Breaking News

Senin, 09 Juni 2014

Bukti kerancuan dan kegoncangan paham wahabi memaknai bid’ah

ibnu alkatibiy Sikap wahabi (para pengemban fitnah tanduk syaitan dari Najd) terhadap persoalan bid’ah bisa dibilang terlalu menyombongkan sikap dan pendapat kalau tidak mau dibilang dangkal dan idiot di dalam memahami nash-nash hadits tentang bid’ah.

Wahabi memahami bahwa bid’ah seluruhnya sesat tanpa terkecuali dengan mengambil dalil “ Kullu bid’atin “, maka tak ada yang namanya bid’ah hasanah. Namun di saat itu juga mereka justru membagi bid’ah, yaitu bid’ah diniyyah dan bid’ah duniawi, padahal di zaman Nabi dan para sahabat serta tabi’iin pembagian tersebut tidak dikenal. Malah tidak ada nash dari Al-Quran maupun Hadits yang menjelaskan bahkan menyinggung pembagian bid’ah tersebut. Maka pembagian bid’ah menjadi bid’ah diniyyah dan duniawi adalah sebenar-benarnya bid’ah.

Di samping itu, kaidah bid’ah yang mereka ada-adakan itu sangat berpotensi menimbulkan bahaya dan madharat bagi masyarakat awamnya. Sebab kaum awam akan berpemahaman bahwa semua bid’ah (perkara baru) dalam hal duniawi diperbolehkan, padahal tidak semua perkara baru dalam hal duniawi itu diperbolehkan, ada yang baik dan ada pula yang jelek dan ini adalah fakta. Maka kaidah bid’ah mereka rapuh dan bahkan menyesatkan umat.

Sungguh sangat cerdas dan alimnya para imam besar Ahlus sunnah seperti imam Syafi’i dan imam Nawawi serta yang lainnya yang dengan teliti dan pemahaman yang dalam mendefinisikan bid’ah menjadi bid’ah sayyi’ah dan bid’ah hasanah. Maka bid’ah sayyi’ah mencangkup seluruh kejelekan, bahaya dan kerusakan agama maupun duniawi yang ditolak oleh syare’at Islam dan tidak diterima oleh ushul dan kaidahnya yang menarik segala manfaat dan mencegah segala bahaya. Demikian pula bid’ah hasanah mencangkup segala kebaikan, manfaat dan maslahat dalam agama maupun duniawi yang diterima oleh syare’at Islam dan diridhai oleh ushul dan kaidahnya. Inilah pembagian final bid’ah yang jami’ (menyeluruh) dan mani’ (mengeluarkan). Tentunya para ulama Ahlus sunnah memahami bahwa bid’ah dalam syare’at yang merupakan tambahan dan pengurangan di dalamnya adalah tercela dan sesat. Dan yang mereka maksud bid’ah hasanah tentu hanya sebatas bahasa yang semata-mata perkara baru.

Namun sudah menjadi tabiat dan karateristik wahabi, mereka enggan dan menolak pemahaman yang didefiniskan oleh para ulama Ahlus sunnah tersebut dan membuat istilah baru yang belum pernah ada sebelumnya. Sehingga pengaplikasiannya membuat kerancuan dan kerusakan pada banyak persoalan baru.

Berikut saya akan membuktikan satu kasus saja dari sekian banyak kasus yang membuktikan kerancuan paham wahabi di dalam mendefiniskan bid’ah pada persoalan baru.

Peringatan maulid dan doa khatam Al-Quran di dalam sholat

Perngatan Maulid, pada kasus ini mereka dengan semangat dan narsis yang tinggi mengharamkan dan membid’ahkan peringatan Maulid Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, bukti sudah banyak dalam banyak kitab dan situs-situs internet mereka. Memang peringatan maulid Nabi ini adalah perkara baru namun mendapat tempat baik dan mulia di dalam Al-Quran dan Hadits sendiri yang merupakan salah satu wujud apresiasi seorang mukmin yang berbahagia dan mensyukuri anugerah lahirnya Nabi sang pembawa kebahagiaan dan kesalamatan dunia dan akherat dengan mengisi beberapa macam ibadah dan kebaikan di dalamnya.

Di sini saya tidak akan mengupas dalil-dalil memperingati Maulid Nabi ini, namun saya akan memfokuskan kepada persoalan baru yang mereka (wahabi) menemukan jalan buntu di dalam menyikapinya. Yaitu tentang persoalan membaca do’a khatam Al-Quran di dalam sholat.  

Di dalam kitab Al-Bida’ wal Muhdatsaat; kumpulan fatwa-fatwa ulama wahabi seperti Ibnu Baaz, Ibnu Utsaimin, Abdullah Al-Jabrin, Shaleh Al-Fauzan dan anggota tetap komisi fatwa, disebutkan permasalahan tentang do’a khatam Al-quran di dalam sholat sebagai berikut :



Terjemahan :
Doa khatam Al-Quran di dalam sholat

Soal : Apa pendapat kalian tentang anggapan sebagian orang bahwa doa khatam Al-Quran adalah termasuk bid’ah ?

Jawab : Saya tidak mengetahui adanya dalil sahih yang dapat dijadikan sandaran untuk melakukan doa khatam al-Quran di dalam sholat, baik dari sunnah Nabi maupun sunnah sahabat. Maksimalnya dalam hal ini adalah perbuatan Anas bin Malik ketika hendak menyelesaikan Al-Quran, bahwa ia mengumpulkan keluarganya dan berdoa, akan tetapi hal itu tidak dilakukannya di dalam sholatnya. Sedangkan sholat sebagaimana maklumnya tidak boleh membuat doa baru di dalamnya yang tidak datang dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, karena ada sabda Nabi “ Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat “. Adapun menyebut bid’ah pada doa khatam al-Quran di dalam sholat, maka aku tidak menyukai penyebutan bid’ah tersebut, karena ulama sunnah berbeda pendapat tentangnya “.

(Al-Bida’ wal muhdatsaat : 554)

Komentar penulis :

Perhatikan jawaban atau fatwa Ibnu Utsaimin tersebut, ia mengatakan doa khatam Al-Quran di dalam sholat boleh dilakukan tanpa menyebutkan dalil dari Al-Quran dan sunnah. Padahal ia meyakini bahwa perkara itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan juga para sahabat artinya hal itu merupakan perkara baru, namun ia tidak mau menyebutnya sebagai bid’ah hanya karena ulama sunnah berbeda pendapat tentang hal ini (tentu siapa lagi yang dimaksud ulama sunnah oleh Ibnu Utsaimin ? sudah pasti ulama dari kalangan mereka sendiri).

Saya katakan : Kenapa Ibnu Utsaimin tidak mau menyebut perkara itu bid’ah padahal ia meyakini itu perkara baru dalam urusan agama dan tak ada dalil sahihnya ?? Apa sebab Ibnu Utsaimin menyebut bid’ah pada persoalan maulid? Padahal kasusnya sama dengan kasus di atas? Dan padahal mayoritas ulama Ahlus sunnah justru menganjurkannya dan juga para ulama hafidz hadits membolehkannya seperti Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Atsqalaani, Al-Hafidz Suyuthi, Al-Hafidz Ibnu Al-Jauzi, Al-Hafidz Asyakhawi, Al-Hafidz Ibnu Nashir Ad-Dimasyqi, Al-Hafidz Abu Syamah dan lainnya ? apakah mereka semua ini bukan ulama Ahlus sunnah ??

Ibnu Baaz dalam kitabnya majmu’ fatawa wa maqaalat mutanawwi’ah pun juga membolehkan membaca doa khatam Al-Quran di dalam sholat tanpa menyebutkan dalil dari Al-Quran dan sunnah satu pun, namun hanya bersandar pada perbuatan para imam dakwah yang telah melakukannya, tentu yang dimaksud para imam dakwah tidak ada lain adalah para ulama kalangan mereka sendiri.

Di sisi lain, Nahsiruddin Albani dengan tegas menyatakan dalam kitabnya Silsislah Al-Ahaadits ad-Dha’iifah bahwa doa’ khatam Al-Quran adalah bid’ah yang tidak boleh dilakukan, perhatikan berikut ini :




“ Tidak diragukan lagi bahwa melakukan doa tertentu setelah khatam al-Quran adalah termasuk bid’ah yang tidak diperbolehkan, karena keumuman hadits Nabi “ Setiap bid’ah itu sesat dan setia kesesatan itu di neraka “, dan itu termasuk bid’ah yang dinamakan oleh imam Syathibi sebagai bid’ah idhofiyyah, sedangkan syaikh islam ibnu taimiyyah termasuk orang yang paling jauh melakukan bid’ah tersebut..” (Silsilah al-Ahaadits : 315)

Komentar penulis :

Albani membid’ahkan iltizam membaca doa tertentu setelah khatam membaca al-Quran di luar sholat, lalu bagaimana dengan doa khatam al-Quran di dalam sholat yang jelas-jelas tidak ada dalil sahihnya dari nabi ataupun sahabat?? Tentu albani akan berkonsekuen membid’ahkannya.

Pembaca sudah bisa menilai kegoncangan istidlal para ulama wahabi tersebut akibat kaidah bid’ah yang mereka ciptakan sendiri. Doa khatam AlQuran di dalam sholat yang mereka tidak menemukan dalil sahihnya dan meyakini hal itu bid’ah (perkara baru) mereka tidak mau menyebutnya sebagai bid’ah, tetapi peringatan maulid yang banyak dalil sahihnya terlebih satuan-satuan acaranya sudah jelas ada dalil-dalil sahihnya apalagi jumhur ulama Ahlus sunnah membolehkannya, malah mereka anggap sebagai bid’ah dan sesat.  Di sinilah terbukti kerancuan kaidah bid’ah mereka yang menyebabkan satu sama lain di kalangan mereka saling bingung dan goncang di dalam menyikapi persoalan ringan seperti ini.

Seandainya saja mereka (wahabi) mau bersikap inshaf dan taslim terhadap pemahaman yang telah didefinisikan oleh ulama Ahlus sunnah tentang bid’ah dan pembagiannya, niscaya tidak akan ada perseteruan panjang dan perpecahan sesama umat Islam ini dan mereka (wahabi) tidak akan menemukan kebuntuan hukum dan sikap terhadap persoalan-persoalan baru dalam agama / syare’at sehingga menyebabkan ketidak konsistenan atau kemunafikan mereka di dalam menyikapinya. Karena tidak semua perkara baru itu bid’ah sesat.

Ini baru satu kasus dari ribuan kasus yang ada yang jika menggunakan pandangan wahabi sudah pasti dinilainya bid’ah sesat, misal lainnya kasus yang dilakukan oleh para imam masjid di haramain (Makkah dan Madinah) seperti syaikh Abdurrahman Sudais, syaikh Husain bin Abdul Aziz Aalu syaikh, syaikh Ali Al-Hudzaifi dan lainnya, mereka di dalam shalat tarawikh selalu menentukan bacaan Al-Quran di setiap roka’atnya sampai pada hari ke dua puluh tuju atau dua puluh Sembilan, mereka mengkhatamkan Al-Quran, ini mereka lakukan berulang-ulang setiap tahunnya, padahal tidak ada yang melakukannya di tiga kurun terbaik.

Demikian juga membaca doa khatam Al-Quran di setiap akhir malam Ramadhan atau malam ke dua puluh sembilannya pada setiap tahunnya. Hal ini merupakan taqyid atau pengkhususan ibadah dan perkara baru yang tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf sepanjang tiga kurun terbaik. Jika wahabi mau konsisten dengan definisi dan kaidah bid’ah yang mereka ciptakan, seharusnya mereka menilai perkara baru itu semua adalah bid’ah sesat dan para imam yang melakukannya itu semua adalah pelaku bid’ah yang sesat. Namun realitanya tak ada satu pun para ulama mereka yang melontarkannya walaupun hanya satu huruf saja..naudzu billahi, kita berlindung pada Allah dari sikap nifaq seperti itu dan dari semua pemahaman sesat yang menyesatkan.

Tidak ada komentar:

Designed By