Breaking News

Senin, 09 Juni 2014

Wahhabi-salafi mendahului Allah dan Rasul-Nya dengan memvonis kedua orangtua Rasul Saw dalam neraka (Bag III).


ibnu alkatibiy Tujuh Poin Analisis Kasus kedua orangtua Rasul Saw :



Pertama : Hingga saat ini tidak ditemukan satu pun dalil sharih dari al-Quran maupun Hadits yang menunjukkan kedua orangtua Rasul Saw penyembah berhala. Sehingga tidak boleh memvonis keduanya masuk neraka.

Kedua : Hadits riwayat imam Muslim tentang kedua orangtua Rasul Saw, masih dipertentangkan oleh banyak ulama Ahlus sunnah. Dan bahkan mayoritas ulama mengatakan hadits itu bertentangan dengan nash al-Quran dan Hadits yang lebih kuat lagi. Sehingga tidak bisa digunakan sebagai hujjah.

Ketiga : Dari sisi sanad dan matan, hadits tersebut menjadi perbincangan dan permasalahan para ulama ahli hadits sejak dulu hingga kini. Dalam perbandingannya dengan hadits riwayat Ma'mar, matan dan sanadnya lebih kuat dan tsubut ketimbang hadits riwayat Hammad. Maka lebih dipegang hadits riwayat Ma'mar.

Keempat : Vonis ijma’ para ulama akan masuknya kedua orangtua Rasul dalam neraka, ternyata vonis sepihak dan terbukti tidak benar, hanya sebuah pengakuan tanpa adanya bukti yang menguatkannya.

Kelima : Permasalahan ini hanyalah permasalahan dalam hal ijtihadiyyah (analisa furu’di antara ulama yang berkompeten) bukan masalah i’tiqaadiyyah (aqidah) yang menyebabkan kufur atau bid’ahnya orang yang menentangnya.

Keenam : Permasalahan ini permasalahan yang ‘mukhthirah’(membahayakan jika salah vonis) dan sangat berbeda dengan permaslahan ijtihadiyyah lainnya . Sebab menyangkut hak Nabi Muhammad Saw. Walaupun ada hadits yang terkesan menjelaskan masuknya kedua orangtua Nabi dalam neraka, namun hadits itu banyak pertentangannya dengan ayat al-Quran dan hadits juga penjelasan para ulama Ahlus sunnah.

Jika seandainya orang-orang yang memvonis kedua orangtua Nabi Saw ternyata salah, maka hal itu akan menyakiti hati Nabi Saw dan terlaknat dunia dan akherat. Jika seandainya pihak yang mengatakan kedua orangtua Nabi Saw masuk surga itu ternyata salah, maka hal ini tidaklah menyakiti hati Nabi Saw sebab persangkaan baik mereka tentang hal ini.

Ketujuh : Hak hati untuk selalu membuat bahagia Nabi Muhamamd Saw. Dan hak lisan untuk menjaga dan mencegah dari hal yang tidak bermanfaat terlebih dalam hal membicarakan aib / kekurangan orang lain.

Bukankah kita diperintahkan untuk tidak menyakiti orang yang hidup dengan menjelek-jelekan keluarganya yang sudah meninggal ??

Ketujuh poin ini, kita akan bahas secara ilmiyyah dan terperinci:

Poin Pertama :

Allah Maha berkehendak dan berwenang atas segala urusan makhluk-Nya. Allah berwenang untuk menyiksa siapapun yang dikehendaki dan berwenang untuk mengampuni siapapun yang dikehendakinya pula.

يعذب من يشاء ويغفر لمن يشاء

“ Dia (Allah) menyiksa siapapun yang dikehendaki-Nya dan mengampuni siapapun yang dikehendakinya pula “.(Al-Maidah : 40)

Jika Allah memberi pahala orang yang taat, maka itu semata-mata keutamaan dari-Nya. Dan jika Allah menyiksa orang yang bermaksyiat, maka itu semata-mata keadilan dari-Nya. Dan bagi Allah sangat boleh berlaku sebaliknya, yaitu memberi pahala orang yang bermaksyiat dan menyiksa orang yang ta’at dan sedikit pun Allah tidak dzhalim atas hal yang demikian. Namun Allah telah mengabarkan dan berjanji pada kita bahwa Allah tidak akan berbuat demikian, kabar Allah jujur dan tidak akan mengingkari janji-Nya. Dan sunnatullah berlaku pada makhluk-Nya.


Imam Asy-Syathibi
berkata :

جرت سنته سبحانه فيخلقه : أنه لايؤاخذ بالمخالفة إلا بعد إرسال الرسل ، فإذا قامت الحجة عليهم؛ فمن شاء فليؤمن، ومن شاء فليكفر، ولكل جزاء مثله

“ Telah berlaku sunnah Allah Ta’aala bahwasanya Allah tidak akan menghukum sebab pelanggaran (yang dilakukan hamba-Nya) kecuali setelah mengutusnya seorang Rasul. Jika hujjah telah ditegakkan pada mereka, maka siapa yang berkehendak, ia beriman dan siapa yang berkehendak ia kufur. Dan semua balasan berlaku sepatutnya “. ( Mahasin At-Takwil lil Qaasimiy : 10/312)
Pendapat ini juga senada dengan pendapat mayoritas ulama di antaranya; Imam Al-Baghawi, Ar-Rafi’i, Al-Qasimi, Al-Ghazali, As-Subuki, Ibnu Taimiyyah, Sholahuddin Al-Alaai, Fakhruddin Ar-Raazi, Ibn Hajar Al-Atsqalani, As-Sayuthi, Al-Bajuri dan lainnya.
Tidak ada dalil satu pun yang bisa membuktikan bahwa Aminah binti Wahb dan Abdullah bin Abdul Muththalib pernah menyembah berhala atau bahkan berbuat seperti perbuatan jahiliyyah. Sehingga tidak bisa divonis neraka apalagi neraka selamanya.
Tegaknya hujjah untuk menetapkan seseorang itu ahli neraka atau pun surga harus bersumber dari al-Quran dan Hadits yang sharih (jelas) dan tidak mengandung ihtimaalat (indikasi-indikasi makna lain). Sedangkan Hadits riwayat imam Muslim masih belum sharih bahkan terindikasikan mengandung makna lainnya dengan qorinah-qarinah yang kuat. Sebagaimana kita akan bahas nanti pada poin kedua.

Imam Syafi’i mengatakan :

وقائع الأحوال إذا تطرق إليها الاحتمال كساها ثوب الإجمال وسقط بها الاستدلال

“ Beberapa kejadian yang masih menimbulkan berbagai kemungkinan, maka ia tercakup dalam dalil mujmal (global) dan tidak bisa dibuat dalil“ (Ghoyyah al Wusul : 74)

Vonis orangtua Nabi Saw penyembah berhala bukan berasal dari al-Quran maupun Hadits, namun hanya berasal dari pengakuan beberapa ulama di antaranya imam Baihaqi yang berkata dalam kitabnya Dalail An-Nubuwwah “ Bagaimana orangtua dan datuk Nabi Saw tidak disifati dengan sifat-sifat ini (neraka) di akherat, padahal mereka semua menyembah berhala sampai mereka meninggal “.

Maka pengakuan ini tidak kuat sehingga tidak bisa dibuat hujjah sebab tak ada satupun ayat maupun riwayat hadits yang menjelaskan kedua orangtua nabi berbuat syirik, bahkan tak ada satupun ulama yang menyebutkan dalil-dalil akan hal demikian sebagai penguat hujjah. Maka bisa kita katakan bahwa ijtihad imam Baihaqi dalam hal ini (kasus kedua orangtua Rasul Saw) keliru dan tetap beliau mendapatkan ganjaran pahala atas ijtihadnya.

Dengan demikian gugurlah hujjah yang memvonis kedua orangtua Nabi Saw masuk neraka. Karena tak ada satupun dalil dari al-Quran, Hadits maupun fakta sejarah yang menyatakan keduanya berbuat perbuatan kejahiliaan apalagi kesyirikan.

Maka hak kita sebagai orang beriman hendaknya berbaik sangka kepada orangtua Nabi Saw yang sudah meninggal bahwa mereka adalah orang baik yang tidak berbuat kesyirikan. Jika kita mengatakan bahwa mereka berbuat kesyirikan, maka kita telah berburuk sangka dengan kedua orang tua Nabi Saw. Pertama; terbukti tidak ada satupun dalil yang menyatakan mereka berbuat syirik. Kedua; kita tidak hidup di zaman kedua orang tua Nabi Saw sehingga tidak menyaksikan keadaan hidup dan prilaku mereka serta bagaimana keadaan mereka ketika meninggal.

Poin Kedua :

Hadits riwayat imam Muslim berikut :

أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِى؟ قَالَ: «فِى النَّارِ». فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ، فَقَالَ: «إِنَّ أَبِى وَأَبَاكَ فِى النَّار

“ Bahwasanya ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Saw. “Wahai Rasulullah Saw! di mana bapakku?”. Kemudian Rasulullah Saw. menjawab, “Di neraka.” “Ketika lelaki tersebut berpaling, Nabi memanggilnya seraya berkata, “Sesungguhnya bapakku dan bapakmu berada di neraka.”

Oleh para ulama Ahlus sunnah, hadits tersebut dinilai hadits Aahad yang matruk ad-Dhahir (Tidak boleh berpegang dengan dhahir teks haditsnya) karena menurut mereka hadits tersebut bertentangan dengan nash Al-Quran. Sedangkan hadits Aahad jika bertentangan dengan nash Al-Quran, atau hadits mutawatir, atau kaidah-kaidah syare’at yang telah disepakati atau ijma’ yang kuat, maka dhahir hadits tersebut ditinggalkan dan tidak boleh dibuat hujjah dalam hal aqidah. Imam Nawawi, Ibnu Hajar Al-Atsqalani, Ibnu Taimiyyah dan ulama lainnya telah menyatakan bahwa hadits Ahad jika bertentangan dengan nash al-Quran, hadits atau ijma’, maka hadits aahad tersebut tidak boleh dibuat hujjah. Sebagaimana telah kami jelaskan pada artikel yang pertama.
Nash al-Quran menyatakan bahwa ahli fatrah (umat yang hidup di masa kekosongan nabi) tidak akan disiksa dan dimasukkan neraka sebelum diutusnya seorang Rasul dan sampainya dakwah pada mereka.

Allah Swt berfirman :

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا

“dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”(Q.S Al Isra`: 15)

Dan juga :

وَمَا أَهْلَكْنَا مِن قَرْيَةٍ إِلَّا لَهَا مُنذِرُونَ

“ Kami tidak akan memusnahkan suatu daerah kecuali telah ada orang-orang yang telah memperingatkannya “ (Asy-Syu’ara : 208)

{Orang tua Rasul Shallahu ‘alaihi wa sallam adalah ahli fatrah}

Dan kedua orangtua Rasul Saw menurut pendapat yang kuat adalah ahli fatrah. Karena mereka hidup di masa kekosongan antara dua Nabi, yaitu antara nabi Isa Alahis salam dan nabi Muhammad Shollahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan masa fatrah di antara nabi Isa dan diutusnya nabi Muhamaad adalah 600 (enam ratus) tahun. Di mana masa tersebut penuh dengan kejahiliaan di timur maupun barat apalagi masa antara nabi Ibrahim dan nabi Muhammad sejauh 3000 (tiga ribu) tahun. Terlebih kitab suci nabi Isa yaitu injil telah mengalami perubahan. Dan juga kedua orang tua Nabi Shollahu ‘alaihi wa sallam berusia pendek, ayahandanya wafat di usia 18 tahun demikian pula ibundanya wafat diusia tidak lebih dari 20 tahun. Di usia-usia muda itu sangat dimungkinkan mereka tidak pernah melakukan perbuatan jahiliyah terlebih berbuat kesyirikan.

Di masa itu juga dikatakan oleh para ulama ahli sejarah bahwa ibunda nabi adalah seorang wanita yang selalu menjaga kehormatan dirinya, selalu mengurung diri dalam rumah dan tidak pernah berkumpul dengan kaum lelaki lainnya. Dan juga kaum lelakinya saat itu tidak mengetahui perkara agama dan syare’at apalagi kaum wanitanya. Fakta ini telah dikuatkan oleh Allah Ta’aala dalam al-Quran saat nabi mengumandangkan kenabiaanya penduduk Makkah dengan reaksi kaget mereka berkata :

أبعث الله بشرا رسولا

“ Apakah Allah akan mengutus manusia sebagai Rasul (utusan) “ (Al-Isra : 93)

Seandainya mereka tahu, akan adanya utusan seorang Rasul, maka mereka tidak akan mengingkari hal itu.
Dengan demikian, orangtua Nabi hidup dalam masa fatrah yang penuh kejahiliaan, namun mereka terjaga dari prilaku kejahiliaan, dakwah para nabi sebelumnya tidak sampai pada mereka. Dan mereka juga tidak mengetahui akan adanya pembawa peringatan. Sebab kurun waktu yang begitu lama antara nabi sebelum dan setelahnya. Hal ini dikuatkan dengan ayat-ayat sebagai berikut :

لِتُنذِرَ قَوْمًا مَّا أُنذِرَ آبَاؤُهُمْ فَهُمْ غَافِلُونَ

“ Agar kamu memperingatkan suatu kaum yang datuk-datuk mereka belum mendapat peringatan dan mereka dalam keadaan lalai “. (Yasin : 6)

Allah juga berfirman :

لِتُنذِرَ قَوْمًا مَّا أَتَاهُم مِّن نَّذِيرٍ مِّن قَبْلِكَ لَعَلَّهُمْ يَهْتَدُون

“ Agar kamu memperingatkan suatu kaum yang tidak ada seorang pemberi peringatan pun pada mereka sebelum kamu, supaya mereka mendapat petunjuk “ (As-Sajdah : 3)

Dan ayat :

لِتُنذِرَ قَوْمًا مَّا أَتَاهُم مِّن نَّذِيرٍ مِّن قَبْلِكَ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

“ Agar kamu memperingatkan suatu kaum yang tidak ada seorang pemberi peringatan pun pada mereka sebelum kamu, supaya mereka sadar “ (Al-Qashash: 46)

Ayat-ayat di atas dengan jelas menyatakan bahwa umat nabi Muhammad shollalahu ‘alaihi wa sallam dan orangtua beliau, tidak sampai dakwah para nabi sebelumnya pada mereka. Maka orang-orang yang wafat sebelum diutusnya nabi Muhammad Saw terutama kedua orangtua beliau, termasuk ahli fatrah dan tidak akan disiksa oleh Allah Swt.

Maka hadits riwayat imam Muslim di atas sangat bertentangan dengan nash-nash al-Quran yang sharih di atas dan nyatalah teks hadits tersebut harus ditinggalkan atau mengharuskan untuk ditakwil. Dan dengan demikian hadits tersebut gugur dan tidak bisa dibuat hujjah untuk memvonis kedua orangtua Rasul shollahu ‘alaihi wa sallam di neraka.


Pendapat para ulama yang menyatakan kedua orangtua Nabi Shollahu ‘alahi wa sallam termasuk ahli fatrah :

Syaikh Izzuddin bin Abdis Salam berkata :

كل نبي إنما أرسل إلى قومه إلا نبينا صلى الله عليه وسلم قال فعلى هذا يكون ما عدا قوم كل نبي من أهل الفترة إلا ذرية النبي السابق فإنهم مخاطبون ببعثة السابق إلا أن تدرس شريعة السابق فيصير الكل من أهل الفترة

“ Sesungguhnya setiap nabi diutus hanyalah kepada kaumnya kecuali nabi kita Muhammad Shollahu ‘alaihi wa sallam, maka atas hal ini selain kaum setiap nabi adalah masuk ahli fatrah kecuali keturunan nabi yang sebelumnya. Karena keturunan seorang nabi mendapat khithab dengan diutusnya nabi sebelumnya kecuali jika syare’at nabi tersebut telah hilang, maka semuanya masuk ahli fatrah “.

Maka dengan ini nyatalah bahwa orangtua nabi Shollahu ‘alaihi wa sallam termasuk ahli fatrah tanpa diragukan lagi. Karena orangtua Nabi Muhammad bukan lah keturunan nabi Isa alaihis salam dan juga bukan termasuk kaumnya.

Syaikh Al-Islam Syarafuddin Al-Manawi ketika beliau ditanya apakah ayah Nabi Saw di dalam neraka, maka beliau menjawab :

إنه مات في الفترة ، ولا تعذيب قبل البعثة

“ Sesungguhnya ia wafat dalam masa fatrah dan tidak ada adzab baginya sebelum diutusnya Nabi “. (Masalik Al-Hunafa : 14)
Al-Imam Az-Zarqani berkata :

وإما لأنهما ماتا في الفترة قبل البعثة ولا تعذيب قبلها ، كما جزم به الأبي وإما لأنهما كانا على الحنيفية والتوحيد ولم يتقدم لهما شرك ، كما قطع به الإمام السنوسي والتلمساني.

“ Atau sebab kedua orangtua Nabi Saw wafat di masa fatrah sebelum diutusnya nabi dan tidak akan disiksa sebelum adanya pengutusan, sebagaimana ditetapkan oleh Al-Aabiy. Atau sebab keduanya masih memegang ajaran lurus dan tauhid dan tidak berbuat kesyirikan pun, sebagaimana ditetapkan imam As-Sanusi dan At-Tilmisaani " (Syarh Al-Mawahib Al-Ladunniyyah : 1/349)

Al-Allamah Al-Baijuri berkata :

إذا علمت أن أهل الفترة ناجون على الراجح ، علمت أن أبويه صلى الله عليه وسلم ناجيان لكونهما من أهل الفترة ، بل جميع آبائه صلى الله عليه وسلم وأمهاته ناجون ومحكوم بإيمانهم ، لم يدخلهم كفر ، ولا رجس ، ولا عيب ، ولا شيء مما كان عليه الجاهلية بأدلة نقلية كقوله تعالى : (( وتقلبك في الساجدين )) وقوله صلى الله عليه وسلم : (( لم أزل أنتقل من الأصلاب الطاهرات إلى الأرحام الزاكيات )) ، وغير ذلك من الأحاديث البالغة مبلغ التواتر.

“ Jika kamu telah mengetahui bahwa ahli fatrah selamat atas pendapat yang rajah, maka kamu mengetahui bahwasanya kedua orangtua Nabi Saw selamat sebab keduanya termasuk ahli fatrah. Bahkan seluruh datuk beliau selamat dan ditetapkan keimanan mereka. Tidak disusupi kekufuran, kekejian, aib dan sesuatu pun dari perbuatan jahiliyyah dengan dalil-dalil naqliyyah seperti firman AllH Swt : “ Dan perubahan gerak-gerikmu di antara orang-orang yang sujud “, juga sabda Nabi Saw“Aku selalu berpindah dari sulbi-sulbi laki-laki yang suci menuju rahim-rahim perempuan yang suci pula”dan selain itu dari hadits-hadits kuat yang mutawatir “. (Tuhfah Al-Murid Syarh Jauhar At-Tauhid)

Dan banyak lagi para ulama lainnya yang sepandapat dengan mereka seperti imam As-Syakhawi, imam Ghazali, A-Suyuthi dan lainnya.

{Ahli fatrah akan diuji oleh Allah di akherat}


Dalam sebuah hadits yang telah diriwayatkan imam Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawiyah, Baihaqi dan ulama lainnya dengan sanad yang shahih dari Al-Aswad dari Sari’ bahwasanya Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أربعة يوم القيامة رجل أصم لا يسمع شيئًا و رجل أحمق و رجل هرم و رجل مات فى فترة فأمّا الأصم فيقول " لقد جاء الإسلام و ما أسمع شيئًا " و أمّا الأحمق فيقول " يا رب لقد جاء الإسلام و الصبيان يحذفونى بالبعر " و أمّا الهرم فيقول " يا رب لقد جاء الإسلام و ما أعقل شيئًا " و أمّا الذى مات فى فترة فيقول " ما أتانى لك رسول " فيأخذ مواثيقهم ليطيعنه فيرسل إليهم أن ادخلوا النار فوالذى نفسى بيده لو دخلوها كانت عليهم بردًا وسلامًا

“ Ada empat golongan kelak di hari kiamat ; Orang tuli yang tidak bias mendengar sama sekali, orang idiot, orang tuna netra dan orang yang meninggal di masa fatrah. Orang tuli berkata “ Islam telah dating tapi aku tidak mendengarnya sama sekali “. Orang idiot berkata “ Wahai Tuhanku, Islam telah dating dana bocah-bocah kecil melempariku dengan kotoran “. Orang tuna netra berkata “ Wahai Tuhanku, Islam telah dating tapi aku tidak memahaminya sama sekali “. Dan orang yang meninggal di masa fatrah berkata “ Tidak dating padaku seorang utusan dari-Mu “. Maka Allah menguji kepercayaan mereka supaya menta’ati-Nya dan Allah mengutus pada mereka supaya masuk neraka. Maka demi yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya, seandainya mereka memasuki neraka, niscaya neraka itu akan menjadi sejuk dan sejahtera “.

Dalam hadits tersebut menejelaskan bahwa pada awalnya ahli fatrah masuk neraka. Namun dengan kemurahan dan ampunan Allah, mereka dimasukkan ke dalam surga oleh Allah. Oleh sebab itulah Nabi menegaskan dengan sabdanya “, seandainya mereka memasuki neraka, niscaya neraka itu akan menjadi sejuk dan sejahtera “, artinya mereka tidak akan masuk neraka dan mereka akan dimasukkan ke dalam surga setelah mendapat ujian.

{Orang tua Rasul adalah orang yang ta’at saat diuji}

Ayahanda dan ibunda Rasul Shallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang ta’at ketika diuji kelak. Sebagaimana hadits berikut telah mengisyaratkannya:

Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadraknya dan beliau menilainya shahih dari Ibnu Mas’ud beliau berkata :

شاب من الأنصار لم أر رجلا كان أكثر سؤالا لرسول الله صلى الله عليه وسلم منه يا رسول الله أرأيت أبواك في النار فقال ما سألتهما ربي فيطيعني فيهما وإني لقائم يومئذ المقام المحمود.

“ Ada seorang pemuda dari Anshor yang aku belum pernah melihat seseorang yang banyak bertanya kepada Rasululullah Shallahu ‘alaihi wa sallam darinya. “ Wahai Rasul Allah, apakah engkau melihat kedua orangtuamu di neraka ? “, beliau Shallahu ‘alaihi wa sallam menjawab “ Aku belum memohon pada Tuhanku agar orangtuaku kelak ta’at padaku, dan sungguh aku pada hari itu benar-benar menempati al-maqam al-mahmud (kedudukan tertinggi) “.

Dalam hadits ini menunjukkan bahwa ada harapan baik bagi kedua orangtua Nabi Shallhu ‘alahi wa sallam ketika telah tegak maqam mahmudnya beliau Shollahu ‘alaihi wa sallam. Demikian itu dengan beliau memberikan syafa’at pada keduanya sehingga keduanya ta’at pada Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam saat penduduk fatrah mendapat ujian. Dan tidak diragukan lagi ketika itu beliau mendapat seruan “ Mintalah, niscaya kau akan dikabulkan dan berilah syafa’at, niscaya kau akan diberi wewenang syafa’at “, sebagaimana telah kita ketahui dalam hadits-hadits yang shahih.

Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu ketika menafsirkan ayat berikut :

ولسوف يعطيك ربك فترضى

“ Dan sungguh kelak Tuhanmu akan memberikanmu hingga kamu puas “

Beliau menafsirkan :

من رضا محمد صلى الله عليه وسلم أن لا يدخل أحد من أهل بيته النار

“ Termasuk keridhaan nabi Muhamamd adalah tidak ada satupun keluarga Nabi yang masuk neraka “.
Ibnu Hajar al-Atsqalaani berkata : “ Hendaknya berprasangka baik bahwa semua keluarga nabi akan ta’at ketika diuji “.
(Al-Haafi lil Fatawi : 207)

{Tidak semua hadits shahih boleh dibuat hujjah}


Meninggalkan hadits atau mengambilnya sebagai hujjah, memiliki batasan-batasan dan persayaratan-persyaratan tertentu. Tidak semua orang mampu melakukan hal itu. Membuka kitab-kitab hadits dan mengambilnya dengan semaunya tanpa ada keahliaan dalam ilmu hadits atau tanpa merujuk pada ulama yang berkompeten dalam bidangnya, hanyalah permainan anak-anak.

Bukankah sangat banyak para imam besar yang tidak mengambil hadits shahih sebagai hujjah ? disebabkan dengan keahliannya dalam ilmu istidlal dan istinbathnya mereka menilai ada illat-illat yang menyebabkan hadits shahih tersebut tidak bisa dijadikan hujjah atas sebuah hokum.

Contoh :


Imam Syafi’i.

Dalam madzhab Syafi’i, diharuskan membaca basmalah sebelum fatehah bahkan batal sholatnya jika tidak membaca basmalah. Padahal dalam shahih Muslim disebutkan bahwa Nabi Saw tidak membaca basmalah di dalam sholat.

Dan juga dalam mazhab syafi’i jika imam ruku’, makmum harus ruku’, jika imam I’tidal, makmum harus I’tidal, jika imam mengucapkan sami’allahu liman hamidah, maka makmum mengucapkan sami’allahu liman hamidah. Jika imam sholat dengan duduk karena ada udzur, maka makmum tetap sholat berdiri selama masih mampu berdiri dan tidak boleh duduk.

Sedangkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan imam Bukhari dan Imam Muslim disebutkan :

إنما جعل الإمام ليؤتم به فلا تختلفوا عليه فإذا ركع فاركعوا وإذا رفع فارفعوا وإذا قال سمع الله لمن حمده فقولوا ربنا لك الحمد وإذا صلى جالسا فصلوا جلوسا أجمعون

“ Sesungguhnya imam itu dijadikan hanyalah untuk diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya. Jika imam ruku’ maka ruku’lah, jika imam I’tidal maka I’tidallah. Jika imam mengucapkan sami’allahu liman hamidah maka ucapkanlah Rabbanaa laka al-hamdu dan jika imam sholat dengan duduk, maka sholatlah kalian semua dengan duduk “.

Lalu kenapa imam Syafi’i tidak mengikuti hadits-hadits imam Bukhari dan Muslim tersebut ?? jawabannya; karena beliau melihat dan menilai hadits-hadits shahih tersebut masih memiliki illat atau ada hadits lainnya yang lebih kuat lagi sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.

Imam Abu Hanifah.

Dalam madzhab Hanafi tidak disyaratkan membasuh najis anjing tujuh kali, padahal ada hadits shahih riwayat imam Bukhari dan Muslim :

إذا ولغ الكلب في إناء أحدكم فليغسله سبعا

“ Jika anjing menjilati bejana seseorang dai antara kalian, maka cucilah tujuh kali cucian “.

Dalam hadits shahih riwayat imam Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa “ Angkatlah kepalamu dan i’tidallah dengan berdiri “, sedangkan dalam madzhab Hanafi sah sholat tanpa ada tumakninah saat i’tidal.

Mengapa imam Abu Hanifah menolak hadits-hadits shahih tersebut ??

Imam Malik.

Dalam hadits shahih riwayat imam Bukhari dan Muslim disebutkan :

البيعان بالخيار ما لم يتفرقا

“ Penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar/memilih semenjak keduanya tidak berpisah “
Lalu kenapa dalam madzhab Maliki tidak ada majlis khiyar ?

Dalam hadits shahih riwayat imam Muslim disebutkan bahwa Rasulullah Saw tidak membasuh seluruh kepalanya saat berwudhu. Sedangkan dalam madzhab Maliki mewajibkan membasuh seluruh kepala saat berwudhu.
Mengapa beliau menyeleisihi hadits-hadits shahih tersebut ??

Imam Ahmad bin Hanbal.

Dalam hadits shahih riwayat imam Bukhari dan Muslim disebutkan bahwasanya Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
من صام يوم الشك فقد عصى أبا القاسم

“ Barangsiapa yang berpuasa di hari syak (tanggal 30 sya’ban), maka telah durhaka pada Abu Al-Qasim “.
Sedangkan dalam madzhab hanbali, beliau membolehkan puasa hari syak. Bagaimana beliau bertentangan dengan hadits shahih tersebut ??

Catatan :


Apakah imam Syafi’i, Abu Hanifah, Malik dan Ahmad bin Hanbal sengaja menolak hadits-hadits shahih ?
Apakah para imam tersebut tidak memahami hadits-hadits shahih ?

Apakah para imam tersebut tidak mengerti ilmu hadits ?
Apakah mereka orang-orang bodoh ?
Mengapa para imam tersebut tidak menjadikan hadits-hadits tersebut sebagai hujjah sehingga tidak menerapkannya ??

Ya, karena para imam itu paham dan mengerti dengan semua kemampuan ilmu yang mereka miliki dan kuasai, bahwa bagi masing-masing telah tegak dalil-dalil lain yang menentangnya.

Demikian juga dalam kasus ini, hadits riwayat imam Muslim mengenai kedua orangtua Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam bertentangan dengan dalil-dalil lain yang lebih kuat dan mutawatir. Sehingga hadits imam Muslim dalam kasus ini tidak bisa dibuat sebagai hujjah.

Poin Ketiga :

Telah jelas dalam poin sebelumnya, bahwa hadits riwayat imam Muslim konradiksi dengan dalil-dalil yang lebih kuat dan mutawatir. Selain itu hadits ini menjadi perselisihan para ulama baik dari sisi matan maupun sanadnya.

Sisi matan.

Dari sisi matan, sangat kontradiksi dengan nash-nash qoth’i dalam al-Quran sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Ayah dan Ibu Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wa sallam hidup pada masa fatrah. Waktu itu belum ada utusan pemberi peringatan (nadzir) dan tidak sampai dakwah pada mereka dari nabi-nabi sebelumnya.

Sedangkan Allah tidak akan menghukum orang-orang yang hdiup di masa fatrah dan tidak sampai dakwah pada mereka. Allahu Ta’ala befirman :

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا

“dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”(Q.S Al Isra`: 15)

Dan orangtua Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam belum sampai dakwah pada mereka dan belum ada seorang utusan pun yang memberi peringatan (nadzir). Allah Ta’ala telah menyatakannya :

لِتُنذِرَ قَوْمًا مَّا أَتَاهُم مِّن نَّذِيرٍ مِّن قَبْلِكَ لَعَلَّهُمْ يَهْتَدُون

“ Agar kamu memperingatkan suatu kaum yang tidak ada seorang pemberi peringatan pun pada mereka sebelum kamu, supaya mereka mendapat petunjuk “ (As-Sajdah : 3)

Ayat ini menunjukkan orangtua Rasul adalah ahli fatrah. Karena tak ada seorang pembawa peringatan pada mereka saat itu.
Dalam Tarikh Al-Ishaqi disebutkan :

حدثنا أحمد نا يونس عن ابن إسحق قال: فكانت آمنة بنت وهب أم رسول الله صلى الله عليه وسلم تحدث أنها أتيت حين حملت محمداً صلى الله عليه وسلم فقيل لها: إنك قد حملت بسيد هذه الأمة، فإذا وقع إلى الأرض فقولي:
أعيذه بالواحد ... من شر كل حاسد
في كل بر عابد ... وكل عبد رائد
نزول غير زائد ... فإنه عبد الحميد الماجد

Ahmad telah menceritakan pada kami, Yunus telah menceritakan pada kami dari Ibnu Ishaq, beliau berkata : “ Konon Aminah binti Wahb ibunda Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam bercerita bahwa ketika ia mengandung Nabi Muhammad, ada yang dating padanya dan berkata : “ Sesungguhnya engkau telah mengandung pemimpin umat ini, maka jika sudah lahir ke muka bumi ini, ucapkanlah :
“ Aku melindunginya dengan Tuhan yang Maha Tunggal, dari keburukan semua orang yang hasad. Selalu berbuat kebaikan dalam hal ibadah. Dan disegani semua hamba. Lahir dengan selamat, sesungguhnya dia adalah hamba Dzat yang Maha terpuji dan Mulia “.

Dalam tarikh tersebut, jelas menunjukkan bahwa ibunda Nabi Shallahu a’alihi wa sallam adalah orang yang beriman kepada Allah Ta’ala.

Dari sisi Sanad.

Para ulama ahli hadits mengatakan bahwa dalam afraad imam Muslim (hadits-hadits imam Muslim yang menyendiri dari gurunya imam Bukhari), memiliki permasalahan. Dan hadits yang sedang kita bicarakan termasuk dari afraad imam Muslim yang bermasalah. Sebagaimana dinyatakan oleh imam Suyuthi dalam kitabnya at-Ta’dzhim wa Al-Minnah.

Dari sisi sanad, para perawi hadits ini adalah orang-orang tsiqah (terpercaya) dan kuat hafalannya terkecuali Hammad bin Salamah. Mengenai Hammad bin Salamah ini, para ulama terbagi menjadi dua kelompok dalam hal ini :

1. Para ulama ahli hadits yang men-tsiqahkannya secara muthlaq
2. Para ulama ahli hadits yang membuat perinciannya.

Di antara ulama dari kelompok pertama yang mentautsiq (menilai tsiqah) Hammad adalah Ibnu Mahdi, Ibnu Mu’in dan Al-Ajli. Dan ini dipilih oleh Ibnu Hibban beliau berkata “ Hammad adalah orang terpercaya, shalih dan doanya selalu terkabulkan “.

Dan di antara ulama dari kelompok kedua yang membuat perinciannya adalah; Yahya bin Sa’id al-Qoththon, Ali bin Al-Madini, Ahmad bin Hanbal, An-Nasai, Adz-Dzhabai, Ya’qub bin Syaibah, Abu Hathim dan yang lainnya termasuk imam Muslim sendiri.

Jika periwayatan Hammad dari guru-gurunya yaitu Tsabit Al-Banani, Hamid Ath-Thawil, Ali bin Zai bin Jad’an, Muhammad bin Ziyad al-Bashri dan Ammar, maka periwayatannya lebih didahulukan dari periwayatan Hammad pada selain mereka.

Imam Muslim berkata mengenai Hammad :

وحماد يعدّ عندهم إذا حدّث عن غير ثابت؛ كحديثه عن قتادة، وأيوب، ويونس، وداود بن أبي هند، والجريري، ويحيى بن سعيد، وعمرو بن دينار، وأشباههم فإنه يخطىء في حديثهم كثيراً

“ Dan Hammad dipermasalahkan menurut para ulama besar ahli hadits jika meriwayatkannya dari selain Tsaabit seperti periwayatannya dari Qatadah, Ayyub, Yunus, Dawud bin Abu Hindi, Aljariri, Yahya bin Sa’id, Amr bin Dinar dan semisal mereka. Karena Hammad melakukan kesalahan yang banyak dalam hadits periwayatann mereka “. (At-Tamyiz : 218)

Namun permasalahannya ada ketika Hammad menginjak usia lanjut. Dan para ulama ahli hadits sepakat bahwa ketika usia lanjut, hafalan Hammad mengalami gangguan. Bahkan dicurigai anak angkatnya melakukan penyisipan teks pada hadits-hadits Hammad. Beliau memang orang shalih yang ahli ibadah, namun dalam ilmu hadits untuk menjaga kemurniaan hadits-hadits Nabi Saw yang merupakan sumber hukum kedua setelah al-Quran, haruslah benar-benar diperketat, sehingga para ulama membagi hadits-hadits dengan berbagai macam jenis dan hukumnya.

Oleh sebab itulah imam Baihaqi berkata :

حماد ساء حفظه في آخر عمره، فالحفاظ لا يحتجون بما يخالف فيه

“ Hammad buruk hafalannya di akhir usianya, maka para ulama hadits tidak menjadikan hujjah dengan hadits Hammad yang terdapat kontradiksi di dalamnya“. (Syarh al-‘Ilal : 2/783)

Imam Abu Hathim berkata :

حماد ساء حفظه فى آخر عمره

“ Hammad buruk hafalannya di usia lanjutnya “ (Al-Jarh wa At-Ta’dil : 9/66)

Imam Az-Zaila’i
berkata :

لما طعن فى السن ساء حفظه. فالاحتياط أن لا يُحتج به فيما يخالف الثقات


“ Ketika Hammad berusia lanjut, hafalannya menjadi buruk, maka untuk lebih hati-hatinya hendaknya tidak menjadikannya sebagai hujjah pad hadits-haditsnya yang menyelisihi periwayat-periwayat tsiqah lainnya “ (Nashbu Ar-Rayah : 1/285)

Dan hadits riwayat Hammad ini mengenai ayahanda Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam menyelisihi dan kontradiksi dengan ayat-ayat al-quran dan hadits-hadits shahih lainnya. Karena tidak mungkin menolak nash-nash al-Quran yang lebih pasti ketsubutan dan dalalahnya dengan nash-nash hadits yang masih belum pasti kestubutan dan dalalahnya.


{Perbandingannya dengan hadits riwayat Ma'mar}

Setelah saya komparasikan ternyata para Imam Hadis seperti Ahmad, Muslim, Abu Daud, dan al-Bayhaqi memang hanya melalui jalur Hammad dari Tsabit dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu. Hadis ini tidak diriwayatkan dengan jalur selain mereka.

Dalam periwayatan yang lebih tsiqah yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Ma’mar, tidak terdapat lafadz yang mengindikasikan bahwa orang tua Nabi Saw. termasuk ahli neraka. Adapun redaksinya adalah sebagai berikut.

إذا مررت بقبر كافر فبشره بالنار

“ Apabila kamu melewati kuburan orang kafir maka kabarkanlah dengan neraka.”

Dalam periwayatan ini, lebih dipercaya karena diriwyatakan dari Ma’mar. Oleh karena itulah imam Bukhari hanya mentakhrij hadits dari Ma’mar dan tidak mentakhrijnya dari Hammad. Dan tak ada satu pun para ulama ahli hadits yang mempermasalahkan Ma’mar. Maka seharusnya hadits periwayatan dari jalur Ma’mar lebih didahulukan ketimbang hadits periwayatan imam Muslim dari jalur Hammad.

Dan dikuatkan lagi dengan hadits yang telah ditakhrij oleh imam Baihaqi, Al-Bazzar dan At-Thabrani dari jalur Sa’ad bin Abi Waqqash, beliau berkata :

أنّ أعرابيًا أتى النبى صلّى الله عليه و سلّم فقال " يا رسول الله أين أبى .. ؟ " قال " فى النار " قال " فأين أبوك .. ؟ " قال " حيثما مررت بقبر كافر فبشّره بالنار " .

“ Bahwasanya ada seorang dusun arab dating kepada Nabi Saw dan bertanya “ Wahai Rasulullah di mana ayahku ? Rasulullah menjawab “ Di neraka “, Lalu orang dusun arab itu bertanya lagi “ Lalu di mana pula ayahmu ?, Maka Nabi Saw menjawab “ Sekiranya kamu melewati kuburan orang kafir, maka berilah kabar gembira dengan neraka “.

Dari riwayat-riwayat yang lebih tsiqah (terpercaya) ini, tidak menyebutkan ayah Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam di neraka. Tapi langsung menyebutkan “ Jika kamu melewati kuburan orang kafir, maka berilah kabar gembira dengan neraka “. Maka seharusnya lebih dipegang dan diambil hadits-hadits ini ketimbang hadits riwayat imam Muslim dari jalur Hammad. Karena tidak mungkin menggabungkan (thariqah al-jam’i) di antara hadits jika salah satu haditsnya kontradiksi dengan nash-nash al-Quran. Maka dalam hal ini, hadits riwayat Ma'mar lebih kuat dan harus didahulukan.

Bersambung ke bag IV...

Tidak ada komentar:

Designed By