ibnu alkatibiy Sikap wahabi (para
pengemban fitnah tanduk syaitan dari Najd) terhadap persoalan bid’ah bisa
dibilang terlalu menyombongkan sikap dan pendapat kalau tidak mau dibilang
dangkal dan idiot di dalam memahami nash-nash hadits tentang bid’ah.
Namun sudah menjadi tabiat dan karateristik wahabi, mereka enggan dan menolak pemahaman yang didefiniskan oleh para ulama Ahlus sunnah tersebut dan membuat istilah baru yang belum pernah ada sebelumnya. Sehingga pengaplikasiannya membuat kerancuan dan kerusakan pada banyak persoalan baru.
Saya katakan : Kenapa Ibnu Utsaimin tidak mau menyebut perkara itu bid’ah padahal ia meyakini itu perkara baru dalam urusan agama dan tak ada dalil sahihnya ?? Apa sebab Ibnu Utsaimin menyebut bid’ah pada persoalan maulid? Padahal kasusnya sama dengan kasus di atas? Dan padahal mayoritas ulama Ahlus sunnah justru menganjurkannya dan juga para ulama hafidz hadits membolehkannya seperti Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Atsqalaani, Al-Hafidz Suyuthi, Al-Hafidz Ibnu Al-Jauzi, Al-Hafidz Asyakhawi, Al-Hafidz Ibnu Nashir Ad-Dimasyqi, Al-Hafidz Abu Syamah dan lainnya ? apakah mereka semua ini bukan ulama Ahlus sunnah ??
Seandainya saja mereka (wahabi) mau bersikap inshaf dan taslim terhadap pemahaman yang telah didefinisikan oleh ulama Ahlus sunnah tentang bid’ah dan pembagiannya, niscaya tidak akan ada perseteruan panjang dan perpecahan sesama umat Islam ini dan mereka (wahabi) tidak akan menemukan kebuntuan hukum dan sikap terhadap persoalan-persoalan baru dalam agama / syare’at sehingga menyebabkan ketidak konsistenan atau kemunafikan mereka di dalam menyikapinya. Karena tidak semua perkara baru itu bid’ah sesat.
Ini baru satu kasus dari ribuan kasus yang ada yang jika menggunakan pandangan wahabi sudah pasti dinilainya bid’ah sesat, misal lainnya kasus yang dilakukan oleh para imam masjid di haramain (Makkah dan Madinah) seperti syaikh Abdurrahman Sudais, syaikh Husain bin Abdul Aziz Aalu syaikh, syaikh Ali Al-Hudzaifi dan lainnya, mereka di dalam shalat tarawikh selalu menentukan bacaan Al-Quran di setiap roka’atnya sampai pada hari ke dua puluh tuju atau dua puluh Sembilan, mereka mengkhatamkan Al-Quran, ini mereka lakukan berulang-ulang setiap tahunnya, padahal tidak ada yang melakukannya di tiga kurun terbaik.
Wahabi memahami bahwa
bid’ah seluruhnya sesat tanpa terkecuali dengan mengambil dalil “ Kullu
bid’atin “, maka tak ada yang namanya bid’ah hasanah. Namun di saat itu juga
mereka justru membagi bid’ah, yaitu bid’ah diniyyah dan bid’ah duniawi, padahal
di zaman Nabi dan para sahabat serta tabi’iin pembagian tersebut tidak dikenal.
Malah tidak ada nash dari Al-Quran maupun Hadits yang menjelaskan bahkan
menyinggung pembagian bid’ah tersebut. Maka pembagian bid’ah menjadi bid’ah
diniyyah dan duniawi adalah sebenar-benarnya bid’ah.
Di samping itu,
kaidah bid’ah yang mereka ada-adakan itu sangat berpotensi menimbulkan bahaya
dan madharat bagi masyarakat awamnya. Sebab kaum awam akan berpemahaman bahwa
semua bid’ah (perkara baru) dalam hal duniawi diperbolehkan, padahal tidak
semua perkara baru dalam hal duniawi itu diperbolehkan, ada yang baik dan ada
pula yang jelek dan ini adalah fakta. Maka kaidah bid’ah mereka rapuh dan
bahkan menyesatkan umat.
Sungguh sangat cerdas
dan alimnya para imam besar Ahlus sunnah seperti imam Syafi’i dan imam Nawawi serta
yang lainnya yang dengan teliti dan pemahaman yang dalam mendefinisikan bid’ah
menjadi bid’ah sayyi’ah dan bid’ah hasanah. Maka bid’ah sayyi’ah mencangkup
seluruh kejelekan, bahaya dan kerusakan agama maupun duniawi yang ditolak oleh
syare’at Islam dan tidak diterima oleh ushul dan kaidahnya yang menarik segala
manfaat dan mencegah segala bahaya. Demikian pula bid’ah hasanah mencangkup segala
kebaikan, manfaat dan maslahat dalam agama maupun duniawi yang diterima oleh
syare’at Islam dan diridhai oleh ushul dan kaidahnya. Inilah pembagian final bid’ah
yang jami’ (menyeluruh) dan mani’ (mengeluarkan). Tentunya para ulama Ahlus
sunnah memahami bahwa bid’ah dalam syare’at yang merupakan tambahan dan
pengurangan di dalamnya adalah tercela dan sesat. Dan yang mereka maksud bid’ah
hasanah tentu hanya sebatas bahasa yang semata-mata perkara baru.
Namun sudah menjadi tabiat dan karateristik wahabi, mereka enggan dan menolak pemahaman yang didefiniskan oleh para ulama Ahlus sunnah tersebut dan membuat istilah baru yang belum pernah ada sebelumnya. Sehingga pengaplikasiannya membuat kerancuan dan kerusakan pada banyak persoalan baru.
Berikut saya akan
membuktikan satu kasus saja dari sekian banyak kasus yang membuktikan kerancuan
paham wahabi di dalam mendefiniskan bid’ah pada persoalan baru.
Peringatan
maulid dan doa khatam Al-Quran di dalam sholat
Perngatan Maulid,
pada kasus ini mereka dengan semangat dan narsis yang tinggi mengharamkan dan
membid’ahkan peringatan Maulid Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, bukti sudah
banyak dalam banyak kitab dan situs-situs internet mereka. Memang peringatan
maulid Nabi ini adalah perkara baru namun mendapat tempat baik dan mulia di
dalam Al-Quran dan Hadits sendiri yang merupakan salah satu wujud apresiasi
seorang mukmin yang berbahagia dan mensyukuri anugerah lahirnya Nabi sang
pembawa kebahagiaan dan kesalamatan dunia dan akherat dengan mengisi beberapa
macam ibadah dan kebaikan di dalamnya.
Di sini saya tidak
akan mengupas dalil-dalil memperingati Maulid Nabi ini, namun saya akan
memfokuskan kepada persoalan baru yang mereka (wahabi) menemukan jalan buntu di
dalam menyikapinya. Yaitu tentang persoalan membaca do’a khatam Al-Quran di
dalam sholat.
Di dalam kitab Al-Bida’
wal Muhdatsaat; kumpulan fatwa-fatwa ulama wahabi seperti Ibnu Baaz, Ibnu
Utsaimin, Abdullah Al-Jabrin, Shaleh Al-Fauzan dan anggota tetap komisi fatwa,
disebutkan permasalahan tentang do’a khatam Al-quran di dalam sholat sebagai
berikut :
Terjemahan :
Doa
khatam Al-Quran di dalam sholat
Soal :
Apa pendapat kalian tentang anggapan sebagian orang bahwa doa khatam Al-Quran
adalah termasuk bid’ah ?
Jawab :
Saya tidak mengetahui adanya dalil sahih yang dapat dijadikan sandaran untuk
melakukan doa khatam al-Quran di dalam sholat, baik dari sunnah Nabi maupun
sunnah sahabat. Maksimalnya dalam hal ini adalah perbuatan Anas bin Malik
ketika hendak menyelesaikan Al-Quran, bahwa ia mengumpulkan keluarganya dan
berdoa, akan tetapi hal itu tidak dilakukannya di dalam sholatnya. Sedangkan
sholat sebagaimana maklumnya tidak boleh membuat doa baru di dalamnya yang
tidak datang dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, karena ada sabda Nabi “
Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat “. Adapun menyebut bid’ah pada doa khatam al-Quran di dalam
sholat, maka aku tidak menyukai penyebutan bid’ah tersebut, karena ulama
sunnah berbeda pendapat tentangnya “.
(Al-Bida’ wal muhdatsaat : 554)
(Al-Bida’ wal muhdatsaat : 554)
Komentar penulis :
Perhatikan jawaban
atau fatwa Ibnu Utsaimin tersebut, ia mengatakan doa khatam Al-Quran di dalam
sholat boleh dilakukan tanpa menyebutkan dalil dari Al-Quran dan sunnah.
Padahal ia meyakini bahwa perkara itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan juga
para sahabat artinya hal itu merupakan perkara baru, namun ia tidak mau
menyebutnya sebagai bid’ah hanya karena ulama sunnah berbeda pendapat tentang
hal ini (tentu siapa lagi yang dimaksud ulama sunnah oleh Ibnu Utsaimin ? sudah
pasti ulama dari kalangan mereka sendiri).
Saya katakan : Kenapa Ibnu Utsaimin tidak mau menyebut perkara itu bid’ah padahal ia meyakini itu perkara baru dalam urusan agama dan tak ada dalil sahihnya ?? Apa sebab Ibnu Utsaimin menyebut bid’ah pada persoalan maulid? Padahal kasusnya sama dengan kasus di atas? Dan padahal mayoritas ulama Ahlus sunnah justru menganjurkannya dan juga para ulama hafidz hadits membolehkannya seperti Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Atsqalaani, Al-Hafidz Suyuthi, Al-Hafidz Ibnu Al-Jauzi, Al-Hafidz Asyakhawi, Al-Hafidz Ibnu Nashir Ad-Dimasyqi, Al-Hafidz Abu Syamah dan lainnya ? apakah mereka semua ini bukan ulama Ahlus sunnah ??
Ibnu Baaz dalam
kitabnya majmu’ fatawa wa maqaalat mutanawwi’ah pun juga membolehkan membaca
doa khatam Al-Quran di dalam sholat tanpa menyebutkan dalil dari Al-Quran dan
sunnah satu pun, namun hanya bersandar pada perbuatan para imam dakwah yang
telah melakukannya, tentu yang dimaksud para imam dakwah tidak ada lain adalah
para ulama kalangan mereka sendiri.
Di sisi lain,
Nahsiruddin Albani dengan tegas menyatakan dalam kitabnya Silsislah Al-Ahaadits
ad-Dha’iifah bahwa doa’ khatam Al-Quran adalah bid’ah yang tidak boleh
dilakukan, perhatikan berikut ini :
“ Tidak diragukan
lagi bahwa melakukan doa tertentu setelah khatam al-Quran adalah termasuk
bid’ah yang tidak diperbolehkan, karena keumuman hadits Nabi “ Setiap bid’ah
itu sesat dan setia kesesatan itu di neraka “, dan itu termasuk bid’ah yang
dinamakan oleh imam Syathibi sebagai bid’ah idhofiyyah, sedangkan syaikh islam
ibnu taimiyyah termasuk orang yang paling jauh melakukan bid’ah tersebut..”
(Silsilah al-Ahaadits : 315)
Komentar penulis :
Albani membid’ahkan
iltizam membaca doa tertentu setelah khatam membaca al-Quran di luar sholat,
lalu bagaimana dengan doa khatam al-Quran di dalam sholat yang jelas-jelas
tidak ada dalil sahihnya dari nabi ataupun sahabat?? Tentu albani akan
berkonsekuen membid’ahkannya.
Pembaca sudah bisa
menilai kegoncangan istidlal para ulama wahabi tersebut akibat kaidah bid’ah
yang mereka ciptakan sendiri. Doa khatam AlQuran di dalam sholat yang mereka tidak
menemukan dalil sahihnya dan meyakini hal itu bid’ah (perkara baru) mereka
tidak mau menyebutnya sebagai bid’ah, tetapi peringatan maulid yang banyak
dalil sahihnya terlebih satuan-satuan acaranya sudah jelas ada dalil-dalil
sahihnya apalagi jumhur ulama Ahlus sunnah membolehkannya, malah mereka anggap
sebagai bid’ah dan sesat. Di sinilah
terbukti kerancuan kaidah bid’ah mereka yang menyebabkan satu sama lain di
kalangan mereka saling bingung dan goncang di dalam menyikapi persoalan ringan
seperti ini.
Seandainya saja mereka (wahabi) mau bersikap inshaf dan taslim terhadap pemahaman yang telah didefinisikan oleh ulama Ahlus sunnah tentang bid’ah dan pembagiannya, niscaya tidak akan ada perseteruan panjang dan perpecahan sesama umat Islam ini dan mereka (wahabi) tidak akan menemukan kebuntuan hukum dan sikap terhadap persoalan-persoalan baru dalam agama / syare’at sehingga menyebabkan ketidak konsistenan atau kemunafikan mereka di dalam menyikapinya. Karena tidak semua perkara baru itu bid’ah sesat.
Ini baru satu kasus dari ribuan kasus yang ada yang jika menggunakan pandangan wahabi sudah pasti dinilainya bid’ah sesat, misal lainnya kasus yang dilakukan oleh para imam masjid di haramain (Makkah dan Madinah) seperti syaikh Abdurrahman Sudais, syaikh Husain bin Abdul Aziz Aalu syaikh, syaikh Ali Al-Hudzaifi dan lainnya, mereka di dalam shalat tarawikh selalu menentukan bacaan Al-Quran di setiap roka’atnya sampai pada hari ke dua puluh tuju atau dua puluh Sembilan, mereka mengkhatamkan Al-Quran, ini mereka lakukan berulang-ulang setiap tahunnya, padahal tidak ada yang melakukannya di tiga kurun terbaik.
Demikian juga membaca
doa khatam Al-Quran di setiap akhir malam Ramadhan atau malam ke dua puluh
sembilannya pada setiap tahunnya. Hal ini merupakan taqyid atau pengkhususan
ibadah dan perkara baru yang tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf sepanjang
tiga kurun terbaik. Jika wahabi mau konsisten dengan definisi dan kaidah bid’ah
yang mereka ciptakan, seharusnya mereka menilai perkara baru itu semua adalah
bid’ah sesat dan para imam yang melakukannya itu semua adalah pelaku bid’ah
yang sesat. Namun realitanya tak ada satu pun para ulama mereka yang
melontarkannya walaupun hanya satu huruf saja..naudzu billahi, kita berlindung
pada Allah dari sikap nifaq seperti itu dan dari semua pemahaman sesat yang
menyesatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar