HUKUM MELAFADZKAN NIAT MENURUT PARA ULAMA WAHABI
Sebagaimana kita kita ketahui bahwasanya para ulama Wahabi memvonis dan memfatwakan bid’ah dholalah (karena mereka hanya mengenal sebutan bid’ah itu hanya untuk satu macam saja, yaitu bid’ah dholalah, yang pelakunya di ancam masuk ke dalam neraka) kepada kaum muslimin yang dalam praktek sholatnya melafadzkan niat ketika akan melakukan Takbirotul ihram. Fatwa- Fatwa yg membabi buta ini diantaranya dapat kita lihat di bawah ini :
FATWA LAJNAH DAIMAH YANG DIKETUAI OLEH SYEKH ABDUL AZIZ BIN ABDULLAH BIN BAZZ :
فتاوى اللجنة الدائمة - المجموعة الأولى - (ج 6 / ص 319)
السؤال الثاني من الفتوى رقم ( 2444 )
س2: ما حكم التلفظ بالنية مثل قوله: (نويت أن أصلي لله تعالى ركعتين لوجهه الكريم صلاة الصبح)؟
ج2: الصلاة عبادة، والعبادات توقيفية لا يشرع فيها إلا ما دل عليه القرآن الكريم أو السنة الصحيحة المطهرة، ولم يثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه تلفظ في صلاة فرضا كانت أم نافلة بالنية، ولو وقع ذلك منه لنقله أصحابه رضي الله عنهم وعملوا به، لكن لم يحصل ذلك فكان التلفظ بالنية في الصلاة مطلقا بدعة، وقد ثبت عنه صلى الله عليه وسلم أنه قال: « من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد » (1) وقال: « وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة » (2) . وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
Link:http://alifta.com/Fatawa/FatawaSubjects.aspx?languagename=ar&View=Page&HajjEntryID=0&HajjEntryName=&RamadanEntryID=0&RamadanEntryName=&NodeID=647&PageID=2087&SectionID=3&SubjectPageTitlesID=23518&MarkIndex=2&0
Terjemah :
Soal : “Apa hukum mengucapkan niat seperti mengucapkan :
نويت أن أصلي لله تعالى ركعتين لوجهه الكريم صلاة الصبح
“Aku berniat shalat subuh dua rakaat karena Allah Ta’ala dan mengharap wajah-Nya yang mulia.”
Jawab: Shalat termasuk perkara ibadah dan ibadah itu tauqifiyyah (tata caranya ditentukan oleh syariat, harus berdasarkan dalil). Tidak ada satupun aturan dalam shalat kecuali harus berdasarkan Al Quran dan Hadits Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam yang suci. Sementara tidak ada hadits shahih dari Nabi shalallaahu ’alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa beliau mengucapkan niat shalat, baik shalat sunnah maupun shalat wajib. Seandainya beliau melakukan hal ini, pastilah para sahabat meriwayatkan dari beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam dan tentu merekalah (orang pertama) yang mengamalkannya. Akan tetapi semua ini tidak kita dapati riwayatnya. Oleh karena itu mengucapkan niat dihukumi bid’ah secara mutlak. Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda :
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
“Barangsiapa yang mengada-adakan perkara dalam urusan kami ini yang tidak kami perintahkan maka amalan tersebut tertolak.”
Beliau shallallaahu’alaihi wa sallam juga bersabda :
وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
“Wajib bagi kalian menjauhi perkara-perkara baru, karena setiap yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.”
Wabillaahittaufiq wa shallallaahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam. (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyyah Wal Ifta 6/478, Maktabah Asy Syamilah)
MENURUT IBNU UTSAIMIN :
Syaikh al Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Perlu diketahui bahwasanya tempat niat ada di hati dan bukan di lisan. Karena sesungguhnya engkau beribadah kepada Dzat yang mengetahui orang yang berkhianat dan mengetahui segala sesuatu yang tersembunyi di dalam hati. Allahlah Dzat yang Maha mengetahui apa yang ada di setiap dada manusia. Tentunya engkau tidak bermaksud untuk berdiri di hadapan dzat yang bodoh sehingga engkau harus mengucapkan apa yang engkau niatkan namun engkau berdiri karena takut kepadaNya karena Dia Dzat yang mengetahui was-was dalam hatimu, Dzat yang akan membalikkan hatimu. Meskipun demikian tidak ada satupun hadits shahih yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak juga dari sahabat radhiallahu ’anhum bahwasanya mereka melafadzkan niat. Oleh karena itu melafadzkan niat termasuk perbuatan bid’ah yang terlarang baik dengan suara lirih maupun keras. (Syarh Al Raba’in An Nawawiyyah, Hal. 9)
Link : http://muslimah.or.id/.../serba-serbi-niat-shalat-1...
MENURUT ALBANI :
تلخيص صفة الصلاة – (ص 13)
وأما التلفظ بها بلسانه فبدعة مخالفة للسنة ولم يقل بها أحد من متبوعي المقلدين من الأئمة
“Adapun melafadzkan niat dengan lisannya maka hal tersebut adalah Bid’ah, menyelisihi sunnah dan tidak ada seorangpun dari pengikut orang-orang yang taqlid kepada para imam yang mengucapkannya. (Talkhisu Shifati Shalatinnabiyyi hal.13, Maktabah Syamilah )
Link : http://islamport.com/w/alb/Web/381/13.htm
HUKUM MELALAFADZKAN NIAT MENURUT PARA IMAM MADZAHIBUL ARBA’AH
Ada beberapa keterangan yg bisa di baca kitab Al Fiqhul Islami Wa Adillatuhu karya Syekh Wahbah Az Zuhailiy :
الفقه الإسلامي وأدلته - (ج 1 / ص 137)
محل النية باتفاق الفقهاء وفي كل موضع: القلب وجوباً، ولا تكفي باللسان قطعاً، ولا يشترط التلفظ بها قطعاً، لكن يسن عند الجمهور غير المالكية التلفظ بها لمساعدة القلب على استحضارها، ليكون النطق عوناً على التذكر، والأولى عند المالكية: ترك التلفظ بها (2) ؛ لأنه لم ينقل عن النبي صلّى الله عليه وسلم وأصحابه التلفظ بالنية، وكذا لم ينقل عن الأئمة الأربعة.
Tempatnya niat menurut kesepakatan para ulama fiqh dan di semua tempat secara wajib adalah di dalam hati, maka secara pasti tidak cukup dan tidak disyaratkan menggunakan lisan. Tetapi menurut jumhur ulama, selain golongan Malikiyyah hukumnya adalah disunnahkan mengucapkan niat, untuk membantu hati untuk menghadirkannya, agar pengucapannya bisa menolong untuk berdzikir (mengingat). Sedang yang lebih utama menurut ulama Malikiyyah adalah tidak melafadzkan niat, karena hal tersebut tidak pernah di nukil dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya, demikian juga tidak dinukil dari para imam yg empat.
Di halaman lain :
الفقه الإسلامي وأدلته - (ج 1 / ص 331)
والأولى عند المالكية ترك التلفظ بالنية، ويسن عند الشافعية والحنابلة: التلفظ بها، إلا أن المذهب عند الحنابلة أنه يستحب التلفظ بها سراً، ويكره الجهر بها وتكرارها.
Yang lebih utama menurut ulama Malikiyyah adalah tidak melafadzkan niat. Dan menurut Ulama Syafi’iyyah dan Hambaliyyah disunnahkan untuk melafadzkan niat, hanya saja menurut qoul madzhab Hanabilah disunnahkan melafadzkannya dengan pelan, dimakruhkan membaca dengan keras dan mengulang-ulangi niat.
Di halaman lain :
الفقه الإسلامي وأدلته – (ج 1 / ص 682)
ويندب عند الجمهور غير المالكية التلفظ بالنية، وقال المالكية: يجوز التلفظ بالنية،والأولى تركه في صلاة أو غيرها.
.
Menurut Jumhur ulama selain Malikiyyah, disunnahkan melafadzkan niyat. Menurut Ulama Malikiyyah boleh mengucapkannya akan tetapi yang lebih utama adalah meninggalkannya, baik di dalam sholat atau selainnya.
Yg ini tambahan menurut madzhab Maliki :
الفقه الإسلامي وأدلته - (ج 1 / ص 684)
والأولى ترك التلفظ بها، إلا الموسوس فيستحب له التلفظ ليذهب عنه اللبس
Yang lebih utama adalah meninggalkan melafadzkan niat, kecuali bagi orang yang was-was, maka disunnahkan melafadzkannya agar terhindar dari kesamaran.
Memang terdapat keterangan dari ulama Hanafiyyah yang mengatakan bid’ah melafadzkan niat sebagaimana keterangan di bawah ini :
Ibnu Najim Al Mishry Al Hanafi di dalam kitab Al Bahrur Roiq juz 3 hal 92-93, Maktabah Syamilah :
البحر الرائق - (ج 3 / ص 92-93)
وَقَدْ اخْتَلَفَ كَلَامُ الْمَشَايِخِ فِي التَّلَفُّظِ بِاللِّسَانِ فَذَكَرَهُ فِي مُنْيَةِ الْمُصَلِّي أَنَّهُ مُسْتَحَبٌّ وَهُوَ الْمُخْتَارُ وَصَحَّحَهُ فِي الْمُجْتَبَى وَفِي الْهِدَايَةِ وَالْكَافِي وَالتَّبْيِينِ أَنَّهُ يَحْسُنُ لِاجْتِمَاعِ عَزِيمَتِهِ وَفِي الِاخْتِيَارِ مَعْزِيًّا إلَى مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ أَنَّهُ سُنَّةٌ وَهَكَذَا فِي الْمُحِيطِ وَ الْبَدَائِعِ وَفِي الْقُنْيَةِ أَنَّهُ بِدْعَةٌ إلَّا أَنْ لَا يُمْكِنَهُ إقَامَتُهَا فِي الْقَلْبِ إلَّا بِإِجْرَائِهَا عَلَى اللِّسَانِ فَحِينَئِذٍ يُبَاحُ وَنُقِلَ عَنْ بَعْضِهِمْ أَنَّ السُّنَّةَ الِاقْتِصَارُ عَلَى نِيَّةِ الْقَلْبِ ، فَإِنْ عَبَّرَ عَنْهُ بِلِسَانِهِ جَازَ وَنُقِلَ فِي شَرْحِ الْمُنْيَةِ عَنْ بَعْضِهِمْ الْكَرَاهَةُ وَظَاهِرُ مَا فِي فَتْحِ الْقَدِيرِ اخْتِيَارُ أَنَّهُ بِدْعَةٌ فَإِنَّهُ قَالَ : قَالَ بَعْضُ الْحُفَّاظِ : لَمْ يَثْبُتْ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ طَرِيقٍ صَحِيحٍ وَلَا ضَعِيفٍ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ عِنْدَ الِافْتِتَاحِ أُصَلِّي كَذَا وَلَا عَنْ أَحَدٍ مِنْ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ بَلْ الْمَنْقُولُ أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { كَانَ إذَا قَامَ إلَى الصَّلَاةِ كَبَّرَ } وَهَذِهِ بِدْعَةٌ .
ا هـ .
وَقَدْ يُفْهَمُ مِنْ قَوْلِ الْمُصَنِّفِ لِاجْتِمَاعِ عَزِيمَتِهِ أَنَّهُ لَا يَحْسُنُ لِغَيْرِ هَذَا الْقَصْدِ وَهَذَا لِأَنَّ الْإِنْسَانَ قَدْ يَغْلِبُ عَلَيْهِ تَفَرُّقُ خَاطِرِهِ فَإِذَا ذَكَرَ بِلِسَانِهِ كَانَ عَوْنًا عَلَى جَمْعِهِ ، ثُمَّ رَأَيْته فِي التَّجْنِيسِ قَالَ وَالنِّيَّةُ بِالْقَلْبِ ؛ لِأَنَّهُ عَمَلُهُ وَالتَّكَلُّمُ لَا مُعْتَبَرَ بِهِ وَمَنْ اخْتَارَهُ اخْتَارَهُ لِتَجْتَمِعَ عَزِيمَتُهُ .
ا هـ .
“Para Masyayikh berbeda pendapat mengenai melafadzkan niat dengan menggunakan lisan. Di terangkan dalam kitab Munyatul Musholli, hukumnya adalah Mustahab (di sunahkan), demikian ini adalah qoul yang terpilih dan di shohihkkan di dalalm kitab Al Mujtaba, Al Hidayah,Al Kafi dan At Tabyiin, hal tersebut dianggap bagus karena bisa mengumpulkan Azimah (niat). Dan di dalam kitab Ikhtiyar ma’ziyyan yg (disandarkan penukilannya) kepada Muhammad bin al Hasan, bahwasanya hal tersebut adalah Sunnah, demikkian juga keterangan di dalam kitab Al Mabsuth dan Badai’. Sedangkan di dlam kitab al Qunyah hal tersebut adalah Bid’ah, kecuali ketika tidak memungkinkan baginya untuk menegakkan niat di dalam hati melainkan dengan cara mengucapkannya dengan lisan, maka menjadi mubah. Dan di nukil dari sebagian ulama yang disunnahkan adalah meringkas niat di dalam hati, apabila di ucapkan di lisannya maka boleh. Dan di nukil dari syarah Al Munyah dari sebagaian ulama bahwasanya hal tersebuat adalah makruh. Dan dhohirnya keterangan yanga ada di kitab Fathul Qodir bahwasanya hal tersebut adalah bid’ah, tidak tsabit dari Rasulullah shallallahu ‘alaii wa sallam baik dari jalur shahih maupun dhoif bahwasanya beliau ketika mengawali sholat mengucapkan : Usholli kadza (Saya akan sholat begini), juga tidak pernah tsabit riwayat dari sahabat maupun tabi’in, akan tetapi penukilan yang ada adalah bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berdiri untuk melaksanakkan sholat, beliau bertakbir, maka permasalahan ini adalah bid’ah. Selesai (pembahasan).
Namun apakah yang di maksud dengan ucapan bid’ah dan sunnah dalam ibarat diatas menurut ulama Hanafiyyah ??? Bisa dibaca disini :
البحر الرائق - (ج 3 / ص 93)
وَزَادَ فِي شَرْحِ الْمُنْيَةِ أَنَّهُ لَمْ يُنْقَلْ عَنْ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ أَيْضًا فَتَحَرَّرَ مِنْ هَذَا أَنَّهُ بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ عِنْدَ قَصْدِ جَمْعِ الْعَزِيمَةِ ، وَقَدْ اسْتَفَاضَ ظُهُورُ الْعَمَلِ بِذَلِكَ فِي كَثِيرٍ مِنْ الْأَعْصَارِ فِي عَامَّةِ الْأَمْصَارِ فَلَعَلَّ الْقَائِلَ بِالسُّنِّيَّةِ أَرَادَ بِهَا الطَّرِيقَةَ الْحَسَنَةَ لَا طَرِيقَةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَقِيَ الْكَلَامُ فِي كَيْفِيَّةِ التَّلَفُّظِ بِهَا
Dan terdapat keterangan tambahan dalam kitab Syarhul Munyah bahwasanya hal tersebut (melafadzkan niat) itu tidak di nukil dari para imam yang empat juga. Maka beliau memeriksa lagi dari keterangan ini bahwasanya hal tersebut adalah bid’ah hasanah ketika bermaksud untuk mengumpulkan niat. Dan telah tersiar luas mengenai pengamalan hal tersebut pada banyak masa di umumnya semua tempat, maka barangkali ulama yang mengucapkan sunnah, yang di maksud adalah Thoriqoh hasanah (cara yang baik) bukan cara (yang pernah di lakukan) nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai pembicaraan di dalam tata cara melafadzkan niat.
KESIMPULAN DARI IBARAT-IBARAT DIATAS :
Tidak ada satupun dari ulama Madzhibul Arba’ah yang memfatwakan Bid’ah Dholalah bagi orang yang melafadzkan niat ketika akan sholat. Menurut penjelasan ulama Malikiyah, bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir hukumnya boleh namun menyelisihi keutamaan (Khilaful Aula, tidak sampai Makruh), tetapi bagi orang yang terkena penyakit was-was hukum melafalkan niat sebelum shalat hukumnya adalah sunnah.
Sedang menurut Jumhur ulama dan kesepakatan para pengikut madzhab Imam Syafi’iy (Syafi’iyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah) hukumnya adalah sunnah, karena melafalkan niat sebelum Takbiratul Ihram itu dapat membantu untuk menghadirkan dan mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya. Sedang mengenai ucapan bid’ah di dalam istilah sebagian ulama Hanafiyyah juga sama sekali tidak diarahkan kepada bid’ah dholalah.
TUJUAN MELAFADZANKAN NIAT MENURUT PARA ULAMA
Mari kita baca keterangan para ulama di bawah ini :
Al-Allamah Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (Ulama Madzhab Syafi’iiyah), dalam kitab Fathul Mu’in bi Syarhi Qurratul 'Ain bimuhimmati ad-Din, Hal. 16 :
فتح المعين - (ص 16)
( و ) سن ( نطق بمنوي ) قبل التكبير ليساعد اللسان القلب وخروجا من خلاف من أوجبه
“Disunnahkan mengucapkan niat sebelum Takbiratul Ihram, agar lisan dapat membantu hati dan untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya.”
Al-Imam Muhammad bin Abi al-'Abbas Ar-Ramli/Imam Ramli terkenal dengan sebutan "Syafi'i Kecil" [الرملي الشهير بالشافعي الصغير] dalam kitab Nihayatul Muhtaj (نهاية المحتاج), juz I : 437 :
نهاية المحتاج -
( وَيُنْدَبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ ( قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنْ الْوَسْوَاسِ وَلِلْخُرُوجِ مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ ،
“Disunnahkan melafadzkan niat sesaat sebelum Takbiratul Ihram agar lisan dapat membantu hati , agar terhindar dari was-was serta menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya”.
Asy-Syeikhul Islam al-Imam al-Hafidz Abu Yahya Zakaria Al-Anshariy (Ulama Madzhab Syafi'iyah) dalam kitab Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab (فتح الوهاب بشرح منهج الطلاب) [I/38] :
فتح الوهاب -
( ونطق ) بالمنوي ( قبل التكبير ) ليساعد اللسان القلب
"(Disunnahkan) mengucapkan niat sebelum Takbir (Takbiratul Ihram), agar lisan dapat membantu hati."
Diperjelas di dalam Kitab Syarah Fathul Wahab yaitu Hasyiyah Jamal Ala Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab, karangan Al-'Allamah Asy-Syeikh Sulaiman Al-Jamal :
حاشية الجمل –
وَعِبَارَةُ شَرْحِ م ر لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنْ الْوَسْوَاسِ وَخُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ انْتَهَتْ .
"Dan sebuah ibarat dari Syarah Imam Romli, agar lisan dapat membantu hati, karena hal tsb dapat lebih jauh (selamat) dari was-was, serta untuk mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya. Selesai (pembahasannya)."
Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al-Khatib Asy-Syarbainiy, didalam kitab Mughniy Al Muhtaj ilaa Ma'rifati Ma'aaniy Alfaadz Al Minhaj (1/150) :
مغني المحتاج -
( وَيُنْدَبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ ( قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنْ الْوَسْوَاسِ
"Disunnnahkan mengucapkan niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati, karena hal tsb dapat lebih jauh (selamat) dari was-was "
Al-'Allamah Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy, didalam As-Siraj Al-Wahaj (السراج الوهاج على متن المنهاج) pada pembahasan tentang Shalat :
ويندب النطق قبيل التكبير ليساعد اللسان القلب
"Dan disunnahkan mengucapkan (niat) sesaat sebelum Takbiratul Ihram, agar lisan dapat membantu hati"
Al-‘Allamah Sayid Bakri Syatha Ad-Dimyathiy, dalam kitab I’anatut Thalibin (إعانة الطالبين) [I/153] :
إعانة الطالبين –
( قوله وسن نطق بمنوي ) أي ولا يجب فلو نوى الظهر بقلبه وجرى على لسانه العصر لم يضر إذ العبرة بما في القلب
( قوله ليساعد اللسان القلب ) أي ولأنه أبعد من الوسواس وقوله وخروجا من خلاف من أوجبه أي النطق بالمنوي
“[Ucapan muallif : Disunnahkan mengucapkan niat] maksudnya tidak wajib, maka apabila hatinya berniat shalat Dzuhur namun lisannya mengucapkan shalat Asar, maka tidak masalah, karena yang dianggap adalah apa yang ada didalam hati. [Ucapan muallif : Agar lisan membantu hati] maksudnya adalah terhindari dari was-was dan menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya, maksudnya mengucapkan niat.”
Al-‘Allamah Asy-Syekh Jalaluddin Al-Mahalli, di dalam kitab Syarah Mahalli Ala Minhaj Thalibin (شرح العلامة جلال الدين المحلي على منهاج الطالبين) Juz I (163) :
( وَيُنْدَبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ ( قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ .
“Dan disunnahkan mengucapkan niat sesaat sebelum takbir (Takbiratul Ihram), agar lisan dapat membantu hati””
Di dalam Kitab Matan Al-Minhaj li Syaikhil Islam Zakariyya Al-Anshariy fi Madzhab Al-Imam Asy-Syafi'i :
منهج الطلاب -
ونطق قبيل التكبير
"(Disunnahkan) mengucapkan (niat) sesaat sebelum Takbir (Takbiratul Ihram)"
Di dalam kitab Safinatun Naja karya Asy-Syaikh Al-‘Alim Al-Fadlil Salim bin Sumair Al-Hadlramiy ‘alaa Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i :
النية : قصد الشيء مقترنا بفعله ، ومحلها القلب والتلفظ بها سنة
"Niat adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan pekerjaannya. Tempatnya niat adalah di dalam hati, sedangkan melafadzkan niat dengan menggunakan lisan hukumnya adalah sunnah"
Di dalam kitab Niyatuz Zain Syarh Qarratu 'Ain, Al-'Allamah Al-'Alim Al-Fadil Asy-Syekh An-Nawawi Ats-Tsaniy (Sayyid Ulama Hijaz) :
أما التلفظ بالمنوي فسنة ليساعد اللسان القلب
"Adapun melafadzkan niat, maka hukumnya adalah sunnah agar lisan dapat membantu hati"
Al-'Allamah Asy-Syekh Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy, di dalam kitab Minhajul Qawim (1/191) :
فصل في سنن الصلاة وهي كثيرة ( و ) منها أنه ( يسن التلفظ بالنية ) السابقة فرضها ونفلها ( قبيل التكبير ) ليساعد اللسان القلب وخروجا من خلاف من أوجب ذلك
"Fashal di dalam menerangkan sunnah-sunnah shalat. Sunnah-sunnah shalat itu banyak, diantaranya adalah disunnahkan melafadzkan niat sesaat sebelum Takbiratul Ihram di dalam sholat fardhu dan sunnah, agar lisan dapat membantu hati, serta untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya"
Al-'Allamah Asy-Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairamiy Asy-Syafi'i, Tuhfatul habib ala syarhil khotib(1/192), Darul Kutub Ilmiyah, Beirut - Lebanon :
قوله : ( ومحلها القلب ) نعم يسن التلفظ بها في جميع الأبواب خروجاً من خلاف من أوجبه
"Ucapan muallif : (Tempatnya niat didalam hati), memang disunnahkan melafadzkan niat di dalam semua bab-bab untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya"
Al-'Allamah Al-Imam Muhammad Asy-Syarbiniy Al-Khatib, didalam kitab Al-Iqna' Fiy Alfaadh Abi Syuja', pada pembahasan "Arkanush shalah" :
ويندب النطق بالمنوي قبيل التكبير ليساعد اللسان القلب ولأنه أبعد عن الوسواس
"Dan disunnahkan mengucapkan niat sebelum Takbiratul Ihram agar lisan dapat membantu hati, dan karena hal tersebut dapat lebih jauh (selamat) dari was-was "
Di dalam kitab Al-Wafi Syarah Arba'in An-Nawawi, Asy-Syekh Musthafa Al-Bugha & Asy-Syekh Muhyiddin Misthu, telah menjelaskan tentang hadits No.1 :
ومحل النية القلب؛ فلا يشترط التلفظ بها؛ ولكن يستحب ليساعد اللسان القلب على استحضارها
"Dan tempatnya niat adalah hati, maka tiada disyaratkan melafadzkannya, tetapi disunnahkan (melafadzkan niat) agar lisan dapat membantu hati dengan menghadirkannya"
Hawasyi Asy-Syarwaniy karya Abdul Hamid Al Makkiy Asy Syarwaniy (1/240) :
حواشي الشرواني والعبادي - (ج 1 / ص 240)
ومنها التلفظ بالمنوي ليساعد اللسان القلب
"Termasuk diantara kesunahan sholat adalah melafadzkan niat agar lisan dapat membantu hati"
Abdurrahman Muhammad AL Hanafiy yang di kenal dengan Syaikhiy Zaadah dalam kitab Majma’al Anhar juz 1 hal 232 :
مجمع الأنهر - (ج 1 / ص -233232)
( وَضَمُّ التَّلَفُّظِ إلَى الْقَصْدِ أَفْضَلُ ) لِمَا فِيهِ مِنْ اسْتِحْضَارِ الْقَلْبِ لِاجْتِمَاعِ الْعَزِيمَةِ بِهِ قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ : النِّيَّةُ بِالْقَلْبِ فَرْضٌ ، وَذِكْرُهَا بِاللِّسَانِ سُنَّةٌ ، وَالْجَمْعُ بَيْنَهُمَا أَفْضَلُ .
وَفِي الْقُنْيَةِ أَنَّهَا بِدْعَةٌ إلَّا إذَا كَانَ لَا يُمْكِنُهُ إقَامَتُهَا فِي الْقَلْبِ إلَّا بِإِجْرَائِهَا عَلَى اللِّسَانِ فَحِينَئِذٍ تُبَاحُ
“(Mengumpulkan melafadzkan niat kepada Qoshdu (niat) itu lebih utama) karena hal tersebut bisa menghadirkan hati untuk mengumpulkan Azimah (niat). Muhammad bin Al Hasan berkata : Niat dengan hati itu wajib dan menyebutknya dengan lisan itu sunnah, sedangkan mengumpulkan keduanya (hati dan lisan) adalah Afdhol (lebih utama). Namun di dalam kitab Qunyah hal tersebut adalah bid’ah, kecuali ketika tidak memungkinkan baginya untuk menegakkan niat di dalam hati melainkan dengan cara mengucapkannya dengan lisan maka menjadi mubah.
Imam Al-Bahuuti (Ulama Hanabilah) berkata dalam Syarah Muntaha Al-Iradat Juz 1 hal. 393, Makktabah Syamilah :
شرح منتهى الإرادات - (ج 1 / ص 393)
وَتَلَفُّظُهُ بِمَا نَوَاهُ تَأْكِيدٌ
"Sedangkan pelafadz-an seseorang dengan apa yang diniatkannya adalah merupakan ta'kid (penguat)."
Berkata Ibnu Qudamah Al Maqdisiy Al Hambaliy di dalam kitab Al Mughniy :
المغني - (ج 2 / ص 319)
وَإِنْ لَفَظَ بِمَا نَوَاهُ ، كَانَ تَأْكِيدًا .
Apabila seseorang yang sholat melafadzkan apa yang diniatinya, maka hal tersebut menjadi Ta’kid (penguat) (Al Mughniy Juz 2 hal 319, Maktabah Syamilah).
KESIMPULAN DARI SEMUA KETERANGAN ULAMA DIATAS :
Tujuan dari melafadzkan niat adalah agar lisan dapat menghadirkan dan mengingatkan hati, yaitu membantu kekhusuan hati, menjauhkan dari was-was (gangguan hati), serta untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya, karena menghindar dari khilaf ulama hukumnya adalah sunnah. Selain itu lafadz niat adalah dipergunakan untuk ta’kid yaitu penguat apa yang diniatkan.
ISTINBATH HUKUM DARI ULAMA YANG MENYUNAHKAN MELAFDZKAN NIAT
Ulama yang menyunahkan melafadzkan niat kketika akan sholat menqiyaskan dengan melafadzkan niat dalam ibadah Haji, sebagaimana kita ketahui dalam hadis, Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam melafadzkan niat ketika menunaikan ibadah Haji :
عَنْ اَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا (رواه مسلم(
“Dari sahabat Anas ra berkata : “Saya mendengar Rasulullah SAW mengucapkan “Aku memenuhi panggilan-Mu (Ya Allah) untuk (mengerjakan) umrah dan haji” (HR. Imam Muslim)
Dalam buku Fiqh As-Sunnah I halaman 551, Sayyid Sabiq menuliskan bahwa salah seorang Sahabat mendengar Rasulullah SAW mengucapkan :
نَوَيْتُ الْعُمْرَةَ اَوْ نَوَيْتُ الْحَجَّ
“Saya niat mengerjakan ibadah Umrah atau Saya niat mengerjakan ibadah Haji”
Redaksinya begini :
فقه السنة - (ج 1 / ص 654(
روى واحد منهم: أنه سمعه صلى الله عليه وسلم يقول: " نويت العمرة، أو نويت الحج ".
CATATAN : Memang, ketika Rasulullah SAW melafadzkan niat diatas ketika beliau menjalankan ibadah haji, namun sebagian ulama berpendapat bahwa ibadah lainnya juga bisa diqiyaskan dengan hal ini, demikian juga kesunnahan melafadzkan niat pada shalat juga diqiyaskan dengan pelafadzan niat dalam ibadah haji. Hadits tersebut merupakan salah satu landasan dari Talaffudz binniyah (melafadzkan niyat) ketika akan mengerjakan sholat.
Hal ini, sebagaimana juga dikatakan oleh Al-‘Allamah al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami (ابن حجر الهيتمي ) didalam Kitab Tuhfatul Muhtaj (II/12) :
تحفة المحتاج في شرح المنهاج -
( وَيَنْدُبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ ( قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَخُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ وَإِنْ شَذَّ وَقِيَاسًا عَلَى مَا يَأْتِي فِي الْحَجِّ الْمُنْدَفِعِ بِهِ التَّشْنِيعُ بِأَنَّهُ لَمْ يُنْقَلْ
“Dan disunnahkan melafadzkan (mengucapkan) niat sesaat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syadz ( menyimpang), dan Kesunnahan ini juga karena diqiyaskan terhadap adanya pelafadzan dalam niat haji yang bisa digunakan untuk menolak adanya celaan bahwa kesunahan ini tidak di nukil (dari hadis) ”
Didalam kitab Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah (Syarah) 'alaa Al-Adzkar An-Nawawiyah (1/54), Asy-Syekh Muhammad Ibnu 'Alan Ash-Shadiqiy mengatakan :
نعم يسن النطق بها ليساعد اللسان القلب ولأنه صلى الله عليه وآله وسلم نطق بها في الحج فقسنا عليه سائر العبادات وعدم وروده لا يدل على عدم وقوعه
"Ya, disunnahkan mengucapkan niat agar lisan dapat membantu hati, karena sesungguhnya Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wa Aalihi Wa Sallam mengucapkan niat dalam ibadah haji, maka kami menqiyaskannya ke dalam Ibadah-ibadah yang lain, sedangkan ketiadaan yang meriwayatkannya tidak menunjukkan atas ketiadaan terjadinya"
Redaksi melafadzkan niat dari Imam Syafi'i, di riwayatkan dari Al-Hafidz Al-Imam Ibnu Muqri' didalam kitab Mu'jam beliau (336) :
معجم ابن المقرئ -
317 - أخبرنا ابن خزيمة ، ثنا الربيع قال : « كان الشافعي إذا أراد أن يدخل في الصلاة قال : بسم الله ، موجها لبيت الله مؤديا لفرض الله عز وجل الله أكبر »
"Mengabarkan kepadaku Ibnu Khuzaimah, mengabarkan kepadaku Ar-Rabi' berkata, Imam Syafi'i ketika akan masuk dalam Shalat berkata : “Bismillah Aku menghadap ke Baitullah, menunaikkan kewajiban kepada Allah. Allahu Akbar.”
Perlu diketahui bahwa Qiyas juga menjadi dasar dalam ilmu Fiqh,
Al-Allamah Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz didalam Fathul Mu'in Hal. 1 :
واستمداده من الكتاب والسنة والاجماع والقياس.
Ilmu Fiqh dasarnya adalah kitab Al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Al-Imam Nashirus Sunnah Asy-Syafi'i, didalam kitab beliau Ar-Risalah :
أن ليس لأحد أبدا أن يقول في شيء حل ولا حرم إلا من جهة العلم وجهة العلم الخبر في الكتاب أو السنة أو الأجماع أو القياس
“Selamanya seseorang tidak boleh mengatakan di dalam sesuatu, baik hukum halal maupun haram kecuali ada pengetahuan tentang itu, pengetahuan itu adalah al-Kitab (al-Qur'an), as-Sunnah, Ijma; dan Qiyas.”
قلت لو كان القياس نص كتاب أو سنة قيل في كل ما كان نص كتاب هذا حكم الله وفي كل ما كان نص السنة هذا حكم رسول الله ولم نقل له قياس
Aku (Imam Syafi'i berkata) : Jikalau Qiyas itu berupa nas Al-Qur'an dan As-Sunnah, dikatakan setiap perkara ada nasnya di dalam Al-Qur'an maka ini adalah hukum Allah (al-Qur'an), jika ada nasnya di dalam as-Sunnah maka ini hukum Rasul (sunnah Rasul), dan kami tidak menamakan itu sebagai Qiyas (jika sudah ada hukumnya didalam al-Qur'an dan Sunnah).
Jadi maksud perkataan Imam Syafi'i diatas adalah dinamakan qiyas jika memang tidak ditemukan dalilnya dalam al-Qur'an dan As-Sunnah. Jika ada dalilnya didalam al-Qur'an dan as-Sunnah, maka itu bukanlah Qiyas. Bukankah Ijtihad itu dilakukan ketika tidak ditemukan hukumnya/dalilnya secara shorih di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah ?
Jadi, melafadzkan niat shalat yang dilakukan sebelum Takbiratul Ihram adalah amalan sunnah dengan diqiyaskan terhadap adanya pelafadzan niat haji oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Sunnah dalam pengertian ilmu fiqh, adalah apabila dikerjakan mendapat pahala namun apabila ditinggalkan tidak apa-apa. Tanpa melafadzkan niat shalat tetaplah sah, sedang melafadzkan niat saja tanpa meniatkan dalam hati maka tidak mencukupi (tidak sah sholatnya), karena tempatnya niat adalah di dalam hati. Maka melafadzkan niat tidak merusak terhadap sahnya shalat dan tidak juga termasuk menambah-nambah rukun shalat (karena dilakukan sebelum mengerjakan sholat, yaitu Takkbirotul Ihram) sebagaimana keterangan para ulama di bawah ini :
Al-Allamah Al-Imam An-Nawawi, dalam kitab Al-Majmu' (II/43) :
فإن نوى بقلبه دون لسانه أجزأه
“Apabila dia berniat dengan hati tanpa lisannya, maka hal tersebut sudah mencukupi”
Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, di dalam Kifayatul Ahyar, pada bab (باب أركان الصلاة) hal 101, Maktabah Syamilah :
كفاية الأخيار - (101)
واعلم أن النية في جميع العبادات معتبرة بالقلب فلا يكفي نطق للسان مع غفلة القلب
“Ketahuilah bahwa niat dalam semua ibadah di i’tibar dengan hati, maka tidak cukup hanya dengan melafadzkan dengan lisan bersamaan dengan lupanya hati”
Sayyid Sabiq, pada pembahasan فرائض الصلاة dalam kitab Fiqhus Sunnah Juz 1 hal 133, Maktabah Syamilah :
فقه السنة - (ج 1 / ص 133)
ومحلها القلب لا تعلق بها باللسان أصلا
“Tempatnya niat adalah di dalam hati, pada asalnya tidak terikat dengan lisan”
Al-Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim asy-Syafi’i, didalam Kitab Fathul Qarib, pada pembahasan Ahkamush Shalat :
)النِّيَةُ) وَهِيَ قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرَناً بِفِعْلِهِ وَ مُحَلُّهَا اْلقَلْبُ
“Niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya dan tempat niat itu berada di dalam hati.”
Namun anehnya, nash-nash ibarat diatas ini sering di salah fahami oleh para wahabi mengenai tidak diperbolehkannya melafadzkan niat. Mana ada kata atau kalimat yang melarang melafadzkan niat dalam ibarat-ibarat diatas ?
Dari semua paparan diatas, kita bisa mengetahui bagaimana perbedaan pandangan ulama-ulama salaf dan ulama- ulama Wahabi mengenai permasalahan melafadzkan niat ketika akan melaksanakan sholat. Padahal selama ini kita sering mendengar klaim dan slogan Wahabi yang selalu mengataskan madzhab dan manhaj mereka adalah mengikuti Salafush Sholih. Pertanyaan : Lalu Salafus Sholih manakah yang diikuti oleh Wahabi dalam permasalahan ini ?
Wallohu A’lam
Sumber
Sebagaimana kita kita ketahui bahwasanya para ulama Wahabi memvonis dan memfatwakan bid’ah dholalah (karena mereka hanya mengenal sebutan bid’ah itu hanya untuk satu macam saja, yaitu bid’ah dholalah, yang pelakunya di ancam masuk ke dalam neraka) kepada kaum muslimin yang dalam praktek sholatnya melafadzkan niat ketika akan melakukan Takbirotul ihram. Fatwa- Fatwa yg membabi buta ini diantaranya dapat kita lihat di bawah ini :
FATWA LAJNAH DAIMAH YANG DIKETUAI OLEH SYEKH ABDUL AZIZ BIN ABDULLAH BIN BAZZ :
فتاوى اللجنة الدائمة - المجموعة الأولى - (ج 6 / ص 319)
السؤال الثاني من الفتوى رقم ( 2444 )
س2: ما حكم التلفظ بالنية مثل قوله: (نويت أن أصلي لله تعالى ركعتين لوجهه الكريم صلاة الصبح)؟
ج2: الصلاة عبادة، والعبادات توقيفية لا يشرع فيها إلا ما دل عليه القرآن الكريم أو السنة الصحيحة المطهرة، ولم يثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه تلفظ في صلاة فرضا كانت أم نافلة بالنية، ولو وقع ذلك منه لنقله أصحابه رضي الله عنهم وعملوا به، لكن لم يحصل ذلك فكان التلفظ بالنية في الصلاة مطلقا بدعة، وقد ثبت عنه صلى الله عليه وسلم أنه قال: « من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد » (1) وقال: « وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة » (2) . وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
Link:http://alifta.com/Fatawa/FatawaSubjects.aspx?languagename=ar&View=Page&HajjEntryID=0&HajjEntryName=&RamadanEntryID=0&RamadanEntryName=&NodeID=647&PageID=2087&SectionID=3&SubjectPageTitlesID=23518&MarkIndex=2&0
Terjemah :
Soal : “Apa hukum mengucapkan niat seperti mengucapkan :
نويت أن أصلي لله تعالى ركعتين لوجهه الكريم صلاة الصبح
“Aku berniat shalat subuh dua rakaat karena Allah Ta’ala dan mengharap wajah-Nya yang mulia.”
Jawab: Shalat termasuk perkara ibadah dan ibadah itu tauqifiyyah (tata caranya ditentukan oleh syariat, harus berdasarkan dalil). Tidak ada satupun aturan dalam shalat kecuali harus berdasarkan Al Quran dan Hadits Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam yang suci. Sementara tidak ada hadits shahih dari Nabi shalallaahu ’alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa beliau mengucapkan niat shalat, baik shalat sunnah maupun shalat wajib. Seandainya beliau melakukan hal ini, pastilah para sahabat meriwayatkan dari beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam dan tentu merekalah (orang pertama) yang mengamalkannya. Akan tetapi semua ini tidak kita dapati riwayatnya. Oleh karena itu mengucapkan niat dihukumi bid’ah secara mutlak. Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda :
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
“Barangsiapa yang mengada-adakan perkara dalam urusan kami ini yang tidak kami perintahkan maka amalan tersebut tertolak.”
Beliau shallallaahu’alaihi wa sallam juga bersabda :
وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
“Wajib bagi kalian menjauhi perkara-perkara baru, karena setiap yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.”
Wabillaahittaufiq wa shallallaahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam. (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyyah Wal Ifta 6/478, Maktabah Asy Syamilah)
MENURUT IBNU UTSAIMIN :
Syaikh al Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Perlu diketahui bahwasanya tempat niat ada di hati dan bukan di lisan. Karena sesungguhnya engkau beribadah kepada Dzat yang mengetahui orang yang berkhianat dan mengetahui segala sesuatu yang tersembunyi di dalam hati. Allahlah Dzat yang Maha mengetahui apa yang ada di setiap dada manusia. Tentunya engkau tidak bermaksud untuk berdiri di hadapan dzat yang bodoh sehingga engkau harus mengucapkan apa yang engkau niatkan namun engkau berdiri karena takut kepadaNya karena Dia Dzat yang mengetahui was-was dalam hatimu, Dzat yang akan membalikkan hatimu. Meskipun demikian tidak ada satupun hadits shahih yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak juga dari sahabat radhiallahu ’anhum bahwasanya mereka melafadzkan niat. Oleh karena itu melafadzkan niat termasuk perbuatan bid’ah yang terlarang baik dengan suara lirih maupun keras. (Syarh Al Raba’in An Nawawiyyah, Hal. 9)
Link : http://muslimah.or.id/.../serba-serbi-niat-shalat-1...
MENURUT ALBANI :
تلخيص صفة الصلاة – (ص 13)
وأما التلفظ بها بلسانه فبدعة مخالفة للسنة ولم يقل بها أحد من متبوعي المقلدين من الأئمة
“Adapun melafadzkan niat dengan lisannya maka hal tersebut adalah Bid’ah, menyelisihi sunnah dan tidak ada seorangpun dari pengikut orang-orang yang taqlid kepada para imam yang mengucapkannya. (Talkhisu Shifati Shalatinnabiyyi hal.13, Maktabah Syamilah )
Link : http://islamport.com/w/alb/Web/381/13.htm
HUKUM MELALAFADZKAN NIAT MENURUT PARA IMAM MADZAHIBUL ARBA’AH
Ada beberapa keterangan yg bisa di baca kitab Al Fiqhul Islami Wa Adillatuhu karya Syekh Wahbah Az Zuhailiy :
الفقه الإسلامي وأدلته - (ج 1 / ص 137)
محل النية باتفاق الفقهاء وفي كل موضع: القلب وجوباً، ولا تكفي باللسان قطعاً، ولا يشترط التلفظ بها قطعاً، لكن يسن عند الجمهور غير المالكية التلفظ بها لمساعدة القلب على استحضارها، ليكون النطق عوناً على التذكر، والأولى عند المالكية: ترك التلفظ بها (2) ؛ لأنه لم ينقل عن النبي صلّى الله عليه وسلم وأصحابه التلفظ بالنية، وكذا لم ينقل عن الأئمة الأربعة.
Tempatnya niat menurut kesepakatan para ulama fiqh dan di semua tempat secara wajib adalah di dalam hati, maka secara pasti tidak cukup dan tidak disyaratkan menggunakan lisan. Tetapi menurut jumhur ulama, selain golongan Malikiyyah hukumnya adalah disunnahkan mengucapkan niat, untuk membantu hati untuk menghadirkannya, agar pengucapannya bisa menolong untuk berdzikir (mengingat). Sedang yang lebih utama menurut ulama Malikiyyah adalah tidak melafadzkan niat, karena hal tersebut tidak pernah di nukil dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya, demikian juga tidak dinukil dari para imam yg empat.
Di halaman lain :
الفقه الإسلامي وأدلته - (ج 1 / ص 331)
والأولى عند المالكية ترك التلفظ بالنية، ويسن عند الشافعية والحنابلة: التلفظ بها، إلا أن المذهب عند الحنابلة أنه يستحب التلفظ بها سراً، ويكره الجهر بها وتكرارها.
Yang lebih utama menurut ulama Malikiyyah adalah tidak melafadzkan niat. Dan menurut Ulama Syafi’iyyah dan Hambaliyyah disunnahkan untuk melafadzkan niat, hanya saja menurut qoul madzhab Hanabilah disunnahkan melafadzkannya dengan pelan, dimakruhkan membaca dengan keras dan mengulang-ulangi niat.
Di halaman lain :
الفقه الإسلامي وأدلته – (ج 1 / ص 682)
ويندب عند الجمهور غير المالكية التلفظ بالنية، وقال المالكية: يجوز التلفظ بالنية،والأولى تركه في صلاة أو غيرها.
.
Menurut Jumhur ulama selain Malikiyyah, disunnahkan melafadzkan niyat. Menurut Ulama Malikiyyah boleh mengucapkannya akan tetapi yang lebih utama adalah meninggalkannya, baik di dalam sholat atau selainnya.
Yg ini tambahan menurut madzhab Maliki :
الفقه الإسلامي وأدلته - (ج 1 / ص 684)
والأولى ترك التلفظ بها، إلا الموسوس فيستحب له التلفظ ليذهب عنه اللبس
Yang lebih utama adalah meninggalkan melafadzkan niat, kecuali bagi orang yang was-was, maka disunnahkan melafadzkannya agar terhindar dari kesamaran.
Memang terdapat keterangan dari ulama Hanafiyyah yang mengatakan bid’ah melafadzkan niat sebagaimana keterangan di bawah ini :
Ibnu Najim Al Mishry Al Hanafi di dalam kitab Al Bahrur Roiq juz 3 hal 92-93, Maktabah Syamilah :
البحر الرائق - (ج 3 / ص 92-93)
وَقَدْ اخْتَلَفَ كَلَامُ الْمَشَايِخِ فِي التَّلَفُّظِ بِاللِّسَانِ فَذَكَرَهُ فِي مُنْيَةِ الْمُصَلِّي أَنَّهُ مُسْتَحَبٌّ وَهُوَ الْمُخْتَارُ وَصَحَّحَهُ فِي الْمُجْتَبَى وَفِي الْهِدَايَةِ وَالْكَافِي وَالتَّبْيِينِ أَنَّهُ يَحْسُنُ لِاجْتِمَاعِ عَزِيمَتِهِ وَفِي الِاخْتِيَارِ مَعْزِيًّا إلَى مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ أَنَّهُ سُنَّةٌ وَهَكَذَا فِي الْمُحِيطِ وَ الْبَدَائِعِ وَفِي الْقُنْيَةِ أَنَّهُ بِدْعَةٌ إلَّا أَنْ لَا يُمْكِنَهُ إقَامَتُهَا فِي الْقَلْبِ إلَّا بِإِجْرَائِهَا عَلَى اللِّسَانِ فَحِينَئِذٍ يُبَاحُ وَنُقِلَ عَنْ بَعْضِهِمْ أَنَّ السُّنَّةَ الِاقْتِصَارُ عَلَى نِيَّةِ الْقَلْبِ ، فَإِنْ عَبَّرَ عَنْهُ بِلِسَانِهِ جَازَ وَنُقِلَ فِي شَرْحِ الْمُنْيَةِ عَنْ بَعْضِهِمْ الْكَرَاهَةُ وَظَاهِرُ مَا فِي فَتْحِ الْقَدِيرِ اخْتِيَارُ أَنَّهُ بِدْعَةٌ فَإِنَّهُ قَالَ : قَالَ بَعْضُ الْحُفَّاظِ : لَمْ يَثْبُتْ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ طَرِيقٍ صَحِيحٍ وَلَا ضَعِيفٍ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ عِنْدَ الِافْتِتَاحِ أُصَلِّي كَذَا وَلَا عَنْ أَحَدٍ مِنْ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ بَلْ الْمَنْقُولُ أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { كَانَ إذَا قَامَ إلَى الصَّلَاةِ كَبَّرَ } وَهَذِهِ بِدْعَةٌ .
ا هـ .
وَقَدْ يُفْهَمُ مِنْ قَوْلِ الْمُصَنِّفِ لِاجْتِمَاعِ عَزِيمَتِهِ أَنَّهُ لَا يَحْسُنُ لِغَيْرِ هَذَا الْقَصْدِ وَهَذَا لِأَنَّ الْإِنْسَانَ قَدْ يَغْلِبُ عَلَيْهِ تَفَرُّقُ خَاطِرِهِ فَإِذَا ذَكَرَ بِلِسَانِهِ كَانَ عَوْنًا عَلَى جَمْعِهِ ، ثُمَّ رَأَيْته فِي التَّجْنِيسِ قَالَ وَالنِّيَّةُ بِالْقَلْبِ ؛ لِأَنَّهُ عَمَلُهُ وَالتَّكَلُّمُ لَا مُعْتَبَرَ بِهِ وَمَنْ اخْتَارَهُ اخْتَارَهُ لِتَجْتَمِعَ عَزِيمَتُهُ .
ا هـ .
“Para Masyayikh berbeda pendapat mengenai melafadzkan niat dengan menggunakan lisan. Di terangkan dalam kitab Munyatul Musholli, hukumnya adalah Mustahab (di sunahkan), demikian ini adalah qoul yang terpilih dan di shohihkkan di dalalm kitab Al Mujtaba, Al Hidayah,Al Kafi dan At Tabyiin, hal tersebut dianggap bagus karena bisa mengumpulkan Azimah (niat). Dan di dalam kitab Ikhtiyar ma’ziyyan yg (disandarkan penukilannya) kepada Muhammad bin al Hasan, bahwasanya hal tersebut adalah Sunnah, demikkian juga keterangan di dalam kitab Al Mabsuth dan Badai’. Sedangkan di dlam kitab al Qunyah hal tersebut adalah Bid’ah, kecuali ketika tidak memungkinkan baginya untuk menegakkan niat di dalam hati melainkan dengan cara mengucapkannya dengan lisan, maka menjadi mubah. Dan di nukil dari sebagian ulama yang disunnahkan adalah meringkas niat di dalam hati, apabila di ucapkan di lisannya maka boleh. Dan di nukil dari syarah Al Munyah dari sebagaian ulama bahwasanya hal tersebuat adalah makruh. Dan dhohirnya keterangan yanga ada di kitab Fathul Qodir bahwasanya hal tersebut adalah bid’ah, tidak tsabit dari Rasulullah shallallahu ‘alaii wa sallam baik dari jalur shahih maupun dhoif bahwasanya beliau ketika mengawali sholat mengucapkan : Usholli kadza (Saya akan sholat begini), juga tidak pernah tsabit riwayat dari sahabat maupun tabi’in, akan tetapi penukilan yang ada adalah bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berdiri untuk melaksanakkan sholat, beliau bertakbir, maka permasalahan ini adalah bid’ah. Selesai (pembahasan).
Namun apakah yang di maksud dengan ucapan bid’ah dan sunnah dalam ibarat diatas menurut ulama Hanafiyyah ??? Bisa dibaca disini :
البحر الرائق - (ج 3 / ص 93)
وَزَادَ فِي شَرْحِ الْمُنْيَةِ أَنَّهُ لَمْ يُنْقَلْ عَنْ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ أَيْضًا فَتَحَرَّرَ مِنْ هَذَا أَنَّهُ بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ عِنْدَ قَصْدِ جَمْعِ الْعَزِيمَةِ ، وَقَدْ اسْتَفَاضَ ظُهُورُ الْعَمَلِ بِذَلِكَ فِي كَثِيرٍ مِنْ الْأَعْصَارِ فِي عَامَّةِ الْأَمْصَارِ فَلَعَلَّ الْقَائِلَ بِالسُّنِّيَّةِ أَرَادَ بِهَا الطَّرِيقَةَ الْحَسَنَةَ لَا طَرِيقَةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَقِيَ الْكَلَامُ فِي كَيْفِيَّةِ التَّلَفُّظِ بِهَا
Dan terdapat keterangan tambahan dalam kitab Syarhul Munyah bahwasanya hal tersebut (melafadzkan niat) itu tidak di nukil dari para imam yang empat juga. Maka beliau memeriksa lagi dari keterangan ini bahwasanya hal tersebut adalah bid’ah hasanah ketika bermaksud untuk mengumpulkan niat. Dan telah tersiar luas mengenai pengamalan hal tersebut pada banyak masa di umumnya semua tempat, maka barangkali ulama yang mengucapkan sunnah, yang di maksud adalah Thoriqoh hasanah (cara yang baik) bukan cara (yang pernah di lakukan) nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai pembicaraan di dalam tata cara melafadzkan niat.
KESIMPULAN DARI IBARAT-IBARAT DIATAS :
Tidak ada satupun dari ulama Madzhibul Arba’ah yang memfatwakan Bid’ah Dholalah bagi orang yang melafadzkan niat ketika akan sholat. Menurut penjelasan ulama Malikiyah, bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir hukumnya boleh namun menyelisihi keutamaan (Khilaful Aula, tidak sampai Makruh), tetapi bagi orang yang terkena penyakit was-was hukum melafalkan niat sebelum shalat hukumnya adalah sunnah.
Sedang menurut Jumhur ulama dan kesepakatan para pengikut madzhab Imam Syafi’iy (Syafi’iyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah) hukumnya adalah sunnah, karena melafalkan niat sebelum Takbiratul Ihram itu dapat membantu untuk menghadirkan dan mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya. Sedang mengenai ucapan bid’ah di dalam istilah sebagian ulama Hanafiyyah juga sama sekali tidak diarahkan kepada bid’ah dholalah.
TUJUAN MELAFADZANKAN NIAT MENURUT PARA ULAMA
Mari kita baca keterangan para ulama di bawah ini :
Al-Allamah Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (Ulama Madzhab Syafi’iiyah), dalam kitab Fathul Mu’in bi Syarhi Qurratul 'Ain bimuhimmati ad-Din, Hal. 16 :
فتح المعين - (ص 16)
( و ) سن ( نطق بمنوي ) قبل التكبير ليساعد اللسان القلب وخروجا من خلاف من أوجبه
“Disunnahkan mengucapkan niat sebelum Takbiratul Ihram, agar lisan dapat membantu hati dan untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya.”
Al-Imam Muhammad bin Abi al-'Abbas Ar-Ramli/Imam Ramli terkenal dengan sebutan "Syafi'i Kecil" [الرملي الشهير بالشافعي الصغير] dalam kitab Nihayatul Muhtaj (نهاية المحتاج), juz I : 437 :
نهاية المحتاج -
( وَيُنْدَبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ ( قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنْ الْوَسْوَاسِ وَلِلْخُرُوجِ مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ ،
“Disunnahkan melafadzkan niat sesaat sebelum Takbiratul Ihram agar lisan dapat membantu hati , agar terhindar dari was-was serta menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya”.
Asy-Syeikhul Islam al-Imam al-Hafidz Abu Yahya Zakaria Al-Anshariy (Ulama Madzhab Syafi'iyah) dalam kitab Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab (فتح الوهاب بشرح منهج الطلاب) [I/38] :
فتح الوهاب -
( ونطق ) بالمنوي ( قبل التكبير ) ليساعد اللسان القلب
"(Disunnahkan) mengucapkan niat sebelum Takbir (Takbiratul Ihram), agar lisan dapat membantu hati."
Diperjelas di dalam Kitab Syarah Fathul Wahab yaitu Hasyiyah Jamal Ala Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab, karangan Al-'Allamah Asy-Syeikh Sulaiman Al-Jamal :
حاشية الجمل –
وَعِبَارَةُ شَرْحِ م ر لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنْ الْوَسْوَاسِ وَخُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ انْتَهَتْ .
"Dan sebuah ibarat dari Syarah Imam Romli, agar lisan dapat membantu hati, karena hal tsb dapat lebih jauh (selamat) dari was-was, serta untuk mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya. Selesai (pembahasannya)."
Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al-Khatib Asy-Syarbainiy, didalam kitab Mughniy Al Muhtaj ilaa Ma'rifati Ma'aaniy Alfaadz Al Minhaj (1/150) :
مغني المحتاج -
( وَيُنْدَبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ ( قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنْ الْوَسْوَاسِ
"Disunnnahkan mengucapkan niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati, karena hal tsb dapat lebih jauh (selamat) dari was-was "
Al-'Allamah Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy, didalam As-Siraj Al-Wahaj (السراج الوهاج على متن المنهاج) pada pembahasan tentang Shalat :
ويندب النطق قبيل التكبير ليساعد اللسان القلب
"Dan disunnahkan mengucapkan (niat) sesaat sebelum Takbiratul Ihram, agar lisan dapat membantu hati"
Al-‘Allamah Sayid Bakri Syatha Ad-Dimyathiy, dalam kitab I’anatut Thalibin (إعانة الطالبين) [I/153] :
إعانة الطالبين –
( قوله وسن نطق بمنوي ) أي ولا يجب فلو نوى الظهر بقلبه وجرى على لسانه العصر لم يضر إذ العبرة بما في القلب
( قوله ليساعد اللسان القلب ) أي ولأنه أبعد من الوسواس وقوله وخروجا من خلاف من أوجبه أي النطق بالمنوي
“[Ucapan muallif : Disunnahkan mengucapkan niat] maksudnya tidak wajib, maka apabila hatinya berniat shalat Dzuhur namun lisannya mengucapkan shalat Asar, maka tidak masalah, karena yang dianggap adalah apa yang ada didalam hati. [Ucapan muallif : Agar lisan membantu hati] maksudnya adalah terhindari dari was-was dan menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya, maksudnya mengucapkan niat.”
Al-‘Allamah Asy-Syekh Jalaluddin Al-Mahalli, di dalam kitab Syarah Mahalli Ala Minhaj Thalibin (شرح العلامة جلال الدين المحلي على منهاج الطالبين) Juz I (163) :
( وَيُنْدَبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ ( قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ .
“Dan disunnahkan mengucapkan niat sesaat sebelum takbir (Takbiratul Ihram), agar lisan dapat membantu hati””
Di dalam Kitab Matan Al-Minhaj li Syaikhil Islam Zakariyya Al-Anshariy fi Madzhab Al-Imam Asy-Syafi'i :
منهج الطلاب -
ونطق قبيل التكبير
"(Disunnahkan) mengucapkan (niat) sesaat sebelum Takbir (Takbiratul Ihram)"
Di dalam kitab Safinatun Naja karya Asy-Syaikh Al-‘Alim Al-Fadlil Salim bin Sumair Al-Hadlramiy ‘alaa Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i :
النية : قصد الشيء مقترنا بفعله ، ومحلها القلب والتلفظ بها سنة
"Niat adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan pekerjaannya. Tempatnya niat adalah di dalam hati, sedangkan melafadzkan niat dengan menggunakan lisan hukumnya adalah sunnah"
Di dalam kitab Niyatuz Zain Syarh Qarratu 'Ain, Al-'Allamah Al-'Alim Al-Fadil Asy-Syekh An-Nawawi Ats-Tsaniy (Sayyid Ulama Hijaz) :
أما التلفظ بالمنوي فسنة ليساعد اللسان القلب
"Adapun melafadzkan niat, maka hukumnya adalah sunnah agar lisan dapat membantu hati"
Al-'Allamah Asy-Syekh Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy, di dalam kitab Minhajul Qawim (1/191) :
فصل في سنن الصلاة وهي كثيرة ( و ) منها أنه ( يسن التلفظ بالنية ) السابقة فرضها ونفلها ( قبيل التكبير ) ليساعد اللسان القلب وخروجا من خلاف من أوجب ذلك
"Fashal di dalam menerangkan sunnah-sunnah shalat. Sunnah-sunnah shalat itu banyak, diantaranya adalah disunnahkan melafadzkan niat sesaat sebelum Takbiratul Ihram di dalam sholat fardhu dan sunnah, agar lisan dapat membantu hati, serta untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya"
Al-'Allamah Asy-Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairamiy Asy-Syafi'i, Tuhfatul habib ala syarhil khotib(1/192), Darul Kutub Ilmiyah, Beirut - Lebanon :
قوله : ( ومحلها القلب ) نعم يسن التلفظ بها في جميع الأبواب خروجاً من خلاف من أوجبه
"Ucapan muallif : (Tempatnya niat didalam hati), memang disunnahkan melafadzkan niat di dalam semua bab-bab untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya"
Al-'Allamah Al-Imam Muhammad Asy-Syarbiniy Al-Khatib, didalam kitab Al-Iqna' Fiy Alfaadh Abi Syuja', pada pembahasan "Arkanush shalah" :
ويندب النطق بالمنوي قبيل التكبير ليساعد اللسان القلب ولأنه أبعد عن الوسواس
"Dan disunnahkan mengucapkan niat sebelum Takbiratul Ihram agar lisan dapat membantu hati, dan karena hal tersebut dapat lebih jauh (selamat) dari was-was "
Di dalam kitab Al-Wafi Syarah Arba'in An-Nawawi, Asy-Syekh Musthafa Al-Bugha & Asy-Syekh Muhyiddin Misthu, telah menjelaskan tentang hadits No.1 :
ومحل النية القلب؛ فلا يشترط التلفظ بها؛ ولكن يستحب ليساعد اللسان القلب على استحضارها
"Dan tempatnya niat adalah hati, maka tiada disyaratkan melafadzkannya, tetapi disunnahkan (melafadzkan niat) agar lisan dapat membantu hati dengan menghadirkannya"
Hawasyi Asy-Syarwaniy karya Abdul Hamid Al Makkiy Asy Syarwaniy (1/240) :
حواشي الشرواني والعبادي - (ج 1 / ص 240)
ومنها التلفظ بالمنوي ليساعد اللسان القلب
"Termasuk diantara kesunahan sholat adalah melafadzkan niat agar lisan dapat membantu hati"
Abdurrahman Muhammad AL Hanafiy yang di kenal dengan Syaikhiy Zaadah dalam kitab Majma’al Anhar juz 1 hal 232 :
مجمع الأنهر - (ج 1 / ص -233232)
( وَضَمُّ التَّلَفُّظِ إلَى الْقَصْدِ أَفْضَلُ ) لِمَا فِيهِ مِنْ اسْتِحْضَارِ الْقَلْبِ لِاجْتِمَاعِ الْعَزِيمَةِ بِهِ قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ : النِّيَّةُ بِالْقَلْبِ فَرْضٌ ، وَذِكْرُهَا بِاللِّسَانِ سُنَّةٌ ، وَالْجَمْعُ بَيْنَهُمَا أَفْضَلُ .
وَفِي الْقُنْيَةِ أَنَّهَا بِدْعَةٌ إلَّا إذَا كَانَ لَا يُمْكِنُهُ إقَامَتُهَا فِي الْقَلْبِ إلَّا بِإِجْرَائِهَا عَلَى اللِّسَانِ فَحِينَئِذٍ تُبَاحُ
“(Mengumpulkan melafadzkan niat kepada Qoshdu (niat) itu lebih utama) karena hal tersebut bisa menghadirkan hati untuk mengumpulkan Azimah (niat). Muhammad bin Al Hasan berkata : Niat dengan hati itu wajib dan menyebutknya dengan lisan itu sunnah, sedangkan mengumpulkan keduanya (hati dan lisan) adalah Afdhol (lebih utama). Namun di dalam kitab Qunyah hal tersebut adalah bid’ah, kecuali ketika tidak memungkinkan baginya untuk menegakkan niat di dalam hati melainkan dengan cara mengucapkannya dengan lisan maka menjadi mubah.
Imam Al-Bahuuti (Ulama Hanabilah) berkata dalam Syarah Muntaha Al-Iradat Juz 1 hal. 393, Makktabah Syamilah :
شرح منتهى الإرادات - (ج 1 / ص 393)
وَتَلَفُّظُهُ بِمَا نَوَاهُ تَأْكِيدٌ
"Sedangkan pelafadz-an seseorang dengan apa yang diniatkannya adalah merupakan ta'kid (penguat)."
Berkata Ibnu Qudamah Al Maqdisiy Al Hambaliy di dalam kitab Al Mughniy :
المغني - (ج 2 / ص 319)
وَإِنْ لَفَظَ بِمَا نَوَاهُ ، كَانَ تَأْكِيدًا .
Apabila seseorang yang sholat melafadzkan apa yang diniatinya, maka hal tersebut menjadi Ta’kid (penguat) (Al Mughniy Juz 2 hal 319, Maktabah Syamilah).
KESIMPULAN DARI SEMUA KETERANGAN ULAMA DIATAS :
Tujuan dari melafadzkan niat adalah agar lisan dapat menghadirkan dan mengingatkan hati, yaitu membantu kekhusuan hati, menjauhkan dari was-was (gangguan hati), serta untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya, karena menghindar dari khilaf ulama hukumnya adalah sunnah. Selain itu lafadz niat adalah dipergunakan untuk ta’kid yaitu penguat apa yang diniatkan.
ISTINBATH HUKUM DARI ULAMA YANG MENYUNAHKAN MELAFDZKAN NIAT
Ulama yang menyunahkan melafadzkan niat kketika akan sholat menqiyaskan dengan melafadzkan niat dalam ibadah Haji, sebagaimana kita ketahui dalam hadis, Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam melafadzkan niat ketika menunaikan ibadah Haji :
عَنْ اَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا (رواه مسلم(
“Dari sahabat Anas ra berkata : “Saya mendengar Rasulullah SAW mengucapkan “Aku memenuhi panggilan-Mu (Ya Allah) untuk (mengerjakan) umrah dan haji” (HR. Imam Muslim)
Dalam buku Fiqh As-Sunnah I halaman 551, Sayyid Sabiq menuliskan bahwa salah seorang Sahabat mendengar Rasulullah SAW mengucapkan :
نَوَيْتُ الْعُمْرَةَ اَوْ نَوَيْتُ الْحَجَّ
“Saya niat mengerjakan ibadah Umrah atau Saya niat mengerjakan ibadah Haji”
Redaksinya begini :
فقه السنة - (ج 1 / ص 654(
روى واحد منهم: أنه سمعه صلى الله عليه وسلم يقول: " نويت العمرة، أو نويت الحج ".
CATATAN : Memang, ketika Rasulullah SAW melafadzkan niat diatas ketika beliau menjalankan ibadah haji, namun sebagian ulama berpendapat bahwa ibadah lainnya juga bisa diqiyaskan dengan hal ini, demikian juga kesunnahan melafadzkan niat pada shalat juga diqiyaskan dengan pelafadzan niat dalam ibadah haji. Hadits tersebut merupakan salah satu landasan dari Talaffudz binniyah (melafadzkan niyat) ketika akan mengerjakan sholat.
Hal ini, sebagaimana juga dikatakan oleh Al-‘Allamah al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami (ابن حجر الهيتمي ) didalam Kitab Tuhfatul Muhtaj (II/12) :
تحفة المحتاج في شرح المنهاج -
( وَيَنْدُبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ ( قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَخُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ وَإِنْ شَذَّ وَقِيَاسًا عَلَى مَا يَأْتِي فِي الْحَجِّ الْمُنْدَفِعِ بِهِ التَّشْنِيعُ بِأَنَّهُ لَمْ يُنْقَلْ
“Dan disunnahkan melafadzkan (mengucapkan) niat sesaat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syadz ( menyimpang), dan Kesunnahan ini juga karena diqiyaskan terhadap adanya pelafadzan dalam niat haji yang bisa digunakan untuk menolak adanya celaan bahwa kesunahan ini tidak di nukil (dari hadis) ”
Didalam kitab Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah (Syarah) 'alaa Al-Adzkar An-Nawawiyah (1/54), Asy-Syekh Muhammad Ibnu 'Alan Ash-Shadiqiy mengatakan :
نعم يسن النطق بها ليساعد اللسان القلب ولأنه صلى الله عليه وآله وسلم نطق بها في الحج فقسنا عليه سائر العبادات وعدم وروده لا يدل على عدم وقوعه
"Ya, disunnahkan mengucapkan niat agar lisan dapat membantu hati, karena sesungguhnya Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wa Aalihi Wa Sallam mengucapkan niat dalam ibadah haji, maka kami menqiyaskannya ke dalam Ibadah-ibadah yang lain, sedangkan ketiadaan yang meriwayatkannya tidak menunjukkan atas ketiadaan terjadinya"
Redaksi melafadzkan niat dari Imam Syafi'i, di riwayatkan dari Al-Hafidz Al-Imam Ibnu Muqri' didalam kitab Mu'jam beliau (336) :
معجم ابن المقرئ -
317 - أخبرنا ابن خزيمة ، ثنا الربيع قال : « كان الشافعي إذا أراد أن يدخل في الصلاة قال : بسم الله ، موجها لبيت الله مؤديا لفرض الله عز وجل الله أكبر »
"Mengabarkan kepadaku Ibnu Khuzaimah, mengabarkan kepadaku Ar-Rabi' berkata, Imam Syafi'i ketika akan masuk dalam Shalat berkata : “Bismillah Aku menghadap ke Baitullah, menunaikkan kewajiban kepada Allah. Allahu Akbar.”
Perlu diketahui bahwa Qiyas juga menjadi dasar dalam ilmu Fiqh,
Al-Allamah Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz didalam Fathul Mu'in Hal. 1 :
واستمداده من الكتاب والسنة والاجماع والقياس.
Ilmu Fiqh dasarnya adalah kitab Al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Al-Imam Nashirus Sunnah Asy-Syafi'i, didalam kitab beliau Ar-Risalah :
أن ليس لأحد أبدا أن يقول في شيء حل ولا حرم إلا من جهة العلم وجهة العلم الخبر في الكتاب أو السنة أو الأجماع أو القياس
“Selamanya seseorang tidak boleh mengatakan di dalam sesuatu, baik hukum halal maupun haram kecuali ada pengetahuan tentang itu, pengetahuan itu adalah al-Kitab (al-Qur'an), as-Sunnah, Ijma; dan Qiyas.”
قلت لو كان القياس نص كتاب أو سنة قيل في كل ما كان نص كتاب هذا حكم الله وفي كل ما كان نص السنة هذا حكم رسول الله ولم نقل له قياس
Aku (Imam Syafi'i berkata) : Jikalau Qiyas itu berupa nas Al-Qur'an dan As-Sunnah, dikatakan setiap perkara ada nasnya di dalam Al-Qur'an maka ini adalah hukum Allah (al-Qur'an), jika ada nasnya di dalam as-Sunnah maka ini hukum Rasul (sunnah Rasul), dan kami tidak menamakan itu sebagai Qiyas (jika sudah ada hukumnya didalam al-Qur'an dan Sunnah).
Jadi maksud perkataan Imam Syafi'i diatas adalah dinamakan qiyas jika memang tidak ditemukan dalilnya dalam al-Qur'an dan As-Sunnah. Jika ada dalilnya didalam al-Qur'an dan as-Sunnah, maka itu bukanlah Qiyas. Bukankah Ijtihad itu dilakukan ketika tidak ditemukan hukumnya/dalilnya secara shorih di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah ?
Jadi, melafadzkan niat shalat yang dilakukan sebelum Takbiratul Ihram adalah amalan sunnah dengan diqiyaskan terhadap adanya pelafadzan niat haji oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Sunnah dalam pengertian ilmu fiqh, adalah apabila dikerjakan mendapat pahala namun apabila ditinggalkan tidak apa-apa. Tanpa melafadzkan niat shalat tetaplah sah, sedang melafadzkan niat saja tanpa meniatkan dalam hati maka tidak mencukupi (tidak sah sholatnya), karena tempatnya niat adalah di dalam hati. Maka melafadzkan niat tidak merusak terhadap sahnya shalat dan tidak juga termasuk menambah-nambah rukun shalat (karena dilakukan sebelum mengerjakan sholat, yaitu Takkbirotul Ihram) sebagaimana keterangan para ulama di bawah ini :
Al-Allamah Al-Imam An-Nawawi, dalam kitab Al-Majmu' (II/43) :
فإن نوى بقلبه دون لسانه أجزأه
“Apabila dia berniat dengan hati tanpa lisannya, maka hal tersebut sudah mencukupi”
Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, di dalam Kifayatul Ahyar, pada bab (باب أركان الصلاة) hal 101, Maktabah Syamilah :
كفاية الأخيار - (101)
واعلم أن النية في جميع العبادات معتبرة بالقلب فلا يكفي نطق للسان مع غفلة القلب
“Ketahuilah bahwa niat dalam semua ibadah di i’tibar dengan hati, maka tidak cukup hanya dengan melafadzkan dengan lisan bersamaan dengan lupanya hati”
Sayyid Sabiq, pada pembahasan فرائض الصلاة dalam kitab Fiqhus Sunnah Juz 1 hal 133, Maktabah Syamilah :
فقه السنة - (ج 1 / ص 133)
ومحلها القلب لا تعلق بها باللسان أصلا
“Tempatnya niat adalah di dalam hati, pada asalnya tidak terikat dengan lisan”
Al-Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim asy-Syafi’i, didalam Kitab Fathul Qarib, pada pembahasan Ahkamush Shalat :
)النِّيَةُ) وَهِيَ قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرَناً بِفِعْلِهِ وَ مُحَلُّهَا اْلقَلْبُ
“Niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya dan tempat niat itu berada di dalam hati.”
Namun anehnya, nash-nash ibarat diatas ini sering di salah fahami oleh para wahabi mengenai tidak diperbolehkannya melafadzkan niat. Mana ada kata atau kalimat yang melarang melafadzkan niat dalam ibarat-ibarat diatas ?
Dari semua paparan diatas, kita bisa mengetahui bagaimana perbedaan pandangan ulama-ulama salaf dan ulama- ulama Wahabi mengenai permasalahan melafadzkan niat ketika akan melaksanakan sholat. Padahal selama ini kita sering mendengar klaim dan slogan Wahabi yang selalu mengataskan madzhab dan manhaj mereka adalah mengikuti Salafush Sholih. Pertanyaan : Lalu Salafus Sholih manakah yang diikuti oleh Wahabi dalam permasalahan ini ?
Wallohu A’lam
Sumber