ibnu alkatibiy
Hadits Pertama :
Nabi Saw bersabda :
لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور
انبيائهم مساجد
“ Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan
Nashoro yang menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat sujudnya “
Hadits Kedua :
لاتجلسوا على القبور ولا تصلوا
إليها
“ Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan
janganlah sholat menghadapnya “.
PENJELASAN HADITS PERTAMA :
Segi Ilmu Nahwu :
لعن : فعل ماض مبني على الفحة
الله : فاعل مرفوع بالضمة
اليهود : مفعول لعن منصوب بالفتحة
و : حرف عطف
النصارى : معطوف باليهود منصوب
بالفتحة
اثخذوا : فعل ماض والواو للجماعة
ضمير متصل في محل رفع فاعل
والاتخاذ من افعال التحويل تنصب
مفعولين.
قبور : مفعول اول وهو مضاف
انبياء : مضاف اليه مجرور بالكسرة
هم : ضمير متصل مبني على السكون
مساجد : مفعول ثان منصوب بالفتحة
لانه من الاسماء غير منصرفة
وجملة الفعل والفعل وما بعدها في محل
نصب نعت لليهود والنصارى
Keterangan :
• Lafadz
ittakhadza termasuk fi’il tahwil yaitu predikat yang menunjukkan arti merubah
dan memiliki dua maf’ul karena ia juga termasuk akhowat dzonna (saudaranya
dzonna) yang menashobkan dua maf’ulnya.
• Maf’ul pertamanya adalah kalimat QUBURA ANBIYAIHIM
(Kuburan para nabi mereka). Dan maf’ul keduanya adalah MASAJID (masjid-masjid).
• Dan
jumlah susunan kalimat ITTAKHODZA dan setelahnya menjadi NA’AT (Sifat) bagi
Yahudi dan Nashoro.
Maka arti dari sisi nahwunya “ Allah melaknat
kepada Yahudi dan Nashoro yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai
masjid-masjid “.
Segi Ilmu Balaghah dan Bayan :
لعن الله • : Adalah jumlah du’aiyyah
(susunan doa) yang mengandung makna tholabiyyah (permohonan).
اتخذوا • : Adalah jumlah musta’nifah ‘ala sabilil bayan limuujibil la’an
(Susunan permulaan kalimat untuk menjelaskan sebab pelaknatan)
قبور انبيائهم مساجد • : Kalimat ini merupakan
Majaz tasybih.
- Majaz :
Penggunaan suatu kata dengan makna
yang lain daripada maknanya yang lazim. Kebalikan dari majaz ialah haqiqah.
-
Tasybih : Uslub
yang menunjukkan perserikatan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam sifatnya.
Secara umum tasybih ini tujuannya untuk menjadikan suatu sifat lebih
mudah diindera.
Maka arti
dari sisi ilmu balaghah dan bayan ini adalah :
“ Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan
Nashoro, sebab mereka telah menjadikan kuburan para nabi seperti tempat sujud “.
Syarah alfadz atau mufradat :
Sekarang kita akan kupas satu persatu dari kalimat
hadits tersebut dengan melihat dan menyesuaikan hadits-hadits shahih lainnya,
merujuk pada asbab wurudnya dan ilmu sejarahnya, sehingga kita akan dapatkan
makna yang shohih, kuat dan sesuai dengan hadits-hadits lainnya yang saling
berkaitan.
Setelah itu kita akan timbang dengan
komentar-komentar atau pendapat-pendapat para ulama besar yang sangat
berkompeten dan menguasai segala disiplin ilmu baik dhahir maupun bathin.
PEMBAHASAN :
Mufradat :
• Lafadz qubur jama’ dari mufrad qobrun yang berarti
madfanul insane al-mayyit (tempat pendaman mayat).
• Sedangkan lafadz maqbarah adalah isim makan
lilqobri yaitu maudhi’u dafnil mauta (tempat pendaman orang-orang yang mati
atau istilah lainnya pekuburan / pemakaman). Yang berarti juga tempat dimana
terdapat tiga atau lebih dari orang yang dipendam.
• Dan lafadz Masajid adalah jama’ dari kata Masjid
berasal dari kata sajada yasjudu (bersujud). Masjid adalah isim makan ‘ala
wazni maf’ilun. Maka masjidun artinya makanun lis sujud (tempat untuk sujud).
Maka dari ini makna hadits yang shahih adalah :
لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور
انبيائهم مساجد
Adalah : “
Semoga Allah melaknat orang-orang yahudi dan Nashoro, sebab mereka telah
menjadikan tempat pendaman para nabi mereka sebagai tempat untuk sujud “.
Yakni, orang-orang yahudi menjadikan kuburan nabi
mereka sebagai tempat sujud dan ibadah mereka. Mereka buat patung seorang nabi
atau orang sholeh di atas kuburan nabi atau orang sholeh tersebut. Kemudian
patung itu mereka sembah dan mereka jadikan arah sembahyang mereka.
Inilah makna yang shahih dan sebenarnya, kenapa bias
demikian ? simak..
Pertama :
Fi’il ittakhodza (اتخذ) adalah dari fi’il khumasi muta’addi dan salah satu fi’il tahwil
atau shoirurah yang memiliki makna merubah dan berhukum menashobkan dua
maf’ul (objek)-nya. Maf’ul yang pertama menjadi dzat maf’ul yang kedua
seluruhnya.
Contoh : اتخذت الحقل
مرعى “ Aku jadikan ladang itu sebagai tempat
penggembalaan “.
Artinya ; “ Aku merubah semua ladang itu menjadi
tempat penggembalaan “.
Kalau untuk sebagian maka kalimatnya
sebagai berikut :
اتخذت
من الحقل مرعى
“
Aku rubah sebagian ladang itu sebagai tempat penggembalaan “.
Kalau untuk di artikan membangun,
maka tidak boleh kita katakan :
اتخذت
الارض بيتا
“ Aku bangun tanah itu sebagai rumah “,
kalimat ini tidak sah dan rusak karena tidak sesuai
dengan fungsi fi’il ittakhodza sebagai fi’iI tahwil bukan bina’.
Maka seharusnya yang lebih tepat kalimatnya adalah
sebagai berikut :
بنيت
على الارض بيتا
“
Aku membangun rumah di atas tanah itu “.
Maka hadits di atas tidak tepat jika diartikan
membangun tempat sujud di kuburan, makna shahihnya adalah merubah kuburan
sebagai tempat sujud. Karena ini sesuai fungsi dan kaedah fi’il tersebut.
Dan hadits membangun masjid / tempat sujud
dikuburan, ada matan dan riwayatnya tersendiri tidak ada kaitannya dengan
hadits di atas. Nanti saya akan jelaskan.
Kedua :
Dari
sisi sejarah dan sebab wurudnya hadits di atas dapat diketahui makna hadits di
atas yang sebenarnya :
فقد
قالت السيدة أم سلمة رضى الله تعالى عنها لرسول الله صلى الله عليه وسلم حين كانت فى
بلاد الحبشة تقصد الهجرة إنها رأت أناسا يضعون صور صلحائهم وأنبيائهم ثم يصلون لها،
عند إذن قال الرسول صلى الله عليه وسلم (لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم
مساجد.
Ummu Salamah Ra bercerita kepada Rasulullah Saw ketika dulu
ia berada di Habasyah saat hendak Hijrah, bahwa dia pernah melihat beberapa
orang yang meletakkan patung-patung orang sholih dan para Nabi mereka, kemudian
mereka sholat kepada patung-patung tersebut. Maka bersabdalah Rasulullah Saw “
Allah melaknat orang Yahudi dan Nashoro yang telah menjadikan kuburan para nabi
mereka sebagai masjid “.
Dan sejarah ini telah dijelaskan pula oleh Allah Saw dalam
al-Quran berikut :
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ
اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا إِلَهاً وَاحِداً
لاَّ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“ Mereka menjadikan orang-orang alim
(Yahudi) dan rahib-rahibnya (Nashoro) sebagai tuhan selain Allah. Dan
orang-orang Nashoro berkata “ dan juga Al-Masih putra maryam “. Padahal mereka
hanya disuruh menyembah Tuhan yang Mah Esa. Tidakada Tuhan selain Dia. Maha Dia
dari apa yang mereka persekutukan “. (At-Taubah : 31)
Jelas dari sisi ini, bahwa sebab Rasul
Saw melaknat orang yahudi dan nashoro adalah karena mereka menyembah patung para
nabi dan patung orang sholeh (dalam istilah mereka disebut rahib) di antara
mereka. Bukan membangun masjid di atas kuburan apalagi sholat di dalam masjid
yang ada kuburannya.
Ketiga :
Makna ini sesuai dengan hadits shohih Nabi Saw lainnya berikut diriwayatkan
dari Atho'’bin Yasar bahwa Nabi Saw bersabda :
اللهم لا تجعل قبري وثناً يعبد،
اشتد غضب الله على قوم، اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد
“ Ya Allah, jangan jadikan kuburanku sesembahan yang disembah, Allah
sangat murka pada kaum yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat
sujud “.
Illat / alasan Allah murka kepada kaum yang
menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat sujud adalah karena mereka memang
menyembah kuburan tersebut, sujud pada kuburan tersebut dengan anggota tubuh
dan juga hati mereka. Oleh karenanya Nabi Saw mengucapkan kata-kata “ watsanan
yu’bad “ (sesembahan yang disembah). Bahkan jika dikaitkan hadits ummu Salamah
Nampak jelas mereka menyembah patung nabinya atau patung orang sholeh mereka.
Keempat :
Kalimat masajid dalam hadits di atas maknanya adalah tempat sujud bukan berupa
bangunan masjid. Karena orang-orang yahudi beribadah bukan di dalam masjid,
demikian juga orang-orang Nashoro beribadah bukan di dalam masjid, melainkan
mereka beribadah di ma’bad dan kanisah (kuil dan gereja).
Maka hadits di atas sangat tidak tepat diarahkan
pada bangunan masjid kaum muslimin. Maka makna hadits tersebut yang shahih
adalah “ Semoga Allah melaknat orang Yahudi dan Nashoro tersebut, sebab
menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat sujud “.
Makna tempat sujud ini juga sesuai dengan hadits
Nabi Saw sebagai berikut :
"الأرض كلها مسجد إلا المقبرة والحمام
“ Bumi ini seluruhnya adalah layak untuk
dijadikan tempat sujud (tempat untuk sholat), kecuali pekuburan dan tempat
pemandian “.
Jika kita artikan masjid dalam hadits ini adalah
bangunan masjid, maka logikanya kita boleh melakukan I’tikaf dan sholat
tahiyyatul masjid di kebun, lapangan atau di tanah pasar. Sungguh hal ini
bertentangan dengan hokum fiqihnya.
Dan juga semakin jelas dan nyata bahwa makna masjid
di situ adalah bukan bangunan masjid melainkan tempat yang layak untuk sujud, dengan
penyebutan mustatsna (yang dikecualikan) setelah menyebutkan mutstsana minhunya
dengan huruf illanya yaitu kalimat al-Maqbarah (pekuburan) dan al-Hammam
(tempat pemandian).
Karena tidak mungkin pekuburan dan kamar mandi
disebut juga bangunan masjid. Maka arti hadits tersebut bermakna :
“ Bumi ini seluruhnya layak dijadikan
tempat sujud, kecuali tempat pekuburan dan tempat pemandian “.
Jika kita artikan masjid disitu dengan bangunan
masjid “ Bumi ini seleuruhnya adalah masjid kecuali pekuburan dan tempat
pemandian “, maka pengertian seperti ini jelas salah dan batal, karena sama
juga menyamakan pekuburan dan tempat pemandian itu dengan masjid yang boleh
I’tikaf dan sholat tahiyyatul masjid lalu diisttisnakan dengan illat yang tidak
diketahui.
Kelima :
Melihat
sejarah pemakaman Nabi Saw. Rasulullah Saw dimakamkan di tempat
meninggalnya, yakni di tempat yang dahulunya adalah kamar Ummul Mukminin Aisyah ra., isteri Nabi saw. Kemudian berturut-turut dimakamkan
pula dua shahabat terdekatnya di tempat yang sama, yakni Abu
Bakar Al-Shiddiq dan Umar
bin Khatthab.
Di masa Nabi Saw Awalnya, masjid ini berukuran sekitar 50 m × 50 m, dengan tinggi atap
sekitar 3,5 m. Karena umat muslim yang berkunjung semakin pesat dan tempatnya
semakin sempit, maka oleh Utsman bin Affan direnovasi dan diperluas lagi
walaupun yang pertama merovasinya adalah Umar bin Khoththob. Kemudian diperluas
lagi di zaman modern oleh raja Abdul Aziz sehingga bangunannya menjadi 6.024 m²
di tahun 1372 H. Selanjutnya diperluas lagi oleh raja Raja Fahd di tahun 1414 H, sehingga
luas bangunan masjidnya hampir mencapai 100.000 m², ditambah dengan lantai atas
yang mencapai luas 67.000 m² dan pelataran masjid yang dapat digunakan untuk
salat seluas 135.000 m². Sehingga mau tidak mau, makam Nabi Saw berada dalam
masjd tersebut. Bahkan setelah itu turut dimakamkan di dalamnya yaitu Abu Bakar
Ash-Shdiddiq dan Umar bin Khoththob.
Di zaman Utsman bin Affan saat perluasan masjid yang disaksikan lebih
dari 15 sahabat Nabi Saw, tidak ada satu pun dari mereka yang mengingkarinya
atau mengatakannya haram. Bahkan sholat di masjid Nabawi yang memang terdapat
makam Nabi saw di dalamnya, memiliki keutamaan tersendiri dari masjid lainnya.
Nabi Saw bersabda :
صلاة
في مسجدي هذا أفضل من ألف صلاة فيما سواه إلا المسجد الحرام
“ Sholat di masjidku ini lebih utama dari sholat seribu kali diselainnya
kecuali di masjdil haram “
Beliau juga bersabda :
من
زار قبري وجبت له شفاعتي
“ Barangsiapa yang ziarah ke makamku, maka ia berhak mendapat syafa’atku
“.
Bahkan siti Aisyah pun sering sholat di kamar tersebut sebagaimana telah
dikisahkan dalam shahih Bukhari.
Seandainya hal itu suatu kemungkaran dan keharaman karena beralasan
dengan alasan yang tidak nyambung yaitu dengan hadits menjadikan kubur para
nabi sebgai tempat sujud di atas, seperti yang telah difatwakan oleh guru besar
wahhabi salafi yaitu syaikh Muqbil yang merupakan guru Bin Bazz, Utsaimin dan
Fauzan, maka sudah pasti para sahabat saat itu melarangnya dan mengatakan itu
haram.
Umat muslim sejak zaman sahabat hingga sekarang ini terus berziarah ke
masjid Nabawi tersebut, melakukan sholat di dalamnya dan ziarah kubur Nabi Saw,
dan tak ada satu pun ulama di seluruh penjuru dunia mulai dari kalangan
sahabat, tabi’in dan ulama madzhab yang melarang mereka sholat di dalam masjid
tersebut yang terdapat makam Nabi Saw dan makam dua sahabat Nabi yaitu Abu
Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khoththob.
Ke enam : Allah
Swt berfirman :
وَكَذَلِكَ أعْثَرْنَا
عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوا أنَّ وَعْدَ اللّهِ حَقٌّ وَأنَّ السّاعَةَ لاَ رَيبَ فيها
إذْ يَتنازَعُونَ بَيْنَهُم أمْرَهُم فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِم بُنْيَاناً رَبُّهُم
أعْلَمُ بِهِم قَالَ الّذينَ غَلَبُوا عَلَى أمْرِهِم لَنَتَّخِذَنّ عَلَيْهِم مَسْجداً
“ Dan demikianlah Kami perlihatkan (manusia) dengan
mereka agar mereka tahu bahwa janji Allah benar dan bahwa hari kiamat tidak ada
keraguan padanya. Ketika mereka berselisih tentang urusan mereka, maka mereka
berkata “ Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka “. Orang yang
berkuasa atas urusan mereka berkata “ Kami pasti akan mendirikan masjid di atas
kuburan mereka “. (Al-Kahfi : 21)
Ayat ini jelas menceritakan dua kaum
yang sedang berselisih mengenai makam ashabul kahfi. Kaum pertama berpendapat
agar menjadikan sebuah rumah di atas kuburan mereka. Sedangkan kaum kedua
berpendapat agar menjadikan masjid di atas kuburan mereka.
Kedua kaum tersebut bermaksud
menghormati sejarah dan jejak mereka menurut manhajnya masing-masing. Para ulama
Ahli Tafsir mengatakan bahwa kaum yang pertama adalah orang-orang msuyrik dan
kaum yang kedua adalah orang-orang muslim yang mengesakan Allah Swt. Sebagaimana dikatakan juga oleh imam
asy-Syaukani berikut :
يقول الإمام الشوكانى «ذِكر اتخاذ المسجد يُشعر
بأنّ هؤلاء الذين غلبوا على أمرهم هم المسلمون، وقيل: هم أهل السلطان والملوك من القوم
المذكورين، فإنهم الذين يغلبون على أمر من عداهم، والأوّل أولى». انتهى. ومعنى كلامه
أن الأولى أن من قال ابنوا عليهم مسجدا هم المسلمون.
Imam Syaukani berkata “ Penyebutan menjadikan masjid
dalam ayat tsb menunjukkan bahwa mereka yang menguasai urusan adalah
orang-orang muslim. Ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah para penguasa
dan raja dari kaum muslimin..”. Makna ucapan beliau adalah pendapat yang lebih
utama adalah bahwa yang berkata bangunlah masjid di atas kuburan mereka adalah
kaum muslimin “.
وقال الإمام الرازى
فى تفسير ﴿لنتّخذنّ عليه مسجداً﴾ «نعبد الله فيه، ونستبقى آثار أصحاب الكهف بسبب ذلك
المسجد». تفسير الرازى
Imam Ar-Razi di dalam tafisrnya berkata “ Kami akan
menjadikan masjid di atasnya “ maknanya adalah “ Kami akan beribadah kepada
Allah di dalam masjid tersebut dan kami akan memelihara bekas-bekas para pemuda
ashabul kahfi dengan sebab masjid tersebut “.
Ketujuh :
عن عائشة أنه: قال النبي صلى الله عليه وآله
وسلم في مرضه الذي مات فيه: لعن الله اليهود والنصارى، اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد.
قالت: ولولا ذلك لأبرز قبره غير أنه خشي أن يتخذ مسجداً
Dari siti Aisyah bahwasanya Nabi Saw bersabda saat sakit menjelang
wafatnya “ Semoga Allah melaknat orang yahudi dan nashoro, sebab mereka
menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid “. Siti Aisyah berkata “
Jika bukan karena itu, maka aku akan tampakkan makam Nabi namun dikhawatirkan
dijadikan tempat sujud “.
Siti Aisyah ingin menampakkan makam Nabi Saw yaitu tanpa dinding dan
pagar, namun beliau khawatir makam Nabi Saw dibuat sujud oleh kaum muslimin
yang awam sehingga masuk kategori hadits larangan menjadikan kuburan para Nabi
sebgai tempat sujud.
Maka ucapan siti Aisyah tersebut menjelaskan makna hadits :
لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور
انبيائهم مساجد
Adalah masjid dalam hadits tersebut ialah tempat sujud bukan bangunan
masjid. Dan inilah rahasia doa Nabi Saw :
اللهم لا تجعل قبري وثناً يعبد
“ Ya Allah, jangan jadikan makamku sesembahan yang disembah “ Nabi tidak
mengatakan :
اللهم لا تجعل قبري مسجدا
“ Ya Allah, jangan jadikan
makamku sebagai masjid “.
Doa Nabi Saw terkabuli dan terbukti, bahwa makam beliau Saw tidak
menjadi sesembahan kaum muslimin yang
berziarah di sana.
Dalam riwayat lainnya Nabi Saw bersabda :
اللهم لا تجعل قبري وثناً يصلى
له
“ Ya Allah, jangan jadikan makamku sesembahan yang dijadikan untuk
sholat “.
Maka dengan penejelasan ilmiyyah ini, berdasarkan kaidah-kaidah ilmunya
menjadi jelas dan terang bahwa yang dimaksud masjid dalam hadits di awal adalah
tempat sujud bukan bangunan masjid.
Maka makna hadits Nabi Saw :
لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور
انبيائهم مساجد
Adalah : “ Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashoro, sebab
mereka telah menjadikan kuburan para nabi seperti tempat sujud “.
Inilah makna yang shahih dan yang sebenarnya berdasarkan ilmu bukan hawa
nafsu atau kedangkalan cara berpikir.
Selanjutnya saya akan memaparkan makna hadits ini dan juga hadits yang
kedua dari segi ilmu Ushul Fiqihnya. Dan setelahnya saya cantumkan pendapat
mayoritas ulama yang memaknai hadits tersebut seperti penjelasan di atas.
Sehingga kemusykilan menjadi musnah dan kebenaran semakin jelas dan nyata.
(Ibnu Abdillah Al-Katibiy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar