddin Ar Razi
- Sunan Abu Daud, karya Imam Abu Daud
- Sunan Ibnu Majah, karya Imam Ibnu Majah
- Shahih Ibnu Hibban, karya Imam Ibnu Hibban
- Musnad Ahmad, karya Imam Ahmad
- Al Mu’jam Al Kabir, karya Imam Ath Thabarani
- Syu’abul Iman, karya Imam Al Baihaqi
- Bulughul Maram, karya Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani Asy Syafi’i
- Syarh Bulughul Maram, karya Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim
- At Talkhish Al Habir, karya Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani Asy Syafi’i
- Riyadhushshalihin, karya Imam Abu Zakaria Yahya Syarf An Nawawi Asy Syafi’i
- Tuhfah Al Ahwadzi Syarh Sunan At Tirmidzi, karya Syaikh Abdurraman Al Mubarkafuri
- Hasyiah ‘ Ala Ibni Majah, karya Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil Hadi As Sindi
- Hasyiah Raddul Muhtar ‘ Ala Durril Mukhtar, karya Imam Muhammad Amin bin ‘Abidin Al Hanafi
- Ad Durrul Mukhtar Syarh Tanwir Al Abshar, karya Imam Al Hashfaki Al Hanafi
- Syarh Sunan Abi Daud, karya Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr
- Raudhatul Muhadditsin, karya kumpulan para ulama
- Irwa’ul Ghalil, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
- Misykah Al Mashabih, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
- As Silsilah Adh Dhaifah, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
- Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
- Dhaiful Jami’ush Shaghir, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
- Subulus Salam, karya Imam ‘Amir Ash Shan’ani
- Fiqhus Sunnah, karya Syaikh Sayyid Sabiq
- Syarh Mukhtashar Khalil, karya Imam Muhammad Al Kharrasyi Al Maliki
- Al Fawakih Ad Dawani, karya Imam Ahmad An Nafrawi Al Maliki
- I’anatuth Thalibin Syarh Fathul Mu’in, karya Imam Sayyid Al Bakri Ad Dimyathi Asy Syafi’i
- Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, karya Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki Asy Syafi’i
- Nihayatul Muhtaj, karya Imam Syihabuddin Ar Ramli Asy Syafi’i
- Al Muhadzdzab, karya Imam Abu Ishaq Asy Syirazi Asy Syafi’i
- Al Majmu Syarh Al Muhadzdzab, karya Imam Abu Zakaria Yahya Syarf An Nawawi Asy Syafi’i
- Majmu’ Fatawa , karya Syaiukh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
- Fatawa Islamiyah, karya kumpulan para Ulama Saudi Arabia
- Ar Raudhah An nadiyah, karya Syaikh Shiddiq hasan khan
- Nailul Authar, karya Imam Ali Asy Syaukani
- Zaadul Ma’ad, karya Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah Al Hambali
- Al Mulakhash Al Fiqhi, karya Syaikh Shalih bin Abdillah Fauzan Al Hambali
- Al Bayan Li Akhtha’i Ba’dhil Kitab, karya Syaikh Shalih bin Abdillah Fauzan Al Hambali
- Fathul ‘Aziz Syarh Al Wajiz (Asy Syarhul Kabir), karya Imam Abdul Karim Ar Rafi’i Asy Syafi’i
- Asy Syarhul Kabir, karya Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi Al Hambali
- Al Mubdi’ Syarh Al Muqni’, Imam Abu Ishaq bin Muflih Al Hambali
- Syarh Muntaha Al Iradat, karya Imam Manshur bin Yusuf Al Bahuti Al Hambali
- Raudhul Murabba’, karya Imam Manshur bin Yusuf Al Bahuti Al Hambali
- Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, karya Syaikh Wahbah Az Zuhaili
- Al Mughni, karya Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi Al Hambali
- Tabyin Al Haqaiq Syarh Kanzi Ad Daqaiq, karya Imam Fakhruddin Az Zaila’i Al Hanafi
- Al Bahrur Raiq Syarh Kanzi Ad Daqaiq, karya Imam Ibnu Nujaim Al Hanafi
- Fathul Qadir, karya Imam Kamaluddin bin Al Hummam Al Hanafi
- Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, karya para ulama Kuwait
- Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’, karya para ulama besar Kerajaan Saudi Arabia
- Fatawa Al Azhar, karya para mufti Mesir dan para Syaikhul Azhar Kairo
- 60 Biografi Ulama Salaf, karya Syaikh Ahmad Farid
Read more ...

MEMBACA YASIN (QUR’AN) MENURUT ULAMA SALAF & KHALAF KE ORANG SAKARATUL & MAYYIT BAG.1


Rakyat Pakistan membaca qur'an di makam Ali Jinnah Pakistan
Di antara kebiasaan sebagian kaum muslimin di dunia Islam, mereka membaca surat Yasin untuk meringankan proses naza’ (sakaratul maut). Sebagian menolak ini dan menganggapnya sebagai amalan bid’ah dhalalah. Sebagian lain membolehkannya, bahkan menganjurkannya. Sama dengan hal ini, yakni membacanya ketika sudah wafat baik dengan tujuan meringankannya atau mengirim pahala bacaannya, baik di baca di sisi mayit atau di kubur.
Sebenarnya, bagaimanakan masalah ini?
I. Membaca Yasin atau Surat lainnya Untuk Orang Sakaratul Maut
Dari Ma’qil bin Yasar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
اقْرَءُوا عَلَى مَوْتَاكُمْ يس
“Bacalah surat Yasin kepada orang yang menjelang wafat di antara kalian.”
Takhrij Hadits :
Hadits ini dikeluarkan oleh:
- Imam Abu Daud dalam Sunannya, Kitab Al Janaiz Bab Qira’ah ‘Indal Mayyit, No. 3121
- Imam Ahmad dalam Musnadnya, Jilid. 5, No. 19416
- Imam Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya, Kitab Al Janaiz wa Maa Yata’alaqu biha Muqaddiman wa Mu’akhiran Fashl fi Al Muhtadhar, No. 3002.
- Imam Ibnu Majah dalam kitab Sunannya, Kitab Al Janaiz Bab Maa Ja’a fimaa Yuqalu ‘Indal Maridh Idza Hadhara, No. 1448
- Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir, No. 16904
- Imam Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, No. 2356
Kedudukan Hadits:
Dengan dimasukannya hadits ini dalam kitab Shahih-nya Imam Ibnu Hibban, maka menurutnya hadits ini adalah shahih. Hal ini juga ditegaskan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani. (Bulughul Maram, Kitabul Janaiz, no. 437. Cet.1, Darul Kutub Al Islamiyah)
Sementara, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani mendhaifkan hadits ini. (lihat Irwa’ul Ghalil No. 688, Misykat Al Mashabih No. 1622, Dhaif Al Jami’ush Shaghir No. 1072, Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 3121, dan Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 1448)
Imam Ash Shan’ani menjelaskan, bahwa Imam Ibnul Al Qaththan menyatakan adanya cacat pada hadits ini yakni idhthirab (goncang), dan mauquf (hanya sampai sahabat nabi), dan terdapat rawi (periwayat) yang majhul (tidak dikenal) yakni Abu Utsman dan ayahnya. Sementara, Imam Ibnul ‘Arabi mengutip dari Imam Ad Daruquthni, yang mengatakan bahwa hadits ini sanadnya mudhtharib (goncang), majhulul matni (redaksinya tidak dikenal), dan tidak shahih satu pun hadits dalam bab ini (tentang Yasin). (Subulus Salam, 3/63. Lihat juga Al Hafizh Ibnu Hajar, Talkhish Al Habir, No. 734, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 4/ 22. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)
Namun demikian, kelemahan hadits ini diperkuat oleh riwayat lainnya.
Imam Ahmad dalam Musnad-nya, mengatakan, telah berkata kepada kami Abul Mughirah, telah berkata kepada kami Shafwan, katanya: “Dahulu para masyayikh (guru) mengatakan jika dibacakan surat Yasin di sisi mayit, maka itu akan meringankannya.”
Pengarang Musnad Al Firdaus telah menyandarkan riwayat ini, dari Abu Darda’ dan Abu Dzar, mereka mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidaklah seorang mayit meninggal lalu dibacakan surat Yasin di sisinya, melainkan Allah Ta’ala akan memudahkannya.”
Lalu, Imam Ash Shan’ani mengatakan, bahwa dua riwayat inilah yang menguatkan penshahihan yang dilakukan Imam Ibnu Hibban, yang maknanya adalah menjelang kematian (bukan dibaca sesudah wafat, pen), dan dua riwayat ini lebih jelas dibanding riwayat yang dijadikan dalil olehnya. (Subulus Salam, Ibid. At Talkhish Al Habir, Ibid. Nailul Authar, Ibid)
Sebagian kalangan mendhaifkan riwayat Imam Ahmad, dari Abul Mughirah, dari Shafwan di atas, karena dua faktor. Pertama, kesamaran (mubham) para masyayikh, siapa mereka? Kedua, dalam sanadnya terdapat Shalih bin Syuraih yang dinilai majhul (tidak dikenal) oleh Imam Abu Zur’ah.
Namun, hal ini telah dijawab, bahwa masyayikh di atas adalah para sahabat nabi, sebagaimana kata Al Hafizh Ibnu Hajar. Maka tidak benar jika dikatakan mubham (samar). Ada pun Shalih bin Syuraih, hanya dianggap majhul oleh Abu Zur’ah, sedangkan para imam lain mengambil hadits darinya.
Imam Adz Dzahabi memberikan jawaban yang mengoreksi pendapat Abu Zur’ah, Katanya:
قال أبو زرعة: مجهول قلت: روى عنه جماعة
Berkata Abu Zur’ah: Majhul. Aku katakan: “Jamaah (ahli hadits) telah meriwayatkan darinya.” (Mizanul I’tidal, 2/295)
Apa yang dikatakan oleh Imam Adz Dzahabi sebagai netralisir dari anggapan Imam Abu Zur’ah atas kemajhulan Shalih bin Syuraih. Justru Imam Abu Hatim sendiri menceritakan jati diri Shalih bin Syuraih ini, katanya:
صالح بن شريح كاتب عبد الله بن قرط وكان عبد الله بن قرط أميرا لأبي عبيدة بن الجراح على حمص
“Shalih bin Syuraih adalah seorang sekretaris Abdullah bin Qurth, dan Abdullah bin Qurth adalah pemimpin daerah Himsh yang diangkat Abu Ubaidah bin Al Jarrah.” (Al Jarh wat Ta’dil, No. 1775)
Maka, penghasanan yang dilakukan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar, tidak salah. Insya Allah
Ibnu ‘Alan dalam Syarh Al Adzkar menerangkan bahwa Imam Ibnu Hajar juga menjadikan riwayat dari Shafwan ini sebagai penguat hadits ini, dan menurutnya riwayat Shafwan tersebut adalah mauquf dan sanadnya hasan. Bahkan, Al Hafizh Ibnu Hajar menghukumi riwayat tersebut adalah marfu’ (sampai kepada Rasulullah) dengan alasan para masyayikh (guru) tersebut yakni para sahabat dan tabi’in senior, tidak mungkin berkata menurut pendapat mereka sendiri. Sementara Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan, dengan sanad shahih, dari jalan Abu Sya’tsa’ Jabir bin Zaid, salah seorang tabi’in terpercaya, bahwa dianjurkan dibacakan di sisi mayit surah Ar Ra’du. (Raudhatul Muhadditsin, 10/266/4691. Al Adzkar, 1/144)
Tertulis dalam kitab Raudhatul Muhadditsin, disebutkan bahwa Imam An Nawawi dalam Al Adzkar menyatakan hadits ini dhaif, lantaran ada dua orang yang majhul (tidak dikenal), hanya saja –katanya- Imam Abu Daud tidak mendhaifkannya. Namun, Imam An Nawawi menjadikan hadits ini sebagai dalil sunahnya membaca surat Yasin dihadapan orang yang sedang menghadapi kematian. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 5/76)
Maka, kedhaifan hadits di atas telah diperkuat oleh beberapa riwayat lain yang mauquf (dari Abu Darda dan Abu Dzar) dan marfu’ (riwayat Shafwan) , sehingga penshahihan yang dilakukan oleh Imam Ibnu Hibban, lalu dikuatkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar, Imam Ash Shan’ani, Imam Asy Syaukani, dan para imam lainnya menjadikan hadits ini maqbul (bisa diterima).
Wallahu A’lam
Makna Mautakum
Mautakum berarti orang yang sedang menghadapi kematian, bukan orang sudah wafat. Imam Ibnu Hajib mengatakan, maksud hadits ini adalah ketika orang tersebut menjelang wafat, bukan mayit yang dibacakan Al Quran.(Imam Ahmad An Nafrawi, Al Fawakih Ad Dawani ‘Ala Risalati Ibni Abi Zaid Al Qairuwani, 3/282).
Al ‘Allamah Abu Bakr Ad Dimyathi mengatakan, dibacakan ketika menjelang wafat (muqaddimat), karena sesungguhnya orang wafat tidaklah dibacakan Al Quran. (I’anatuth Thalibin, 2/107).
Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri mengatakan: “Ketahuilah! Maksud Al Mauta dalam hadits ini adalah orang yang sedang menghadapi kematian, bukan orang yang sudah mati secara hakiki.” (Tuhfah Al Ahwadzi, 4/53. Maktabah As Salafiyah)
Imam Abul Hasan As Sindi mengatakan: “Yakni ketika menghadapi kematian atau sesudah wafat, disebutkan: tetapi yang benar adalah yang pertama (menghadapi kematian). Karena mayit tidaklah dibacakan Al Quran .” (Hasyiah As Sindi ‘Ala Ibni Majah, No. 1438. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Hafizhahullah mengatakan:
وقوله: (موتاكم) أي: الذين قاربوا الموت، وليس المقصود به الذي مات
“Sabdanya (mautakum): yaitu orang-orang yang mendekati kematian, bukan maksudnya orang yang sudah mati.” (Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad, Syarh Sunan Abi Daud No. 223. Maktabah Misykah)
Makna-makna seperti juga disampaikan oleh para imam lainnya seperti Imam An Nawawi, Imam Al Qurthubi, dan lainnya.
Para Ulama Yang Menganjurkan Membaca Yasin di Hadapan Orang Yang Sakaratul Maut
Perlu diketahui, anjuran membaca surat Yasin dihadapan orang yang sedang sakaratul maut adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Hal ini dikatakan oleh Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah sebagai berikut:
وقال الجمهور: يندب قراءة {يس} لحديث «اقرؤوا على موتاكم يس» واستحسن بعض متأخري الحنفية والشافعية قراءة {الرعد} أيضا ً، لقولجابر: «إنها تهون عليه خروج روحه»
والحكمة من قراءة {يس} أن أحوال القيامة والبعث مذكورة فيها، فإذا قرئت عنده، تجدد له ذكر تلك الأحوال.
Jumhur ulama mengatakan: disunahkan membaca Yasin, lantaran hadits: Bacalah oleh kalian kepada orang yang menghadapi sakaratul maut, surat Yasin. Sebagian ulama muta’akhirin (belakangan) dari kalangan Hanafiah dan Syafi’iyah juga memandang baik membaca surat Ar Ra’du, dengan alasan perkataan Jabir: “Hal itu bisa meringankan ketika keluarnya ruh.”
Hikmah dibacakannya surat Yasin adalah bahwa peristiwa kiamat dan hari kebangkitan disebutkan di dalam srat tersebut. Maka, jika dibacakan di sisinya hal itu bisa memperbarui ingatannya terhadap peristiwa-peristiwa tersebut. (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 2/599. Maktabah Misykah)
Pendapat ini pun didukung oleh lembaga fatwa Lajnah Daimah di Kerajaan Saudi Arabia dan Syaikh Shalih Fauzan Hafizhahullah, sebagaimana yang akan kami paparkan nanti.
Berikut ini adalah sebagian saja para imam yang membolehkan dan menganjurkan membaca surat Yasin bagi orang yang sakaratul maut.
1. Al Imam Al Hafizh Abu Hatim Ibnu Hibban Radhiallahu ‘Anhu, sebagaimana tertera dalam kitab Shahih-nya:
قال أبو حاتم رضى الله تعالى عنه قوله اقرؤوا على موتاكم يس أراد به من حضرته المنية لا أن الميت يقرأ عليه وكذلك قوله صلى الله عليه وسلم لقنوا موتاكم لا إله إلا الله
“Berkata Abu Hatim Radhiallahu ‘Anhu, sabdanya: “Bacalah terhadap mautakum surat Yasin.” Maksud (mautakum) adalah barang siapa yang sedang menghadapi kematian, sebab mayit tidaklah dibacakan Al Quran atasnya. Demikian pula sabdanya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: Talqinkan mautakum: Laa Ilaha Illallah.” (Shahih Ibnu Hibban No. 3002)
2. Imam Abu Ishaq Asy Syirazi Rahimahullah, mengatakan dalam kitabnya, Al Muhadzdzab:
ويستحب أن يقرأ عنده سورة يس لما روى معقل بن يسار أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال اقرءوا على موتاكم يعني يس
“Dan disunahkan membaca di sisinya surat Yasin, karena telah diriwayatkan oleh Ma’qil bin Yasar bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Bacalah oleh kalian terhadap orang yang sakaratul maut diantara kalian,” yakni Yasin. (Al Muhadzdzab, 1/126. Mawqi’ Ruh Al Islam)
3. Imam An Nawawi Rahimahullah, mengatakan dalam kitabnya, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab:
يُسْتَحَبُّ أَنْ يَقْرَأَ عِنْدَ المُحْتَضَرِ سُورَةَ (يس) هَكَذَا قَالهُ أَصْحَابُنَا وَاسْتَحَبَّ بَعْضُ التَّابِعِينَ سُورَةَ الرَّعْدِ أَيْضًا.
“Disunahkan membacakan surat Yasin di sisi orang yang sedang menghadapi kematian. Demikian ini juga dikatakan oleh para sahabat kami (syafi’iyah), dan disukai pula oleh sebagian tabi’in membaca surat Ar Ra’du.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 5/76. Dar ‘Alim Al Kitab)
4. Imam Ibnu Katsir Rahimahullah, mengatakan dalam tafsirnya:
وكأن قراءتها عند الميت لتنزل الرحمة والبركة، وليسهل عليه خروج الروح، والله أعلم.
“Dan, seakan membacanya di sisi mayit akan menurunkan rahmat dan berkah, dan memudahkan keluarnya ruh. Wallahu A’lam” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 6/562. Dar An Nasyr wat Tauzi’)
Maksud mayit dalam kalimat Imam Ibnu Katsir di atas adalah orang yang menjelang wafat, bukan orang yang sudah wafat.
5. Imam Abdul Karim Ar Rafi’i Rahimahullah
Beliau berkata dalam kitab Fathul Aziz Syarh Al Wajiz, biasa disebut Asy Syarhul Kabir:
تتلي عليه سورة يسن لما روى انه صلي الله عليه وسلم: قال (اقرؤ يس علي موتاكم) واستحب بعض التابعين المتأخرين قراءة سورة الرعد عنه ايضا
“Dibacakan atasnya surat Yasin, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Bacalah Yasin atas orang yang sakaratul maut di antara kalian.” Disukai oleh sebagian tabi’in generasi belakangan, untuk membaca surat Ar Ra’du juga.” (Imam Abdul Karim Ar Rafi’i, Fathul Aziz Syarh Al Wajiz (Asy Syarhul Kabir), 5/110. Darul Fikr)
6. Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil Hadi As Sindi Rahimahullah, mengatakan dalam Hasyiahnya:
أَيْ عَلَى مَنْ حَضَرَهُ الْمَوْت أَوْ بَعْد الْمَوْت أَيْضًا وَقِيلَ بَلْ الْمُرَاد الْأَوَّل لِأَنَّ الْمَيِّت لَا يُقْرَأ عَلَيْهِ وَقِيلَ لِأَنَّ سُورَة يس مُشْتَمِلَة عَلَى أُصُول الْعَقَائِد مِنْ الْبَعْث وَالْقِيَامَة فَيَتَقَوَّى بِسَمَاعِهَا التَّصْدِيق وَالْإِيمَان حَتَّى يَمُوت .
“Yaitu terhadap orang yang sedang menghadapi kematian, atau sesudah matinya juga. Dikatakan: tetapi maksudnya adalah yang pertama (sebelum wafat) karena mayit tidaklah dibacakan Al Quran atasnya. Dan, disebutkan: karena surat Yasin mengandung dasar-dasar aqidah; berupa hari kebangkitan, kiamat, maka dengan mendengarkannya dapat menguatkannya dan membenarkan dan mengimaninya, sampai dia meninggal.” (Hasyiah As Sindi ‘Ala Ibni Majah, No. 1438. Mawqi’ Ruh Al Islam)
7. Imam Al Hashfaki Al Hanafi
Dalam Ad Durrul Mukhtar Syarh Tanwir Al Abshar, Imam Al Hashfaki mengatakan dianjurkan membaca surat Yasin dan Ar Ra’du buat yang sedang mengalami sakaratul maut. (Imam Al Hashfaki, Ad Durrul Mukhtar, 2/207. Darul Fikr)
8. Imam Muhammad Amin bin ‘Abidin Al Hanafi
Sementara Imam Ibnu ‘Abidin, dalam Hasyiah-nya memberikan penjelasan ucapan Imam Al Hashfaki ini dengan menambahkan hadits: “Bacakanlah orang yang sedang sakaratul maut di antara kalian, yakni surat Yasin.” Diriwayatkan oleh Abu Daud, dari Majalid, dari Asy Sya’bi, bahwa dahulu orang-orang Anshar jika ada yang orang yang sedang sakaratul maut, mereka membacakan surat Al Baqarah. Dia juga menyebutkan bahwa ulama muta’akhirin (belakangan) menilai baik membaca Ar Ra’du lantaran ucapan Jabir: bahwa hal itu bisa meringankan keluarnya ruh. (Imam Ibnu ‘Abidin, Hasyiah Raddul Muhtar ‘Ala Ad Durril Mukhtar, 2/207. Darul Fikr)
9. Beberapa Imam madzhab Asy Syafi’i
Dalam kitab I’anatuth Thalibin karya Imam As Sayyid Al Bakri Ad Dimyathi Rahimahullah -yang merupakan syarh atas kitab Fathul Mu’in-nya Imam Al Malibari- beliau menuturkan beberapa perkataan para ulama dalam kitabnya itu:
وفي رباعيات أبي بكر الشافعي: ما من مريض يقرأ عند يس إلا مات ريانا، وأدخل قبره ريانا، وحشر يوم القيامة ريانا.
قال الجاربردي: ولعل الحكمة في قراءتها أن أحوال القيامة والبعث مذكورة فيها، فإذا قرئت عليه تجدد له ذكر تلك الاحوال.
(وقوله: والرعد) أي ويسن أن يقرأ عنده الرعد أي لقول جابر بن زيد: فإنها تهون عليه خروج الروح.
Dalam Ruba’iyat, Abu Bakar Asy Syafi’i berkata, “Tidaklah surat Yasin dibacakan kepada orang sakit melainkan dia akan wafat dalam keadaan puas (tidak haus), dimasukkan ke kubur dalam keadaan puas, dan di kumpulkan pada hari kiamat nanti dalam keadaan puas.”
Berkata Al Jarubardi: “Hikmah dibacakannya adalah bahwa peristiwa kiamat dan hari kebangkitan disebutkan dalam surat tersebut, maka jika dibacakan atasnya dia bisa memperbarui ingatannya atas kejadian-kejadian tersebut.
(Perkataannya: dan surat Ar Ra’du) artinya disunahkan membaca di sisinya surat Ar Ra’du, yaitu lantaran ucapan Jabir bin Zaid: Hal itu akan meringankannya ketika keluarnya ruh. (I’anatuth Thalibin, 2/107)
10. Imam Manshur bin Yusuf Al Bahuti Al Hambali Rahimahullah
Beliau mengatakan dalam kitab Raudhul Murabba’:
ويقرأ عنده سورة يس لقوله صلى الله عليه وسلم: “اقرؤوا على موتاكم سورة يس” رواه أبو داود ولأنه يسهل خروج الروح ويقرأ عنده أيضا الفاتحة
“Dan dibacakan surat Yasin di sisinya, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Bacalah Yasin atas orang yang mengahdapi skaratul maut di antara kalian.” Diriwayatkan oleh Abu Daud. Lantaran ini bisa memudahkan keluarnya ruh, dan juga dibacakan di sisinya surat Al Fatihah.” (Raudhul Murabba’, 1/122. Darul Fikr)
11. Imam Abu Ishaq bin Muflih Al Hambali Rahimahullah
Beliau mengatakan dalam kitab Al Mubdi’ Syarh Al Muqni’:
“ويقرأ عنده سورة “يّس” لقوله عليه السلام “اقرؤوا {يّس} على موتاكم” رواه أبو داود وابن ماجه وفيه لين من حديث معقل بن يسار ولأنه يسهل خروج الروح ونص على أنه يقرأ عنده فاتحة الكتاب وقيل وتبارك.
“Dan dibacakan di sisinya surat Yasin, karena sabdanya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: Bacalah Yasin untuk orang yang menghadapi kematian di antara kalian. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah, di dalamnya ada kelemahan, dari hadits Ma’qil bin Yasar) karena ini bisa memudahkan keluarnya ruh. Dan, katanya hendaknya dibaca surat Al Fatihah di sisinya. Dikatakan: surat Tabarak (Al Mulk).” (Imam Ibnu Muflih, Al Mubdi’ Syarh Al Muqni’, 2/196. Mawqi’ Ruh Al Islam)
12. Imam Fakhruddin Ar Razi Rahimahullah
Berkata Imam Fakhruddin Ar Razi Rahimahullah dalam At Tafsir Al Kabir: “Perintah membaca surat Yasin kepada orang yang menjelang wafat, karena adanya riwayat dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: ‘Segala sesuatu memiliki hati, dan hatinya Al Quran adalah Yasin.’ Hal ini, karena lisan saat itu lemah kekuatannya dan tak ada harapan, tetapi hati sedang menuju kepada Allah secara keseluruhannya, maka dibacakan kepadanya apa-apa yang dapat menguatkan hati dan membantu kayakinannya terhadap tiga perkara mendasar (ushuluts tsalatsah). Maka, hal itu diperbolehkan dan penting baginya.” Ini juga berlaku bagi si pembacanya. (Imam Fakhruddin Ar Razi, Al Tafsir Al Kabir, 13/99)
13. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah
Dalam pembahasan sunah-sunah bagi yang mengurus orang meninggal, beliau mengatakan sunahnya membaca surat Yasin, berdalil dengan hadits-hadits dan atsar yang telah disebutkan sebelumnya. (Fiqhus Sunnah, 1/502. Darul Kitab Al ‘Arabi)
14. Syaikh Shalih bin Abdullah Fauzan Hafizhahullah
Dalam kitab Al Mulakhash Al Fiqhi, beliau tegas mengatakan bahwa membaca Yasin untuk orang yang sedang menghadapi kematian adalah sunah. Berikut perkataannya:
ويقرأ عنده سورة {يَاسِينَ} ، لقوله صلى الله عليه وسلم: “اقرأوا على موتاكم سورة ياسين” ، رواه أبو داود وابن ماجه وصححه ابن حبان، والمراد بقوله: “موتاكم” : من حضرته الوفاة. أما من مات فأنه لا يقرأ عليه، فالقراءة على الميت بعد موته بدعة، بخلاف القراءة على الذي يحتضر؛ فإنها سنة
“Membaca di sisinya surat Yasin, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Bacakanlah orang yang sedang sakaratul maut di antara kalian, surat Yasin. (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban). Dan, maksud Mautakum adalah orang yang sedang menghadapi kematian, ada pun orang mati tidaklah dibacakan Al Quran atasnya. Maka membaca Al Quran atas mayit setelah matinya adalah bid’ah, berbeda dengan membaca untuk yang menghadapi kematian, maka itu adalah sunah.” (Al Mulakhash Al Fiqhi, 1/296. Mawqi’ Ruh Al Islam)
15. Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Hafizhahullah
Beliau mengatakan dalam Syarh Sunan Abi Daud:
فإنه يكون عند الاحتضار، وليس بعد الموت، فقوله: (موتاكم) أي: الذين قاربوا الموت
“Maka, membacanya itu adalah ketika menghadapi kematian, bukan setelah kematiannya. Sabdanya (mautakum): artinya orang-orang yang mendekati kematian.” (Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad, Syarh Sunan Abi Daud No. 363. Maktabah Misykah)
16. Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim
Beliau berkata dalam Syarh Bulughul Maram:
إذاً: قراءة (يس) على موتانا تكون على من حضره الموت. والحكمة في ذلك أن الروح تنشط ويخف عليه نزعات الموت، ويكون أخف عليه مما لو ترك.
“Jadi, membaca Yasin kepada Mautana, artinya kepada orang yang sedang menghadapi kematian. Hikmahnya adalah hal demikian agar menggerakan ruh dan meringankannya ketika mengalami naza’ (sakarul maut), dan itu lebih ringan atasnya dibanding jika ditinggalkan.” (Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim, Syarh Bulughul Maram, Hal. 113. Maktabah Misykah)
17. Fatwa Lajnah Daimah Kerajaan Saudi Arabia
Dalam fatwa no. 1504, ketika ditanya apa yang dimaksud dengan hadits: Iqra’uu ‘ala Mautaakum Yasin (bacakanlah atas orang yang mengalami sakaratul maut di antara kalian, surat yasin). Mereka memaparkan beberapa hadits (yang sudah kami bahas di atas), lalu mereka mengatakan:
وعلى هذا فلسنا في حاجة إلى شرح الحديث؛ لعدم صحته، وعلى تقدير صحته؛ فالمراد به، قراءتها على من حضرته الوفاة ليتذكر، ويكون آخر عهده بالدنيا سماع تلاوة القرآن، لا قراءتها على من مات بالفعل، وحمله بعضهم على ظاهره، فاستحب قراءة القرآن على الميت بالفعل لعدم وجود ما يصرفه عن ظاهره، ونوقش بأنه لو ثبت الحديث وكان هذا المراد منه لفعله النبي صلى الله عليه وسلم ونقل إلينا لكنه لم يكن ذلك كما تقدم، ويدل على أن المراد بالموتى في هذا الحديث لو صح: (المحتضرون)؛ ما رواه مسلم في صحيحه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: « لقنوا موتاكم: لا إله إلاَّ الله » فإن المرادبهم: المحتضرون، كما في قصة أبي طالب عم النبي صلى الله عليه وسلم.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
“Atas dasar ini, kami tidaklah berhajat untuk memberikan penjelasan terhadap hadits ini; tidak mengingkari keshahihannya dan tidaklah memberikan penilaian atas keshahihannya, tetapi maksud dari hadits itu adalah membacanya ketika dia menjelang wafat untuk memberikannya peringatan, dan menjadikan akhir hidupnya di dunia adalah mendengarkan Al Quran, dan bukanlah yang dimaksud adalah membacanya buat orang yang sudah wafat, dan sebagian mereka ada yang memahami maknanya secara zhahirnya dan mereka menyunnahkan membaca Al Quran untuk mayit dan mengingkari makna selain zhahirnya, kami membahasnya dengan keadaan seandainya hadits ini shahih. Dan makna dari ini adalah menunjukkan perbuatan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan itu telah dinukil kepada kami, tetapi hal itu tidaklah terjadi sebagaimana penjelasan lalu, Hadits ini menunjukkan bahwa makna Al Mauta –seandai haditsnya shahih- adalah Al Muhtadharun (menghadapi kematian), sebagaimana yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: (Talqinkan orang yang sedang menghadapi kematian di antara kalian dengan: Laa Ilaha Illallah), maka maksud mereka adalah Al Muhtadharun, sebagaimana kisah Abu Thalib, paman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Wa billahit Taufiq wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam. ” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al ‘Ilmiah wa Ifta, 11/28)
Demikianlah fatwa yang ditanda tangani oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (ketua), Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi (wakil), dan Syaikh Abdullah bin Ghudyan (anggota), mereka membolehkan membaca Yasin untuk orang yang sedang sakaratul maut, namun bukan untuk yang sudah wafat, apalagi di kuburan.
Sekedar informasi, saat menjelang wafatnya Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani (28 Dzulhijjah 852H), yakni dua jam setelah Isya’, orang-orang dan sahabatnya (Di antaranya adalah Al Hafizh Al Imam As Sakhawi, pen) berkerumun untuk membacakan surat Yasin, ketika sampai ayat 58:
“(kepada mereka dikatakan): “Salam”, sebagai Ucapan selamat dari Tuhan yang Maha Penyayang.”
Saat itulah beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir. (Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Hal. 851. Pustaka Al Kautsar)
Demikianlah para ulama yang membolehkan membaca surat Yasin kepada orang yang sedang mengalami sakaratul maut, dengan tujuan meringankan proses keluarnya ruh. Ada pun Imam Malik dan pengikutnya yang terdahulu memakruhkan membaca Al Quran untuk orang sakaratul maut. Wallahu A’lam
Bersambung…

Sumber
Read more ...

YANG TAK ISBAL JANGAN MERENDAHKAN YANG ISBAL


isbal
ISBAL BANYAK DI LAKUKAN PARA ULAMA SALAF
Fakta ini membantah anggapan segelintir golongan tentang haramnya Isbal tanpa terkecuali.mereka beramsumsi bahwa terkait hadits isbal tidak terdapat kalimat “karena sombong”, padahal Rasulullah dalam hadits tersebut bersabda:
ﻋَﻦْ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦِ ﻋُﻤَﺮَ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻣَﻦْ ﺟَﺮَّ ﺛَﻮْﺑَﻪُ ﺧُﻴَﻼَﺀَ ﻟَﻢْ ﻳَﻨْﻈُﺮْ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺇِﻟَﻴْﻪِﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺃَﺑُﻮ ﺑَﻜْﺮٍ ﺇِﻥَّ ﺃَﺣَﺪَ ﺷِﻘَّﻲْ ﺛَﻮْﺑِﻲ ﻳَﺴْﺘَﺮْﺧِﻲ ﺇِﻻَّﺃَﻥْ ﺃَﺗَﻌَﺎﻫَﺪَ ﺫَﻟِﻚَ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَﺇِﻧَّﻚَ ﻟَﺴْﺖَ ﺗَﺼْﻨَﻊُ ﺫَﻟِﻚَ ﺧُﻴَﻼَﺀَ ) ﺻﺤﻴﺢ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ، 3392
Dari Abdullah bin Umar RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang memanjangkan pakaiannya hingga ke tanah karena sombong, maka Allah SWT tidak akan melihatnya (memperdulikannya) pada hari kiamat” Kemudian sahabat Abu Bakar bertanya, sesungguhnya bajuku panjang namun aku sudah terbiasa dengan model seperti itu. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya engkau tidak melakukannya karena sombong”(Shahih  al-Bukhari, 3392).
Berangkat dari hadits ini, ternyata banyak para ulama salaf yang ber-isbal, namun tidak di maksudkan untuk sombong.berikut buktinya:
ﺍﻟﻤﻌﺠﻢ ﺍﻟﻜﺒﻴﺮ ﻟﻠﻄﺒﺮﺍﻧﻲ ) 9/ 89، ﺑﺘﺮﻗﻴﻢ ﺍﻟﺸﺎﻣﻠﺔ ﺁﻟﻴﺎ(ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﺇِﺳْﺤَﺎﻕَ، ﻗَﺎﻝَ: ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺍﺑْﻦَ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﺃَﻳَّﺎﻡَ ﻣِﻨًﻰ ﻃَﻮِﻳﻞَﺍﻟﺸَّﻌْﺮِ، ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺇِﺯَﺍﺭٌ ﻓِﻴﻪِ ﺑَﻌْﺾُ ﺍﻹِﺳْﺒَﺎﻝِ، ﻭَﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺭِﺩَﺍﺀٌ ﺃَﺻْﻔَﺮُ
Dari Abu Ishaq, ia berkata, “Aku melihat Ibnu Abbas pada hari Mina beliau berambut panjang, mengenakan sarung yang mencapai sebagian Isbal, dan mengenakan mantel berwarna kuning.” (HR.At-Thabarani dalam Mu’jam al-Kabir li at-Thabarani juz.9 hal.89)
ﺳﻨﻦ ﺍﻟﻨﺴﺎﺋﻲ ﺍﻟﻜﺒﺮﻯ ) 5/ 484(ﻋﻦ ﻣﻮﻟﻰ ﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ : ﺃﻥ ﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻛﺎﻥ ﺇﺫﺍ ﺍﺗﺰﺭ ﺃﺭﺧﻰﻣﻘﺪﻡ ﺇﺯﺍﺭﻩ ﺣﺘﻰ ﺗﻘﻊ ﺣﺎﺷﻴﺘﻪ ﻋﻠﻰ ﻇﻬﺮ ﻗﺪﻣﻪ
Dari budak ibnu Abbas, bahwasanya ibnu Abbas jika mengenakan sarung beliau menjulurkan bagian depan sarungnya hingga ujung sarungnya menyentuh punggung kakinya. (HR.An-Nasai dalam Sunan An-Nasa’i Al-Kabir juz.5 hal.484)
ﻣﺼﻨﻒ ﺍﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺷﻴﺒﺔ ) 8/ 208(ﻋَﻦْ ﻋَﻤْﺮِﻭ ﺑْﻦِ ﻣُﻬَﺎﺟِﺮٍ ، ﻗَﺎﻝَ : ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻗُﻤُﺺُ ﻋُﻤَﺮَ ﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِﺍﻟْﻌَﺰِﻳﺰِ ﻭَﺛِﻴَﺎﺑُﻪُ ﻣَﺎ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟْﻜَﻌْﺐِ ﻭَﺍﻟﺸِّﺮَﺍﻙِ .
Dari Amr bin Muhajir, ia berkata, “Jubah-jubah Umar bin Abdul Aziz, serta pakaian-pakaiannya menjulur hingga antara mata kaki dan tali sandalnya.” (HR.Ibnu Abi Syaibah dalam Mushnaf Abi Syaibah juz.8 hal.208)
ﻣﺼﻨﻒ ﺍﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺷﻴﺒﺔ ) 8/ 209(ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺍﺑْﻦُ ﻣَﻬْﺪِﻱٍّ ، ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻋَﻮَﺍﻧَﺔَ ، ﻋَﻦْ ﻣُﻐِﻴﺮَﺓَ ، ﻗَﺎﻝَ :ﻛَﺎﻥَ ﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴﻢُ ﻗَﻤِﻴﺼُﻪُﻋَﻠَﻰ ﻇَﻬْﺮِ ﺍﻟْﻘَﺪَﻡِ .
Dari Mughiroh, ia berkata, “Ibrohim An-Nakho’i jubahnya menjulur hingga punggung telapak kakinya.” (H.R.Ibnu Abi Syaibah dalam Mushnaf Abi Syaibah juz.8 hal.209)
ﺃﺧﺮﺝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﻓﻲ )) ﺍﻟﻌﻠﻞ (( – ﺭﻭﺍﻳﺔ ﺍﺑﻨﻪ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ – ) ﺭﻗﻢ : 841 ( ﻗﺎﻝ : ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺳﻠﻴﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﺣﺮﺏ ﻗﺎﻝ : ﺣﺪَّﺛﻨﺎ ﺣﻤﺎﺩ ﺑﻦ ﺯﻳﺪ ، ﻗﺎﻝ ”:ﺃﻣﺮَﻧِﻲ ﺃﻳّﻮﺏ ﺃﻥ ﺃﻗﻄﻊَ ﻟﻪ ﻗﻤﻴﺼﺎً ﻗﺎﻝ : ﺍﺟﻌﻠْﻪ ﻳﻀﺮِﺏُ ﻇَﻬْﺮَ ﺍﻟﻘﺪﻡ ، ﻭ ﺍﺟﻌَﻞْ ﻓَﻢَ ﻛُﻤِّﻪِ ﺷﺒﺮﺍً .“
ﺇﺳﻨﺎﺩﻩٌ ﺻﺤﻴﺢٌ .
Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab al-‘Ilal, riwayat putranya Abdullah nomor 841, Suliman bin Harb memberitahu aku, Hammad bin Zaid
berkata, “Ayub memerintahkanku untuk memotong sebuah jubah untuknya. Ia berkata, ‘Jadikan jubahku (sepanjang) hingga menyentuh punggung kakiku. Dan jadikan lebar lengannya sejengkal.” (HR.Ahmad dalam Al-’Ilal)
Adapun Sanadnya adalah Shahih.
***
Ini menandakan bahwa Isbal yang dilakukan para ulama Salaf tanpa adanya maksud sombong, itu tidak apa-apa atau hukumnya Makruh (bukan haram) , seperti telah dibahas dalam banyak kitab-kitab fiqh, terutama madzhab Syafi’iyah.
Alhamdulillah, Mayoritas umat Ahlussunnah Wal Jamaah masih tetap mengikuti kaum salaf dan ulama kibar, dalam mengamalkan ajaran agama islam walaupun tanpa berkoar-koar sebagai pengikut Salaf, dan sesungguhnya kelompok yang mengklaim dirinya sebagai pengikut salaf ternyata hanya  mengaku-ngaku saja dan sama sekali jauh bahkan bertolak belakang dari tradisi salaf.
Faktanya dalam hal ini mereka mengharamkan kaum salaf, termasuk para Ahli hadits. Pertanyaannya, siapa yang lebih memahami keharaman? Para ahli hadits dan ulama kibar dahulu yang berisbal tanpa tujuan sombong, atau kaum wahabi dan Syaikh Albani ??

Sumber
Read more ...

Rabu, 16 Juli 2014

Download Software Zakat Versi Kemenag RI, ZAKAS V. 1. 0




Assalamu'alaikum...
Bagi kawan-kawan yang merasa kesulitan menghitung jumlah zakat yang harus dikeluarkan, mungkin software zakat yang dibuat oleh tim falak Kemenag RI ini bisa membantu...

Langsung saja, berikut ini langkah-langkah download dan pemakaiannya :

1. Sebelum mendownload software ini pastikan system windows teman-teman sudah terinstal Dot NetFrame Work 4. Bagi yang belum teinstal isa mendownloadnya disini

2.  Download Software ZAKAS v. 1. 0 disini (741 kb)

3. Extract file hasil download tadi.

4. Buka software dengan klik "Zakat Application System (ZAKAS)". Silahkan dipilih zakat apa yang akan teman-teman cari pada tab yang tersedia dibagian atas.

Semoga bermanfaat

Sumber
Read more ...

Download Software Fara'id/Penghitung Warisan Versi Kemenag RI, WINWARIS v. 1. 1

Assalamu'alaikum...
Kawan-kawan.. ini ada satu lagi software buatan tim falak Kemenag RI, namanya WINWARIS, software ini berfungsi untuk menghitung warisan menganut sistem islam.

Dengan software ini kita akan dipermudah dalam menentukan bagian warisan bagi tiap-tiap ahli waris, karena dengan memasukkan datanya secara lengkap kemudian mengklik hitung, maka segera akan ditunjukkan hasilny, mudah bukan?..

Seperti sowtware sebelumnya, sebelum mendownload software ini pastikan system windows teman-teman sudah terinstal Dot NetFrame Work 4. Bagi yang belum teinstal isa mendownloadnya disini

Kemudian download Software WINWARIS v. 1. 1 disini (3 MB)

Untuk menginstalnya, buka file tadi, kemudian klik "WINWARIS Setup", lalu klik Next sampai selesai...

Setelah proses instalasi selesai, buka software WINWARIS yang berupa ikon folder pada desktop



Masukkan data-data yang diperlukan, mulai jumlah harta waris, jumlah hutang, wasiat mayit, dan jumlah ahli waris yang ada. Satu hal lagi yang penting, pada tab kedua dibagian atas, pilih perhitungannya berdasarkan madzhab-madzhab fiqih. Kalau semua sudah dilengkapi, klik "Proses/Hitung"..

Selamat mencoba.. semoga bermanfaat..

Sumber
Read more ...

Selasa, 01 Juli 2014

Penjelasan Syeikh Ali Jum'ah Tentang Rakaat Shalat Taraweh


Berapa jumlah rakaat shalat taraweh, Fatwa Syeikh Ali Jumah
Salah satu ibadah yang di tuntut dalam bulan Ramadhan adalah shalat taraweh yang setiap tahunnya selalu terjadi polemik tentang shalat taraweh berkenaan dengan jumlah rakaatnya, antara pihak yang mengatakan shalat taraweh adalah 8 rakaat dengan pihak yang mengatakan bahwa shalat taraweh adalah 20 rakaat.
Pada tulisan sebelumnya kami telah memaparkan dalil tentang jumlah rakaat taraweh. Kali ini kami akan mengutip fatwa Syeikh Ali Jumah (mantan mufti Mesir dan merupakan seorang ulama besar zaman ini, lahir tahun 1952) tentang jumlah rakaat shalat teraweh dari kitab beliau al-Bayan li ma Yasyghulu al-azhan jilid 1 tepatnya pada pertanyaan ke 62 pada halaman 186 – 190. Kami mengutip setiap paragraf dengan di iringi terjemahannya. File kitab tersebut bisa di download disini dalam format pdf. Untuk jilid duanya bisa di download disini

Berikut penjelasan Syeikh Ali Jumah beserta terjemahannya:
س 62 يختلف الناس فى شهر رمضان المبارك بشأن مسألة صلاة التراوح فما هو الحكم الصحيح فى عدد ركعاتها ؟

soal ke 62:
Manusia berselisih paham dalam bulan Ramadhan yang penuh barakah tentang shalat taraweh, berapa sebenarnya pendapat yang shahih tentang jumlah rakaatnya?

الجواب
نعيش النزاع السنوى فى شهر رمضان المبارك بين المتشددين الذين يريدون حمل الناس على مذهبهم والعوام الذين لا يجدوا من ينقذهم من هؤلاء . وسبب هذا الخلاف مسألة عدد ركعات صلاة التراويح فاصحاب الصوت العالى يخطئون الأئمة والامة بأسرها على مدى القرون الماضية وينكرون عليهم ايما انكار ويتهمونهم بالإبتداع ويحرمون ما أحل الله إذ قالوا لا يجوز الزيادة عن ثمان ركعات فى صلاة التراويح

jawab:
Kita menghidupkan perdebatan tahunan dalam bulan Ramdhan antara golongan garis keras yang berencana menarik manusia ke dalam mazhab mereka dan masyarakat awam yang tidak menemukan penolong dari (kesesatan) mereka. Sebab perbedaan ini adalah masalah jumlah rakaat shalat taraweh. Golongan yang bersuara tinggi (radikal) menyalahkan para ulama (ulama empat mazhab) dan sekalian umat sepanjang masa yang telah lalu. Mereka mengingkari para ulama dengan pengingkaran yang kuat dan menuduh mereka sebagai ahli bid’ah, mereka telah mengharamkan apa yang Allah halalkan ketika mereka berkata “tidak boleh shalat lebih dari delapan rakaat pada shalat teraweh”.

والتراويح فى اللغة جمع الترويحة يقول ابن منظور الترويحة فى شهر رمضان سميت بذلك لاستراحة القوم بعد كل أربع ركعات وفي الحديث صلاة التراويح لأنهم كانوا يستريحون بين كل تسليمتين والتراويح جمع ترويحة وهي المرة الواحدة من الراحة تفعيلة منها مثل تسليمة من السلام

Taraweh pada loghat adalah jamak dari tarwihah . Ibnu Manzur berkata “Tarwihah dalam bulan Ramdhan, di namakan dengan demikian (taraweh) karena para jamaah beristirahat setelah setiap empat rakaat. Dalam hadits : shalat taraweh, karena mereka beristirahat di antara setiap dua salam, kata taraweh adalah jamak tarwihah. Tarwihah merupakan satu kali istirahat, wazan taf’ilah dari kalimat raahah, sama dengan taslimah dari kata salaam”.

وبمجرد التعريف اللغوى يتبين أن صلاة التراويح أكثر من ثمان ركعات لأن الترويحة الواحدة بعد أربع ركعات فلو كانت ترويحتين للزم أن يكون عدد الركعات إثنى عشر ركعة والحق أن الأمة أجمعت على أن صلاة التراويح عشرون ركعة من غير وتر وثلاث عشرون ركعة بالوتر وهو معتمد المذهب الفقهية الأربعة الحنفية والمالكية فى المشهور والشافعية والحنابلة . وهناك قول نقل عن المالكية خلاف المشهور انها ست وثلاثون ركعة ولم تعرف الأمة القول بأن صلاة التراويح ثمان ركعات إلا فى هذا الزمان. وسبب وقوعهم فى تلك المخالفة افهم الخظأ للسنة النبوية وعد قدرتهم على الجمع بين الأحاديث وعد إلتفات إلى الإجماع القولى والفعلى من لدن الصحابة إلى يومنا هذا فاستشهدوا بحديث عائشة رضي الله عنها حيث قال ما كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يزيد في رمضان ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة يصلي أربعا فلا تسل عن حسنهن وطولهنن ثم يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي ثلاثا فقالت عائشة فقلت يا رسول الله أتنام قبل أن توتر ؟ فقال يا عائشة إن عيني تنامان ولا ينام قلبي

Dengan semata-mata defenisi secara harfiyah nyatalah bahwa shalat taraweh jumlah rakaatnya melebihi delapan rakaat, karena sekali istirahat adalah setelah empat rakaat, maka jikalau shalat taraweh itu dua kali istirahat maka maka lazimlah bahwa jumlah rakaat shalat taraweh adalah dua belas rakaat, sedangkan yang haq bahwa para umat (ulama) telah sepakat (ijmak) bahwa shalat teraweh adalah dua puluh rakaat tanpa witir dan dua puluh tiga dengan witir. Ini merupakan pegangan empat Mazhab Fiqih; Mazhab Hanafi, Mazhab Maliky, Mazhab Syafii dan Mazhab Hanbali. Selain itu ada pendapat yang di naqal dari ulama Mazhab Maliky berebeda dengan yang masyhur bahwa jumlah rakaat taraweh adalah tiga puluh enam rakaat. Umat Islam tidak mengenal pendapat bahwa shalat teraweh delapan rakaat kecuali pada zaman ini. Penyebab mereka bisa terjatuh dalam perbedaan tersebut adalah karena kesalahan dalam memahami sunah Nabi, dan tidak mampu mengkompromikan hadits-hadits dan tidak melihat kepada ijmak qauly, ijmak fi’ly semenjak masa para shahabat hingga hari ini. sehingga mereka mengambil dalil dari hadits Siti Aisyah : “Tidaklah Rasulullah SAW melebihkan shalat dalam bulan Ramadhan dan selainnya dari sebelas rakaat, beliau shalat empat rakaat, maka jangan kamu tanyakan kebagusan dan panjangnya, kemudian beliau shalat empat rakaat maka jangan kamu tanyakan kebagusan dan panjangnya, kemudian beliau shalat tiga rakaat. Siti Aisyah berkata “Ya Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum melakukan shalat witir, beliau menjawab, Ya Aisyah, sesungguhnya mata saya tidur namun hati saya tidak tidur:

هذا الحديث يحكى عن هدى النبى صلى الله عليه وسلم فى نافلة قيام الليل عموما ولم يتعرض إلى صلاة التراويح إذ هى قيام مخصوص بشهر رمضان وهى سنة نبوية فى أصلها عمرية فى كيفيتها بمعنى أن الأمة صارت على ما سنه سيدنا عمر رضي الله عنه من تجميع الناس على القيام فى رمضان فى جميع الليالى وعلى عدد الركعات التى جمع الناس عليها على ابى بن كعب رضي الله عنه والنبي يقول عليكم بسنى وسنة الخقاء الراشدين المهدين عضوا عليها بالنواجذ

Hadits ini menceritakan petunjuk Nabi SAW tentang shalat malam secara umum, dan beliau tidak menunjuki kepada shalat taraweh, karena shalat taraweh adalah shalat malam yang khusus di bulan Ramadhan, shalat taraweh adalah sunnnah Nabawiyah pada landasan dasarnya yang landasan kaifiyatnya adalah hadits Saidina Umar, maksudnya; umat berpendapat sebagaimana sunnah Saidina Umar ra berupa menghimpunkan manusia dalam mendirikan Ramadhan di malam hari dan dengan jumlah rakaat yang beliau perintahkan ketika menghimpunkan manusia dengan (imam Shalat) Ubai bin Ka’ab, sedangkan Nabi bersabda “peganglah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang terpetunjuk, gigitlah sunnah mereka dengan geraham”.

إن لم يكن مستند الأمة فعل سيدنا عمر رصي الله عنه فلم تؤدى التراويح فى جماعة فى المسجد على إمام واحد وكأن هؤلاء يأخذون من سنة سيدنا عمر جمع الناس على إمام طوال الشهر وهو ما لم يفعله النبي ويتركون عدد ركعات ويزعمون أنهم يطبقون سنة صلى الله عليه وسلم فان كان هذا صحيحا وأنتم لا تلتفتون لفعل سيدنا عمر رضي الله عنه فيجب عليكم أت تصلوا التراويح فى البيت وتتركوا الناس يطبقون دين الله كما ورثواه ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم

Jika bukan sandaran umat adalah perbuatan Saidina Umar maka kenapa shalat taraweh di kerjakan secara berjamaah dengan satu imam. Mereka (kaum pengingkar jumlah shalat taraweh 20 rakaat) mengambil sunnah Saidina Umar yang mengumpulkan manusia dalam satu Imam sepanjang bulan, padahal hal ini tidak pernah di kerjakan oleh Nabi SAW, dan mereka meninggalkan jumlah rakaat (yang di kerjakan Saidina Umar) dan mereka mendakwakan diri mereka yang sesuai dengan sunnah Nabi SAW, maka jika ini benar, dan kamu tidak mau melihat kepada perbuatan Saidina Umar maka wajiblah atas kamu untuk shalat taraweh di dalam rumah dan meninggalkan manusia yang sesuai dengan agama Allah sebagaimana mereka warisi. La haula wala quwwata illa billah al-‘adhiim.

والادلة على أن ذلك فعل عمر رضي الله عنه ما رواه عبد الرحمن بن عبد القارى أنه قال خرجت مع عمر بن خطاب رضي الله عنه ليلة فى رمضان إلى المسجد فإذا الناس أوزاع متفرقون يصلى الرجل لنفسه ويصلى الرجل فيصلى بصلاته الرهط فقال عمر إني أرى لو جمعت هؤلاء على قارئ واحد لكان أمثل ثم عزم فجمعهم على أبي بن كعب قال ثم خرجت معه ليلة ً أخرى والناس يصلون بصلاة قارئهم فقال عمر بن الخطاب نعمت البدعة هذه والتي تنامون عنها أفضل من التي تقومون يريد آخر الليل وكان الناس يقومون أوله

Dalil bahwa hal tersebut adalah perbuatan Saidina Umar adalah hadits yang di riwayatkan oleh Abdur Rahman bin Abdul Qary, beliau berkata “saya keluar bersama Umar bin Khatab pada satu malam dalam bulan Ramadhan ke mesjid, ketika itu manusia berada dalam beberapa kelompok yang terpisah-pisah, seseorang shalat untuk dirinya sendiri, dan seseorang (yang lain juga) shalat, kemudian shalat dengan shalatnya satu kelompok (mengikutinya sebagai imam). Maka Saidina Umar berkata “saya berpendapat jikalau mereka di satukan dalam saru qari (imam) sungguh akan lebih baik”. Kemudian beliau bersungguh-sungguh dan menghimpunkan mereka atas (imam) Ubay bin Ka’ab, kemudian saya keluar pada malam yang lain, sedangkan manusia shalat dengan satu qari (imam) mereka. Saidina Umar berkata “sebaik-baik bid’ah adalah ini, shalat yang mereka tidur darinya lebih baik dari (shalat) yang mereka dirikan”, maksud beliau adalah (shalat yang di kerjakan) pada akhir malam, sedangkan manusia mengerjakannya pada awal malam”.

وأن تلك الصلاة التى جمع عمر رضي الله عنه الناس عليها هى التراويح وهى عشرون ركعة دل على ذلك عدة أحاديث منها ما رواه السائب بن يزيد رضي الله عنه حيث قال كانوا يقومون على عهد عمر بن الخطاب رضى الله عنه فى شهر رمضان بعشرين ركعة - قال - وكانوا يقرءون بالمئين ، وكانوا يتوكئون على عصيهم فى عهد عثمان بن عفان رضى الله عنه من شدة القيام

Dan sesungguhnya shalat yang oleh Saidina Umar satukan manusia atas seorang Imam adalah shalat tarawih yaitu dua puluh rakaat, sebagaimana di tunjuki oleh beberapa hadits, antara lain; hadits riwayat Saib bin Yazid beliau berkata “mereka mendirikan shalat pada masa Saidina Umar dalam bulan Ramadhan dengan dua puluh rakaat. Beliau berkata “mereka membaca dua ratus (ayat) dan bertekan kepada tongkat mereka pada masa Saidina Usman karena beratnya berdiri (karena panjang bacaannya

وعن يزيد بن رومان قال كان الناس يقومون فى زمان عمر بن الخطاب فى رمضان بثلاث وعشرين ركعة

Diriwayatkan dari Yazid bin Ruman beliau berkata “adalah manusia mendirikan shalat pada masa Saidina Umar bin Khatab pada bulan Ramadhan dengan dua puluh tiga rakaat.

واتفقت المذاهب الفقهية الاربعة على ذلك فذهب الحنفية إلى ذلك قال السرخسى عن التراويح انها عشرون ركعة سوى الوترعندنا وقال مالك رحمه الله تعالى السنة فيها ستة وثلاثون . وذكر الكسانى ما يؤكد ذلك حيث قال وأما قدرها فعشرون ركعة في عشر تسليمات، في خمس ترويحات كل تسليمتين ترويحة وهذا قول عامة العلماء

Mazhab yang empat sepakat atas demikian (dua puluh rakaat). Mazhab Hanafi berpendapat demikian. Imam Sarkhasy berkata tentang shalat taraweh, shalat taraweh adalah dua puluh rakaat selain witir dalam mazhab kita (Mazhab Hanafi), Imam Malik berkata yang sunnah dalam bulan Ramadhan adalah tiga puluh enam rakaat, al-Kasa`i (ulama Mazhab Hanafi) menyebutkan hal yang menguatkan hal demikian. Beliau berkata adapun kadar (rakaat)nya adalah dua puluh rakaat dengan sepuluh kali salam dalam lima kali istirahat. setiap dua kali salam satu kali istirahat, ini adalah pendapat umum ulama”.

ويعضد ضلك ما نقله العلامة ابن عابدين فى حاشيته حيث قال قوله ( وهي عشرون ركعة ) هو قول الجمهور وعليه عمل الناس شرقا وغربا

Hal tersebut di kuatkan dengan kutipan Imam Ibnu Abidin dalam kita Hasyiah beliau, beliau berkata “shalat taraweh adalah dua puluh rakaat, ini adalah pendapat mayoritas ulama, dan yang di amalkan manusia (umat Islam) di Timur dan Barat.

وأما المالكية فالمشهور من مذهبهم ما يوافق الجمهور قال العلامة الدردير ( والتراويح ) برمضان ( وهي عشرون ركعة ) بعد صلاة العشاء يسلم من كل ركعتين غير الشفع والوتر ( و ) ندب ( الختم فيها ) أي التراويح ، بأن يقرأ كل ليلة جزءا يفرقه على العشرين ركعة

Adapun Mazhab Maliki, yang masyhur dalam mazhab mereka adalah sesuai dengan pendapat mayoritas ulama. Imam ad-Dardiry berkata “Shalat taraweh di bulan Ramadhan adalah dua puluh rakaat setelah shalat Isya, memberi salam dari setiap dua rakaat selain yang ganjil dan witir. dan di sunahkan menkhatamkan al-quran dalam shalat taraweh, dengan cara membaca al-quran setiap malam satu juz yang di bagi dalam dua puluh rakaat.

وذكر العلامة النفراوى قوة مذهب الجمهور وموافقة أتباع مالك له والقول الآخر لمالك فقال (وكان السلف الصالح) وهم الصحابة رضي الله تعالى عنهم (يقومون فيه) في زمن خلافة عمر بن الخطاب رضي الله عنه وبأمره كما تقدم (في المساجد بعشرين ركعة) وهو اختيار أبي حنيفة والشافعي وأحمد، والعمل عليه الآن في سائر الأمصار. (ثم) بعد صلاة العشرين (يوترون بثلاث) من باب تغليب الأشرف لا أن الثلاث وتر؛ لأن الوتر ركعة واحدة كما مر، ويدل على ذلك قوله: (ويفصلون بين الشفع والوتر بسلام) استحبابا ويكره الوصل إلا لاقتداء بواصل، وقال أبو حنيفة: لا يفصل بينهما، وخير الشافعي بين الفصل والوصل، واستمر عمل الناس على الثلاثة والعشرين شرقا وغربا. (ثم) بعد وقعة الحرة بالمدينة (صلوا) أي السلف غير الذين تقدموا؛ لأن المراد بهم هنا من كان في زمن عمر بن عبد العزيز (بعد ذلك) العدد الذي كان في زمن عمر بن الخطاب (ستا وثلاثين ركعة غير الشفع والوتر) ... – إلى أن قال - وهذا اختاره مالك في المدونة واستحسنه وعليه عمل أهل المدينة، ورجح بعض أتباعه الأول الذي جمع عمر بن الخطاب الناس عليها لاستمرار العمل في جميع الأمصار عليه

Al-Allamah an-Nafrawi menyebutkan kuatnya pendapatnya mayoritas ulama dan pengikut Mazhab Malik menyetujuinya, demikian juga pendapat akhir dari Imam Malik. Beliau berkata : dan adalah ulama salaf yang shaleh yaitu para shahabat mendirikan shalat dalam bulan Ramadhan pada zaman Khalifah Umar bin Khatab dan dengan perintah beliau dalam mesjid dengan dua puluh rakaat, ini adalah yang di pilih oleh Abu Hanifah, Imam Syafii dan Imam Ahmad, inilah yang di amalkan pada masa sekarang di seluruh Negri. Kemudian setelah dua puluh rakaat, mereka melakukan witir dengan tiga rakaat. (penamaan shalat tersebut dengan witir) adalah secara taghlib kepada yang lebih mulia (ganjil lebih mulia daripada genap), bukan karena tiga itu ganjil, karena yang ganjil adalah satu rakaat sebagaimana (penjelasan) yang telah lalu. Hal ini juga di tunjuki oleh perkataan beliau ; dan mereka memisahkan antara shalat genap dan ganjil dengan salam yang sunat, dan di makruhkan menyambungnya kecuali karena mengikuti imam yang juga mengambungnya (antara dua rakaat witir dan satu rakaat). Abu Hanifah berkata “tidak boleh di pisahkan di antara keduanya”. Imam Syafii memberikan pilihan antara memisahkan dan menyambungnya. Amalan kaum muslimin terus menerus dengan 23 rakaat baik di timur dan di barat. Kemudian setelah peperangan harrah di Madinah, para ulama salaf yang lain – karena yang di maksudkan dengan mereka disini adalah para ulama yang ada pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz – setelah jumlah bilangan yang ada pada masa Saidina Umar (20 rakaat) shalat dengan 36 rakaat selain genap dan ganjil (shalat witir 3 rakaat) – hingga akhir perkataan beliau – ini adalah pendapat yang di pilih oleh Imam Malik dalam kitab al-Mudawwanah, dan beliau menganggapnya baik dan ini adalah yang di amalkan oleh ahli Madinah. Sebagian pengikut Imam Malik lebih menguatkan yang pertama (20 rakaat) sebagaimana Saidina Umar menyatukan manusia atasnya karena berkekalan amalan (umat Islam) atasnya pada sekalian kota.

وأما الشافعية فيصرحون بأن التراويح عشرون ركعة ذكر الامام النواوى ذلك فقال : مذهبنا أنها عشرون ركعة بعشر تسليمات غير الوتر وذلك خمس ترويحات والترويحة أربع ركعات بتسليمتين هذا مذهبنا وبه قال أبو حنيفة وأصحابه وأحمد وداود وغيرهم ونقله القاضى عياض عن جمهور العلماء وحكى أن الاسود بن مزيد كان يقوم بأربعين ركعة ويوتر بسبع وقال مالك التراويح تسع ترويحات وهى ستة وثلاثون ركعة غير الوتر واحتج بأن أهل المدينة يفعلونها هكذا

Adapun ulama Mazhab Syafii, mereka menyebutkan secara jelas bahwa shalat taraweh adalah 20 rakaat, Imam Nawawi menyebutkan hal demikian. beliau berkata “menurut mazhab kita shalat taraweh adalah 20 rakaat dengan sepuluh kali salam selain witir, demikian adalah lima kali istirahat, satu kali istirahat adalah empat rakaat dengan dua kali salam. Ini adalah mazhab kita dan juga pendapat Abu Hanifah dan pengikut beliau, Imam Ahmad, Daud ad-Dhahiry, dan imam ainnya. Dan juga di kutip oleh Qadhi Iyadh dari mayoritas ulama. Di hikayahkan bahwa al-Aswad bin Mazid mendirikan shalat 40 rakaat dan melakukan witir dengan tujuh rakaat. Imam Malik berkata, shalat taraweh itu adalah tujuh kali istirahat yaitu tiga puluh enam rakaat selain witir, beliau berhujjah bahwa ahli Madinah melakukannya demikian”.

ويجمع الشافعية بين مذهب المالكية ومذهب الجمهور حيث عللوا زيادة الركعات عند الامام مالك بأن ذلك لتعويض الطواف فى المسجد الحرام . قال ابن حجر : وهي عندنا لغير أهل المدينة عشرون ركعة كما أطبقوا عليها في زمن عمر - رضي الله عنه - لما اقتضى نظره السديد جمع الناس على إمام واحد فوافقوه وكانوا يوترون عقبها بثلاث، وسر العشرين أن الرواتب المؤكدة غير رمضان عشر فضوعفت فيه؛ لأنه وقت جد وتشمير، ولهم فقط لشرفهم بجواره - صلى الله عليه وسلم - ست وثلاثون جبرا لهم بزيادة ستة عشر في مقابلة طواف أهل مكة أربعة أسباع بين كل ترويحة من العشرين سبع

Para ulama Mazhab Syafii menyatukan pendapat Mazhab Maliki dan Mazhab mayoritas ulama ketika mereka (ulama Mazhab Syafii) memberikan alasan penambahan rakaat (hingga 36 rakaat) menurut Imam Malik, hal tersebut merupakan sebagai ganti dari thawaf yang di lakukan di Masjid Haram. Ibnu Hajar al-Haitami berkata “shalat taraweh menurut kita (mazhab Syafii) selain ahli Madinah adalah 20 rakaat sebagaimana telah di sepakati pada masa Saidina Umar, karena sesuai dengan pandangan beliau yang tepat yang menyatukan manusia atas satu imam shalat kemudian mereka (shahabat yang lain) menyetujuinya. mereka melakukan shalat witir setelah taraweh dengan tiga rakaat. Rahasia shalat taraweh 20 rakaat adalah shalat rawatib muakkad dalam bulan lain adalah 10 rakaat maka dalam bulan Ramdhan di gandakan (menjadi 20 rakaat) karena Ramdhan adalah waktu bersunguh-sungguh (dalam beribadah). Dan hanya bagi mereka (penduduk Madinah) – karena kemulian mereka dengan sebab berhampiran dengan Rasulullah SAW – boleh menambahkan 16 rakaat (jumlah semuanya 36) sebagai ganti thawaf penduduk kota Makkah empat kali di antara setiap istirahat dari 20 rakaat sebanyak 7 kali.

ويؤكد ذلك ما ذكره العلامة شمس الدين محمد الرملى حيث قال : وهي عشرون ركعة بعشر تسليمات في كل ليلة من رمضان، لما روي أنهم كانوا يقومون على عهد عمر بن الخطاب في شهر رمضان بعشرين ركعة. وفي رواية لمالك في الموطأ بثلاث وعشرين. وجمع البيهقي بينهما بأنهم كانوا يوترون بثلاث، وقد جمع الناس على قيام شهر رمضان الرجال على أبي بن كعب، والنساء على سليمان بن أبي حثمة، وقد انقطع الناس عن فعلها جماعة في المسجد إلى ذلك، وسميت كل أربع منها ترويحة؛ لأنهم كانوا يتروحون عقبها: أي يستريحون

hal tersebut juga di kuatkan oleh penjelasan Imam Syamsuddin Muhammad Ramli, beliau berkata “shalat taraweh adalah 20 rakaat dengan 10 kali salam pada tiap malam dalam bulan Ramadhan, karena berdasarkan hadits yang di riwayatkan bahwa kaum muslimin mendirikan shalat pada masa Saidina Umar bin Khatab dengan 20 rakaat. Dalam riwayat Imam Malik dalam kitab al-Muwatha` dengan 23 rakaat, Imam Baihaqy menyatukan keduanya bahwa mereka melakukan witir dengan tiga rakaat. Saidina Umar bin Khatab menyatukan manusia dalam mendirikan bulan Ramadhan, kaum laki-laki di imami oleh Ubai bin Ka’ab sedangkan wanita dengan imam Sulaiman bin Abin Hatsnah. Dan padahal sunguh terputuslah manusia dalam melakukan shalat taraweh secara berjamaah hingga masa itu. Dan di namakan setiap empat rakaat dengan satu tarwihah karena mereka beristirahat setelahnya.

اما الحنابلة فقد صرحوا بأن المختار عند الامام أحمد عشرون ركعة فقال العلامة ابن قدامة المقدسى : والمختار عند أبي عبد الله رحمه الله فيها عشرون ركعة وبهذا قال الثوري و أبو حنيفة و الشافعي وقال مالك : ستة وثلاثون وزعم أنه الأمر القديم وتعلق بفعل أهل المدينة فإن صالحا مولى التوأمة قال : أدركت الناس يقومون بإحدى وأربعين ركعة يوترون منها بخمس

Adapun ulama Mazhab Hanbali, mereka menerangkan bahwa yang di pilih di sisi Imam Ahmad adalah dua puluh rakaat, Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisy berkata “yang di pilih di sisi Abu Abdillah (Imam Ahmad) adalah dua puluh rakaat, ini juga pendapat Imam Sufyan Tsaury, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafii. Imam Malik mengatakan 36 rakaat. Ada yang mendakwakan bahwa hal tersebut adalah pendapat beliau yang qadim (terdahulu) dan berdasarkan amalan ahli Madinah. Karena Salih maula at-Tau-amah berkata, saya dapati manusia mendirikan shalat 41 rakaat dan witir darinya sebanyak 5 rakaat”.

وينقل كذلك العلامة البهوتى معتمد المذهب الحنبلى فيقول عن التراويح : سميت بذلك لأنهم كانوا يجلسون بين كل أربع يستريحون وقيل مشتقة من المراوحة وهي التكرار في الفعل وهي ( عشرون ركعة في رمضان ) لما روى مالك عن يزيد بن رومان قال كان الناس يقومون في زمن عمر في رمضان بثلاث وعشرين

Hal serupa juga di kutip oleh Imam al-Bahuty yang menjadi pegangan ulama Mazhab Hanbaly, beliau berkata tentang shalat taraweh, di namakan shalat taraweh dengan demikian karena mereka duduk melakukan istirahat di antara setiap empat rakaat. Ada yang mengatakan bahwa (kata tarawih) di musytaq dari kata murawahah yang artinya berulang-ulang dalam berbuat. shalat taraweh adalah 20 rakaat berdasarkan hadits yang di riwayatkan oleh Imam Malik dari Yazid bin Rauman beliau berkata, adalah manusia mendirikan shalat pada masa Saidina Umar dengan 23 rakaat.

حتى ابن تيمية الذى يعتمد عليه كثير من المتشددين يؤكد ما ذهب إليه الأئمة ويقر بأنه السنة عند كثير من العلماء فقال : شبه ذلك من بعض الوجوه تنازع العلماء في مقدار القيام في رمضان، فإنه قد ثبت أن أبي بن كعب كان يقوم بالناس عشرين ركعة في قيام رمضان، ويوتر بثلاث. فرأى كثير من العلماء أن ذلك هو السنة ؛ لأنه أقامه بين المهاجرين والأنصار، ولم ينكره منكر. واستحب آخرون: تسعة وثلاثين ركعة ؛ بني على أنه عمل أهل المدينة القديم. وقال طائفة: قد ثبت في الصحيح عن عائشة {أن النبي صلى الله عليه وسلم لم يكن يزيد في رمضان ولا غيره على ثلاث عشرة ركعة}. واضطرب قوم في هذا الأصل، لما ظنوه من معارضة الحديث الصحيح لما ثبت من سنة الخلفاء الراشدين، وعمل المسلمين. والصواب أن ذلك جميعه حسن

Bahkan, Ibnu Taimiyah sendiri yang merupakan pegangan mayoritas kaum radikal menguatkan pendapat para aimmah dan beliau mengakui bahwa hal tersebut adalah sunnah menurut kebanyakan ulama. Beliau berkata “serupa demikian dari beberapa segi oleh perdebat sebagian ulama tentang kadar (rakaat) mendirikan malam ramadhan, karena sungguh tetaplah bahwa Ubay bin Ka’ab berdiri dengan manusia dengan 20 rakaat dalam mendirikan malam Ramadhan dan melakukan witir 3 rakaat. Maka mayoritas ulama berpendapat bahwa hal yang demikianlah yang sunnah. Karena shalat tersebut didirikan di antara kaum muhajin dan Anshar dan tidak ada shahabat yang mengingkarinya. pendapat yang lain mengatakan sunat 39 rakaat berdasarkan amalan ahli Madinah yang qadim. Beliau berkata “sungguh telah tetaplah dalam hadits yang shahih dari Siti Aisyah bahwa Nabi tidak melebihkan shalat dalam bulan Ramadhan dan lainnya dari 23 rakaat”. berbeda-bedalah pendapat ulama tentang dalil ini, karena mereka menyangka adanya kontradiksi antara hadits shahih dengan hal yang tetap dengan sunnah khulaur rasyidin dan amalan kaum muslimin. Yang benar adalah semua adalah hasan.

ومما سبق نرى أن ما عليه الأئمة والعلماء والمذاهب الفقهية على مر العصور سلفا وخلفا شرقا وغربا أن صلاة التراويح عشرين ركعة وهى سنة مؤكدة وليست واجبة فمن تركها حرم أجرا عظيما ومن زاد عليها فلا حرج عليه ومن نقص عنها لا حرج عليه إلا أن ذلك يعد قيام ليل وليس سنة التراويح المذكورة . وااله تعالى أعلى وأعلم

Dari penjelasan terdahulu, bisa kita lihat bahwa pendapat yang akui oleh para aimmah dan ulama dan mazhab fiqh dari semenjak lalu sepanjang masa baik ulama salaf, khalaf, baik di timur dan barat bahwa shalat taraweh adalah 20 rakaat dan sunat muakkad bukan wajib. Maka barang siapa meninggalkannya maka ia terlarang baginya pahala yang besar, dan barang siapa menambahkannya tiada dosa atasnya dan barang siapa yang menguranginya juga tiada dosa baginya tetapi shalatnya tersebut di namakan qiyam lail dan bukan sunah taraweh yang telah di sebutkan. Wallahu A’lam bish shawab.

Maka dari uraian di atas dapat di pahami bahwa para ulama ijmak bahwa shalat taraweh adalah 20 rakaat, sedangkan 8 rakaat bukanlah shalat taraweh, pendapat bahwa shalat taraweh adalah 8 rakaat adalah pendapat yang muncul di akhir zaman dan tidak di kenal pada zaman para mujtahid yang empat.

Download artikel ini dalam format pdf

Sumber
Read more ...

Shalat Taraweh 20 Rakaat


Shalat Taraweh 20 Rakaat
Salah satu syiar Islam di bulan Ramadhan yang penuh berkah dan mempunyai keutamaan di sisi Allah SWT adalah shalat tarawih. Shalat tarawih ini dilakukan pada malam hari di bulan Ramadhan yang dilaksanakan setelah shalat ‘isya dan sebelum shalat witir. Shalat tarawih ini hukumnya sunat muakkad bagi laki-laki dan perempuan. Disunatkan pula melakukannya secara berjamaah.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, muncul fatwa baru menyangkut jumlah bilangan rakaat shalat tarawih. Padahal, sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat muslim di negeri ini bahwa shalat tarawih dilaksanakan sebanyak dua puluh rakaat.

Fatwa baru tersebut menyatakan bahwa bilangan shalat tarawih yang sesuai dengan sunnah Nabi Muhamad SAW hanya delapan rakaat dengan empat kali salam ataupun dua kali salam. Dan bahkan ada yang menyatakan bahwa "shalat teraweh 8 rakaat berarti mengikuti Rasulullah sedangkan shalat taraweh 20 rakaat mengikut Saidina Umar, pilih mana? Rasulullah atau Saidina Umar?
Fatwa baru seperti ini telah membuat resah umat Islam di negeri kita karena mengindikasikan bahwa pelaksanaan shalat tarawih sebanyak dua puluh rakaat adalah suatu amalan bid’ah yang menyesatkan.
Pada akhirnya, fatwa baru ini hanya menimbulkan perpecahan dan merusak tatanan ukhuwah islamiah dalam kalangan umat Islam.

Oleh karena itu tidak ada salahnya bila kita mencoba untuk sedikit menelisik secara arif dan bijaksana bagaimana sebenarnya kesimpulan para salafush-shalih tentang jumlah bilangan rakaat shalat tarawih ini.

Ibnu Manzhur dalam Lisanul-Arab mengutarakan bahwa kata "al-tarawih" merupakan bentuk jamak dari kata "al-tarwihah", yang berarti satu kali istirahat. Penamaan shalat tersebut dengan tarawih dikarenakan para jamaahnya beristirahat sesudah tiap-tiap empat rakaat. Dalam suatu hadits disebutkan shalat tarawih karena mereka beristirahat di antara dua kali salam.

Berpijak dari dasar penamaan tersebut, jelaslah bahwa sesungguhnya bilangan shalat tarawih terlebih banyak dari delapan rakaat. Hal ini disebabkan istirahat dilakukan sesudah tiap-tiap empat rakaat. Karena kata “al-tarawih” berbentuk jamak, maka minimal istirahatnya dilakukan tiga kali sehingga paling sedikit jumlah bilangan rakaatnya adalah dua belas rakaat, bukan delapan rakaat.

Ada dua riwayat hadist yang menjadi pokok permasalahan ini. Pertama, hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah :

عن جابر بن عبد الله رضي الله عنه قال : صلى بنا رسول الله صلى الله عليه و سلم في شهر رمضان ثمان ركعات وأوتر فلما كانت القابلة اجتمعنا في المسجد ورجونا أن يخرج فلم نزل فيه حتى أصبحنا ثم دخلنا فقلنا يا رسول الله اجتمعنا البارحة في المسجد ورجونا أن تصلي بنا فقال إني خشيت أن يكتب عليكم

“Dari Jabir bin Abdullah berkata: ”Kami melakukan shalat bersama Nabi SAW di bulan Ramadhan sebanyak delapan rakaat dan melakukan witir. Pada malam berikutnya kami berkumpul di mesjid dan mengharapkan Nabi SAW keluar bersama kami. Namun Nabi SAW tidak kunjung keluar hingga tiba waktu Shubuh. Ketika Rasulullah SAW tiba kami berkata : Wahai Rasulullah, kami semalam berkumpul di mesjid dan berharap Engkau keluar melakukan shalat bersama kami. Nabi SAW menjawab: “Sesungguhnya saya khawatir shalat ini akan diwajibkan atas kalian”. (HR. Imam al-Thabrani)

Kedua, hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah :

عن أبي سلمة بن عبد الرحمن أنه سأل عائشة كيف كانت صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم في رمضان قالت ما كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يزيد في رمضان ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي ثلاثا فقالت عائشة فقلت يا رسول الله أتنام قبل أن توتر فقال يا عائشة إن عيني تنامان ولا ينام قلبي

"Dari Abi Salamah bin Abd al-Rahman, beliau bertanya kepada ‘Aisyah tentang bagaimana tata cara shalat Rasulullah SAW di bulan Ramadhan. ‘Aisyah berkata : “Rasulullah SAW tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian Beliau shalat empat rakaat dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian Beliau shalat tiga rakaat.” ‘Aisyah kemudian berkata : “Saya bertanya kepada Rasulullah :”Apakah engkau tidur sebelum melakukan shalat witir?” Beliau menjawab : “Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur tapi hatiku tidak tidur". (HR. Imam al-Bukhari dan Imam Muslim)

Kedua riwayat inilah yang menjadi landasan utama “fatwa” baru yang menyebutkan bahwa jumlah bilangan shalat tarawih adalah delapan rakaat. Akan tetapi, kesimpulan ini terkesan sangat tergesa-gesa dan sama sekali tidak memperhatikan perilaku para sahabat Nabi saw sendiri dan pandangan para ulama besar Islam.

Imam al-Baihaqi dalam kitabnya Sunan al-Kubra meriwayatkan :
عن السائب بن يزيد قال : كانوا يقومون على عهد عمر بن الخطاب رضى الله عنه فى شهر رمضان بعشرين ركعة

Dari al-Saib ibn Yazid al-Shahabi, ia berkata : Para sahabat mendirikan shalat tarawih pada bulan Ramadhan sebanyak 20 rakaat.

Dalam thariq yang lain Imam al-Baihaqi meriwayatkan :
عن عطاء بن السائب عن أبى عبد الرحمن السلمى عن على رضى الله عنه قال : دعا القراء فى رمضان فأمر منهم رجلا يصلى بالناس عشرين ركعة

"Diriwayatkan dari ‘Itha’ ibn al-Saib dari Abi ‘Abd al-Rahman al-Salmi dari ‘Ali, ia berkata : “Panggillah orang-orang yang bagus bacaannya dan perintahkan salah seorang dari mereka untuk melakukan shalat bersama para jamaah pada bulan Ramadhan sebanyak 20 rakaat".
Imam Malik dalam kitab al-Muwatha’ meriwayatkan :
عن يزيد بن رومان أنه قال كان الناس يقومون في زمان عمر بن الخطاب في رمضان بثلاث وعشرين ركعة

"Dari Yazīd ibn Rauman, ia berkata :”Sesungguhnya orang-orang pada masa ‘Umar bin al-Khathab mendirikan Ramadhan dengan 23 rakaat".

Secara tekstual, riwayat-riwayat tersebut meriwayatkan pelaksanaan shalat tarawih yang terjadi pada masa sahabat Nabi SAW, yaitu pada masa ‘Umar bin Khathab dan ‘Ali bin Abi Thalib. Segala sesuatu baik berbentuk perkataan, perbuatan dan seumpamanya yang disandarkan kepada sahabat dinamakan dengan hadits mauquf. Sebagian ulama fikih menamakan hadis mauquf dengan atsar, sedangkan hadis marfu’ (yang disandarkan kepada Nabi SAW) dinamakan khabar. Adapun para Muhaditsin sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam al-Nawawī menggunakan istilah khabar kepada hadis mauquf dan hadis marfu’.
Perlu diketahui bahwa sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat tidak selamanya dianggap hadits mauquf. Apa yang disandarkan kepada para sahabat tersebut baru dikatakan hadis mauquf bila berhubungan dengan perkara yang bersumber dari pendapat seseorang dan berkemungkinan untuk dilakukan ijtihad. Namun bila perkara tersebut tidak termasuk masalah-masalah yang dihasilkan dari ijtihad maka hadits tersebut digolongkan sebagai hadis marfu’.

Masalah shalat tarawih termasuk jumlah rakaatnya tidak termasuk perkara ijtihadiyyah dan bukan juga masalah yang bersumber dari perkataan dan pendapat pribadi seseorang. Akan tetapi, para sahabat mengetahui hal itu hanya dari Nabi SAW. Sekiranya hal ini merupakan masalah ijtihadiyyah atau pun masalah yang bersumber dari pendapat seseorang, tentulah para sahabat akan berbeda-beda pengamalannya dalam melakukan shalat tarawih sebagaimana lazimnya terdapat perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam masalah-masalah ijtihadiyyah.

Oleh karena itu, riwayat tentang jumlah bilangan rakaat shalat tarawih yang dilakukan oleh sahabat sebanyak dua puluh rakaat tersebut, kendati hal itu mauquf kepada para sahabat, namun statusnya sama dengan hadis marfu’, yaitu hadis yang bersumber dari Nabi SAW. Apabila berstatus sebagai hadis marfu’, maka ia memiliki kekuatan sebagai sumber hukum sebagaimana halnya hadis-hadis marfu’ yang lain.
Dalil selanjutnya adalah ijma’ (konsensus) para sahabat Nabi SAW. Ijma’ mengenai jumlah rakaat shalat tarawih ini dapat dipahami dari tidak ada satu orang pun di antara para sahabat yang memprotes, menyalahkan, dan menganggap pelaksanaan shalat tarawih sebanyak 20 rakaat pada masa ‘Umar bin Khathab dan ‘Ali bin Abi Thalib bertentangan dengan yang dikerjakan oleh Nabi SAW. Padahal pada saat itu ‘Aisyah, Abu Hurairah, ‘Utsman ibn ‘Affan, Sa’ad bin Abi Waqqash dan para sahabat senior lainnya masih hidup. Sekiranya jumlah bilangan shalat tarawih dua puluh rakaat ini bertentangan dengan sunnah Nabi SAW, tentunya para sahabat sudah melakukan protes besar-besaran terhadap Umar bin Khathab.
Pendapat shalat tarawih dua puluh rakaat juga merupakan ijma’ para ulama empat mazhab muktabar, baik al-Hanafiyyah, al-Malikiyyah, al-Syafi’iyyah atau al-Hanbaliyyah.

Imam al-Syafi’i dalam kitab al-Umm mengungkapkan :
ورأيتهم بالمدينة يقومون بتسع وثلاثين وأحب إلى عشرون لانه روى عن عمر وكذلك يقومون بمكة ويوترون بثلاث

"Saya melihat orang-orang di Madinah melakukan shalat tarawih sebanyak tiga puluh enam rakaat. Namun yang lebih saya sukai adalah sejumlah dua puluh rakaat karena hal itu diriwayatkan dari Umar. Demikianlah pelaksanaan tarawih dilakukan oleh orang-orang di Mekah dan mereka melakukan witir sebanyak tiga rakaat".

Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ ‘Ala Syarh al-Muhadzdzab mengatakan :
مذهبنا أنها عشرون ركعة بعشر تسليمات غير الوتر وذلك خمس ترويحات والترويحة أربع ركعات بتسليمتين هذا مذهبنا وبه قال أبو حنيفة وأصحابه وأحمد وداود وغيرهم ونقله القاضى عياض عن جمهور العلماء وحكى أن الاسود بن مزيد كان يقوم بأربعين ركعة ويوتر بسبع وقال مالك التراويح تسع ترويحات وهى ستة وثلاثون ركعة غير الوتر واحتج بأن أهل المدينة يفعلونها هكذا

"Dalam mazhab kita (al-Syafi’i), shalat tarawih berjumlah dua puluh rakaat dengan sepuluh kali salam dan hal ini tidak termasuk witir, dan demikian lima kali istirahat, dan sekali istirahat pada tiap-tiap empat raka’at dengan dua kali salam, ini bedasarkan mazhab kita (al-syafi,i), Ini juga merupakan pendapat Abu Hanifah serta pengikutnya, pendapat Imam Ahmad, Imam Daud, dan Imam Mujtahid lainnya. Al-Qadhi ‘Iyadh meriwayatkan pendapat itu dari mayoritas ulama. Dan di hikayatkan bahwa al-aswadbin mazid shalat ia dengan empat puluh raka’atdan witir ia tujuh raka’at. Menurut Imam Malik shalat tarawih itu Sembilan kali istirahat, yakni tiga puluh enam rakaat selain witir. Landasan hukum mazhab al-Maliki adalah mengikuti perbuatan penduduk Madinah".

Imam al-Syarbaini dalam kitab Mughni al-Muhtaj mengatakan :
وهي عشرون ركعة بعشر تسليمات في كل ليلة من رمضان لما روى البيهقي بإسناد صحيح أنهم كانوا يقومون على عهد عمر بن الخطاب رضي الله تعالى عنه في شهر رمضان بعشرين ركعة وروى مالك في الموطأ بثلاث وعشرين وجمع البيهقي بينهما بأنهم كانوا يوترون بثلاث

"Shalat tarawih berjumlah dua puluh rakaat dengan sepuluh kali salam yang dilakukan pada setiap malam di bulan Ramadhan. Hal ini dilandasi pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dengan isnad yang shahiẖ yaitu “sesungguhnya mereka (Sahabat Nabi) mendirikan tarawih pada masa Umar sebanyak dua puluh rakaat” dan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwatha’ dengan dua puluh tiga rakaat. Dan Imam al-Baihaqi mengkompromikan dua dalil ini dengan beranggapan bahwa mereka melakukan witir sebanyak tiga rakaat".

Di sini ditambahkan pandangan para fuqaha` dari mazhab al-Hanafiyyah, al-Malikiyyah dan al-Hanbaliyyah.

1. Imam Sarkhasy dari kalangan fuqaha` Hanafiyah mengatakan dalam kitab al-mabsuth:
انها عشرون ركعة سوى الوتر عندنا

Shalat taraweh adalah 20 rakaat selain witir menurut mazhab kita (mazhab hanafi)

Penjelasan serupa juga di terangkan oleh Ibnu Abidin dalam Hasyiah Radd al-Mukhtar bahkan beliau mengatakan ini merupakan pendapat jumhur ulama dan yang di amalkan kaum muslim di timur dan barat.

2. Pendapat yang masyhur dalam mazhab Maliky juga serupa dengan pendapat jumhur yaitu dua puluh rakaat sebagaimana di terangkan oleh ulama Mazhab Maliky Syeikh Ahmad ad-Dardir dalam kitab Syarah Shaghir. Imam an-Nafrawy dalam kitab al-Fawakih ad-Dawany menerangkan bahwa para ulama salaf pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz melaksanakan taraweh sebanyak 36 rakaat selain witir. Beliau mengatakan bahwa ini adalah pendapat yang di pilih oleh Imam Malik dalam kitab al-Mudawwanah dan di amalkan oleh ulama Madinah. Namun para pengikut Imam Malik lebih menguatkan 20 rakaat sebagaimana di lakukan pada masa shahabat pada Khalifah Umar bin Khatab dan diamalkan oleh umat Islam sepanjang masa.

3. Fuqaha` Mazhab Hanbali juga menyebutkan bahwa pendapat yang di pilih menurut Imam Ahmad adalah dua puluh rakaat sebagaimana di jelaskan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab Mughni Ibnu Qudamah.
Memang, terdapat sedikit perbedaan dengan Imam Malik yang menetapkan shalat tarawih sebanyak tiga puluh enam rakaat karena beliau lebih mengutamakan amalan orang Madinah. Namun hal ini tidak menunjukkan bahwa beliau menafikan bilangan shalat tarawih yang berjumlah dua puluh rakaat. Indikasinya adalah perkataan Imam Malik sendiri dalam kitabnya, al-Muwatha’, yang meriwayatkan bahwa pelaksanaan bilangan shalat tarawih pada masa ‘Umar bin Khathab adalah dua puluh rakaat sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

Imam Ibnu Ḫajar al-Haitami dalam kitab Tuhfat al-Muhtaj mengatakan :
ولهم فقط لشرفهم بجواره صلى الله عليه وسلم ست وثلاثون جبرا لهم بزيادة ستة عشر في مقابلة طواف أهل مكة أربعة أسباع بين كل ترويحة من العشرين سبع ، وابتداء حدوث ذلك كان أواخر القرن الأول ثم اشتهر ولم ينكر فكان بمنزلة الإجماع السكوتي

"Hanya bagi mereka (penduduk Madinah) karena kemuliaannya dengan sebab berdekatan dengan Nabi SAW yang dibolehkan melakukan shalat tarawih sebanyak tiga puluh enam rakaat dengan penambahan enam belas rakaat sebagai pengimbang terhadap thawaf yang dilakukan penduduk Mekkah di mana di antara setiap dua tarwihah dilakukan sejumlah tujuh kali thawaf. Hal itu baru terjadi pada akhir abad pertama hijriah, kemudian hal itu menjadi masyhur dan tidak ada yang mengingkari. Dengan demikian hal ini berada pada kedudukan al-ijma’ al-sukuti".

Dengan melihat beberapa pandangan para ulama tersebut, maka keliru bila ada yang mengatakan bahwa shalat tarawih dalam mazhab al-Syafi’i tidak berorientasi pada angka tertentu. Hal ini dapat dipahami karena penambahan shalat tarawih sejumlah tiga puluh enam rakaat hanya dibenarkan kepada penduduk Madinah. Sedangkan bagi selain penduduk Madinah shalat tarawih berjumlah dua puluh rakaat. Adanya al-ijma’ al-sukuti tentang penambahan menjadi tiga puluh enam rakaat bagi penduduk Madinah tersebut hanyalah dari segi kebolehannya saja, bukan dari segi adanya tuntutan dan anjuran.

Sebagaimana disebutkan dalam keterangan tersebut, penambahan shalat tarawih menjadi tiga puluh enam rakaat hanya diberikan kepada penduduk Madinah karena mereka mendapat kemuliaan dan keistimewaan dengan berkat hijrah Nabi SAW dan menjadi tempat pemakaman Nabi SAW. Adapun bagi selain penduduk Madinah, penambahan seperti itu tidak dibolehkan. Penduduk Madinah yang dimaksudkan di sini adalah orang-orang yang berada di Madinah pada saat melakukan shalat.

Imam al-Qulyubi dalam Hasyiat al-Qulyubi mengungkapkan :
والمراد بهم من وجد فيها أو في مزارعها ونحوها في ذلك الوقت , وإن لم يكن مقيما بها والعبرة في قضائها بوقت الأداء فمن فاتته وهو في المدينة فله قضاؤها ولو في غير المدينة ستا وثلاثين , أو وهو في غير المدينة قضاها ولو في المدينة عشرين

"Yang dimaksudkan dengan penduduk Madinah adalah orang-orang yang berada di Madinah, di perkebunannya dan seumpamanya pada waktu pelaksanaan tarawih sekalipun ia tidak bermukim di sana. Hal yang menjadi tolak ukur untuk qadha’ adalah keberadaan seseorang pada waktu yang ditetapkan. Maka orang-orang yang tidak sempat melakukan tarawih saat berada di Madinah boleh meng-qadha-nya sebanyak tiga puluh enam rakaat walaupun di luar Madinah. Sedangkan orang-orang yang tidak sempat melakukan tarawih saat berada di luar Madinah mesti melakukan qadha sebanyak dua puluh rakaat walaupun di Madinah".

Dari uraian ini dapat diketahui bahwa penduduk Madinah juga mengakui dan tidak menyalahi shalat tarawih sebanyak dua puluh rakaat, hanya saja mereka menambahnya untuk mengimbangi kelebihan yang diperoleh oleh penduduk Mekkah yang berkesempatan melakukan thawaf di celah-celah tarwihah.
Menyangkut dengan hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdullah, para ulama tidak menjadikannya sebagai dalil ketentuan bilangan shalat tarawih, tetapi hanya menjadikannya sebagai dalil kesunnahan shalat tarawih dan berjamaah.

Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah, pada akhir haditsnya beliau menanyakan tentang shalat witir kepada Nabi SAW. Begitu juga dalam riwayat Jabir bin Abdullah yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan Imam Ibnu Khuzaimah, pada akhir haditsnya, Nabi SAW menyatakan “...Sesungguhnya saya khawatir Allah akan mewajibkan shalat witir”. Hal ini mengindikasikan bahwa hadits-hadits ini berada dalam konteks pembicaraan shalat witir.

Selanjutnya, dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah tersebut juga terdapat pernyataan “tidak juga pada selain Ramadhan”. Dari pernyataan ini juga dapat dipahami bahwa Nabi SAW melaksanakan shalat yang jumlah bilangan rakaatnya sebelas tersebut sepanjang tahun, bukan hanya terkhusus pada bulan Ramadhan saja yang tentunya memperjelas bahwa yang dimaksud dalam riwayat tersebut bukanlah shalat tarawih karena shalat tarawih hanya ada pada bulan Ramadhan.

Akhirnya, kita dapat meyakini bahwa hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah meskipun dipastikan kesahihannya, namun hadits ini bukanlah dalil shalat tarawih dan tidak dapat dijadikan sebagai pendukung bagi hadis riwayat Jabir bin ‘Abdullah tentang shalat tarawih.

Sementara itu, hadits yyang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdullah tersebut juga tidak bisa dijadikan sebagai dalil dalam penetapan jumlah rakaat tarawih karena hadits ini terdapat beberapa kemungkinan. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh al-Sinuri dalam kitab Kasyf al-Tabarih fi Bayani Shalat al-Tarawih :
و أما حديث جابر رضي الله عنه فإن كانت القصة واحدة فقد احتمل أن جابرا ممن جاء في الليلة الثانية، فلذا اقتصر على وصف ليلتين كذا قاله الزرقاني في شرح الموطاء، واحتمل أن جابرا رضي الله عنه جاء إلى المسجد ولم يبق من صلاته صلى الله عليه وسلم إلاّ ثمان ركعات، فأخبر عما أدركه ورآه، مع أنه لم ينف الزائد عليها، بل ولو نفاه أيضا لم تقم به الحجة لذلك الإحتمال كما نفى أنس رضي الله عنه رفْعَه صلى الله عليه وسلم يديه في الدعاء إلا في الإستسقاء، مع أن غيره روى عنه صلى الله عليه وسلم رفع اليدين في غير الإستسقاء

"Adapun mengenai hadits Jabir, bila memang kisah itu satu, maka kemungkinan Jabir termasuk orang-orang yang hanya datang pada malam kedua. Oleh karena itu pada hadits tersebut Jabir hanya mengisahkan kisah dua malam. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam al-Zarqani dalam kitab Syarh al-Muwatha’. Kemungkinan juga Jabir datang terlambat ke mesjid dan ia hanya mendapati shalat sebanyak delapan rakaat, maka ia hanya memberitakan apa yang ia lihat. Meski demikian, bukan berarti Jabir menafikan rakaat tambahan yang lebih dari delapan rakaat. Bahkan seandainya Jabir menafikan pun tidak berpengaruh apa-apa dalam hal istidlal (pengambilan dalil) karena terdapat beberapa kemungkinan tadi sebagaimana Anas menafikan Nabi SAW mengangkat tangan pada selain shalat istisqa’, sementara sahabat yang lain meriwayatkan bahwa Nabi SAW mengangkat tangan dalam berdoa pada selain shalat istisqa’".

Setelah melihat beberapa kemungkinan tersebut, maka hadits riwayat Jabir bin ‘Abdullah ini tidak bisa juga dijadikan pedoman dalam hal istidlal (pengambilan dalil) jumlah bilangan shalat tarawih. Hal ini sesuai dengan sebuah qaedah Imam Syafii yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari dalam kitab Ghayatul Wushul:
وقائع الأحوال إذا تطرق إليها الاحتمال كساها ثوب الإجمال وأسقط بها الاستدلال

"Ketentuan (nash) tentang suatu peristiwa apabila mengandung beberapa kemungkinan akan termasuk kategori mujmal (global) dan tidak dapat digunakan sebagai dalil".

Berdasarkan kaidah tersebut, hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdullah ini dapat dipastikan gugur dari segi pengambilan dalil untuk menetapkan jumlah rakaat shalat tarawih. Kalaupun hadis ini sahih, maka hadits ini hanya dapat dijadikan sebagai dalil tentang disunatkannya berjamaah pada shalat tarawih.

Pandangan para ulama ini sangat sejalan dengan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW karena mereka mengikuti para sahabat. Sungguh keliru bila kita beranggapan bahwa apa yang dilakukan oleh para sahabat merupakan perkara bid’ah atau menyalahi sunnah Rasulullah SAW. Hal ini sama saja dengan beranggapan bahwa Nabi SAW adalah seorang pendusta dan memerintahkan untuk mengikuti suatu kemungkaran karena di dalam beberapa hadis beliau mengagungkan sahabatnya seperti ‘Umar bin Khathab, menyuruh kita mengikutinya, dan membenarkan pendapatnya.

DR. Wahbah Zuhaili dalam opininya pada surat kabar mingguan The Moeslem World edisi 12–19 Februari 1996 mengatakan, orang-orang yang menyangka bahwa shalat tarawih hanya delapan rakaat merupakan sunnah dan melebihi darinya adalah bid’ah, maka sesungguhnya ia telah menganggap sesat para sahabat dan menyalahi perintah Rasulullah SAW dengan cara yang tidak ia sangka. Hal senada juga diungkapkan oleh Mufti Mesir, DR. ‘Ali Jum’ah dalam kitabnya, al-Bayan Li Ma Yasyghil al-Adzhan. Beliau mengatakan bahwa sebagian kelompok yang berpendapat bahwa jumlah bilangan shalat tarawih hanya delapan rakaat disebabkan mereka salah memahami sunnah al-nabawiyyah dan tidak mampu menghimpun seluruh hadits-hadits Nabi SAW.

Pelaksanaan shalat tarawih sebanyak dua puluh rakaat juga menjadi tata cara pelaksanaan tarawih yang dilakukan di Mesjid al-Haram di Mekkah al-Mukarramah dan di Mesjid al-Nabawi di Madinah al-Munawwarah.

Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa pendapat jumlah bilangan rakaat shalat tarawih sebanyak dua puluh rakaat adalah pendapat yang disetujui oleh seluruh sahabat Nabi SAW dan juga para ulama besar Islam dari lintas mazhab fikih. Karenanya, bilamana ada di antara umat Islam meyakini jumlah rakaat shalat tarawih sebanyak dua puluh rakaat ini merupakan perkara bid’ah dan menyesatkan, maka ia dianggap fasiq disebabkan keyakinannya tersebut bertentangan dengan ijma’ khafi.

Dapat dipahami pula bahwa sebenarnya permasalahan jumlah bilangan rakaat shalat tarawih sebenarnya sudah jelas, barangkali hanya ulah sebagian kalangan saja yang semakin sibuk mengurusi masalah furu’iyyah, meninggalkan masalah pokok yang seharusnya diberi perhatian yang lebih besar dan terkesan mencari sensasi dengan pelaksanaan yang berbeda dari mayoritas umat Islam lainnya serta menyalahi dengan apa yang telah disepakati oleh sahabat dan para ulama sehingga membuat hal ini semakin mengemuka. Wallahua’lam Bish-Shawab!

Sumber
Read more ...
Designed By